1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kecanduan Bensin Murah

Andy Budiman18 November 2014

Bertahun-tahun Indonesia kecanduan bensin murah. Menaikkan harga BBM, sebuah pil pahit yang akan menyehatkan kita di masa datang.

https://p.dw.com/p/1DHLi
Foto: AP

Sebagaimana terjadi di banyak rezim otoriter lainnya, Orde Baru menjadikan subsidi Bahan Bakar Minyak atau BBM, sebagai alat menjaga stabilitas dan ketertiban umum, sambil pada tarikan nafas yang sama, mengabaikan peringatan para ekonom akan bahaya yang muncul di masa depan.

Terbukti, subsidi BBM hanya menciptakan stabilitas semu. Ketika krisis moneter menghantam, dan pemerintah terpaksa mengurangi subsidi, kekacauan terjadi, dan rezim Soeharto akhirnya tumbang.

Di era Reformasi, kebijakan subsidi masih dipertahankan. Padahal, statistik dengan jelas menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak tepat sasaran. Sebagaimana dikutip dari KataData.com, sekitar separuh dari total anggaran subsidi BBM tahun lalu, dikonsumsi para pemilik kendaraan pribadi.

Laporan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) 2013, menunjukkan dari total subsidi BBM senilai Rp 210 triliun, 92 persennya digunakan untuk transportasi darat. Dari total subsidi transportasi darat, sekitar 53 persen dinikmati pemilik mobil pribadi.

Artinya, lebih dari Rp 100 triliun subsidi BBM dinikmati kelas menengah ke atas. Sekitar 40 persen dikonsumsi pemilik sepeda motor. Sementara angkutan umum yang mayoritas digunakan rakyat kelas menengah ke bawah, hanya menikmati 3 persen dari total nilai subsidi. Jangan lupa, penikmat subsidi BBM lainnya adalah para penjahat yang menyelundupkan BBM bersubsidi untuk dijual di pasar gelap.

Tapi, menaikkan harga minyak adalah tabu politik. Para politisi lebih suka mengikuti jejak Soeharto, menjadikan minyak sebagai komoditas politik.

Bedanya, kalau dulu subsidi dipakai untuk menjaga ketertiban, maka kini para politisi menggunakan isu BBM untuk mendapat popularitas.

Kita ingat, bagaimana para politisi Senayan tahun lalu mendapat applaus karena “perjuangan” menolak rencana kenaikan BBM.

Dan kita, rakyat Indonesia yang pada akhirnya harus menanggung kebijakan “heroik” yang dibuat para politisi.

Nilai subsidi BBM hari ini membengkak dan memakan sekitar 14 persen dari total anggaran. Pembengkakan ini menyebabkan kita terus mengalami defisit yang semakin dalam.

Sekali lagi, pada akhirnya yang harus menanggung itu semua adalah kita: rakyat, para pembayar pajak.

Pemerintahan Jokowi kini menaikkan BBM. Sebuah keputusan berat yang harus kita tanggung bersama. Ini ibarat pil pahit yang harus kita telan, untuk mengobati kita dari kecanduan minyak murah yang efeknya seperti narkotika: pelan-pelan menggerogoti kita hingga mati.