Kiprah Pastor Indonesia di Benua Biru Eropa
3 September 2024Sebagai calon imam, Frater Henrikus Prasojo dari Kongregasi Oblat Maria Immakulata (OMI) harus menjalani studi S2 di Roma, Italia. Namun di sana, tugasnya bukan hanya belajar, melainkan juga menjalankan berbagai misi perutusan.
"Perutusan utamanya studi, tapi ada juga kegiatan pastoral mingguan, asistensi Natal, asistensi Paskah. Dan beberapa kali kami menghadapkan namanya misi populer untuk merangkul paroki-paroki yang membutuhkan," ucap pria yang akrab disapa Frater Pras ini kepada DW Indonesia.
Satu grup misi populer ini, kata dia, terdiri dari 20 misionaris (frater, bruder, suster, dan pastor) Bersama dengan 20 Orang Muda Katolik (OMK) yang menjadi relawan.
"Misi populer itu biasanya juga kita melakukan kunjungan ke tempat umat yang sudah jarang ke gereja. Semacam disapa lagi, jadi kalau ada keraguan atau masalah kan saja terbantu. Lalu ada kegiatan-kegiatan rohani misalnya Pentahtaan Sakramen Mahakudus, lalu adorasi keliling kota," ucap pria yang baru saja baru saja kembali ke Indonesia pada 2 Juli 2024 ini.
Saat ini dia bertugas di Paroki Kalideres, Jakarta Barat.
Dia sendiri pernah mengikuti berbagai misi populer ke berbagai kota di Italia seperti Calabria dan Lazio. Dua tahun berada di Roma, Frater Pras, menemukan berbagai fakta dan tantangan untuk menyebarkan misi Kekatolikan di sana.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Lunturnya kepercayaan warga Eropa terhadap gereja
Di Italia, yang notabene dianggap sebagai salah satu negara yang dekat dengan pusat Katolik di dunia, dia masih menemukan tantangan berat lantaran jumlah umat yang terus turun.
"Kalau Italia, setiap tahun pasti ada yang namanya baptisan, komuni pertama, dan krisma. Hampir di setiap paroki itu masih ada, cuma ya gitu penghayatannya sudah berkurang, khususnya karena kultur dari nenek moyang mereka begitu."
Frater Pras juga mengalami beberapa penolakan saat menjalankan misinya.
"Saya pernah jadi utusan paroki untuk pemberkatan rumah saat Paskah. Tapi begitu sampai sana, saya ketuk pintunya dan sampaikan niat, si pemilik rumah bilang kalau dia akan memberkati sendiri rumahnya," katanya.
Selain itu, dia juga pernah mengalami penolakan lain. Suatu kali, dia pernah menegur seorang anak kecil yang tengah bermain, dia pun merasa mata orang tua si anak melotot menatapnya.
"Ternyata, setelah saya tanya ke pastor paroki, mereka pernah mengalami abuse sekitar 12 tahun lalu. Dari situlah kepercayaan kepada imam mulai luntur."
"Tapi tentu saja, tidak semuanya begitu. Ada banyak juga senangnya dan yang menerima dengan baik. Kalau di Eropa itu, melakukan misi memang harus lebih ekstra. Harus berani terjun dan berani ditolak juga. Tapi itu tidak menyurutkan semangat saya, malah sebenarnya makin tertantang."
Tantangan menjadi pastor di Eropa
Selain Frater Pras, tantangan mengemban misi di benua biru Eropa juga dirasakan Romo Henricus Asodo Istoyo, OMI. Pria yang bertugas melayani kongregasi dalam kepemimpinan sebagai Asisten Jenderal bidang Formasi (Pendidikan) di Roma sejak 2 tahun lalu ini sempat merasa tak kerasan di Eropa yang banyak dinilai sebagai 'tanah tandus.'
Sebelumnya di Roma, pria yang disapa Romo Asodo ini menjalani 9 tahun perutusan untuk melayani di Aix en Provence, Prancis Selatan. Romo Asodo juga menemukan kenyataan bahwa di kota ini, banyak hal yang membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap agama turun dan menjauhi gereja.
"Penyebab yang paling besar adalah karena revolusi budaya sekitar 1968. Sejak saat itu orang mulai menekankan ke-aku-an. Dikuatkan lagi dengan teknologi yang makin maju, sehingga hidup makin nyaman," katanya kepada DW Indonesia.
"Penyebab yang paling terlihat adalah sexual abuse yang terjadi. Akhirnya ada revolusi sosial yang membuat gereja ditinggalkan."
Saat di Prancis, beragam gegar budaya mulai dari bahasa, kuliner, dan kebiasaan membuatnya terkejut. Hanya saja, satu hal yang membuatnya paling syok adalah soal penghayatan iman di sana.
"Saya dipindahkan dari negara yang bisa dikatakan agamis (untuk semua agama) dan melekat kuat di dalam struktur masyarakat ke tempat di mana agama boleh dikatakan dipandang dengan amat sangat miring. Ini menjadi syok yang luar biasa," ucap pria kelahiran Ambarawa 14 Juli 1974 itu.
Dia membandingkan jumlah umat yang hadir ke gereja saat Natal atau Paskah di Indonesia bisa mencapai ribuan orang per paroki, namun di Eropa umat yang hadir hanya berjumlah ratusan.
"Dan rasanya seperti, ini ngapain? Saya tugas di negara seperti ini. Rasanya jadi buang-buang waktu saja. Lalu saya jadi marah. Ini perasaan yang berat yang dulu saya alami."
Mulai dengan menjadi manusia
Butuh waktu sekitar 2-3 tahun untuk bisa menerima kondisi dan kenyataan berat tersebut. Buatnya, menjadi orang Indonesia di negeri orang membawa keuntungan tersendiri. Orang Asia, khususnya Indonesia yang dikenal ramah dan mudah senyum menjadi modalnya untuk bisa berteman.
"Inilah poin yang saya pakai untuk masuk ke dunia mereka di Prancis. Saya menyapa, tersenyum pada mereka. Tidak usah bicara agama, tidak usah bicara Tuhan Yesus atau Kristianitas. Tapi bicara tentang Anda dan saya, sebagai seorang manusia," ujar imam yang ditahbiskan pada 7 Desember 2003.
"Mereka pertama kaget. Lama-lama mereka senang. Dan itu menjadi pintu masuk. Bukan membawa mereka ke gereja, tapi untuk menemani mereka agar mereka merasa dikasihi. Selain itu, ini menjadi kekuatan yang luar biasa untuk saya pribadi."
Wajah baru gereja di Prancis
Berjuang bertahun-tahun bersama dengan misionaris lainnya, Romo Asodo melihat buah-buah dari misi tersebut.
Buatnya, saat ini ada dua wajah gereja yang tengah terbentuk. Wajah pertama adalah gereja lama yang berisi orang-orang lansia, dan yang kedua adalah gereja baru yang berisi keluarga-keluarga baru dan anak-anak muda.
"Paskah lalu ada berita menggembirakan, bahwa ada sekitar 27.000 anak muda yang minta dibaptis. Itu sebuah fenomena. Ini artinya, suasana spiritualitas sekarang mulai tumbuh dan mulai mencari makna hidup."
"Saya benar-benar menemukan buah-buah dari penderitaan, dari kesulitan yang saya alami. Soalnya kalau dulu saya mengatakan, saya tidak mau lagi di sini karena di sini itu tanah tandus, tidak ada buahnya, mungkin saya tidak akan merasakan perasaan yang saya alami sekarang."
Saat ini, Romo Asodo sudah pindah ke Roma untuk menjalankan tugas perutusannya di bidang administratif. Namun, sebagai seorang misionaris dia tetap berusaha menjalankan misinya untuk mendoakan orang lain.
(ae)