Kutub Utara Catat Rekor Pencairan Es
12 Oktober 2012Musim panas tahun ini merupakan rekor terpanas di kawasan Kutub Utara. Lapisan laut es bukan hanya menciut hingga ke volume terkecil sejak dilakukannya pendataan satelit 40 tahun lalu. Melainkan, yang paling dramatis adalah mencairnya lapisan es lebih tebal yang berumur lebih tua.
"Dengan itu, volume es juga menurun drastis", papar Walt Meier dari lembaga Amerika Serikat, National Snow and Ice Data Centre (NSIDC).
Sejak 1979 laut di kawasan Kutub Utara mengalami kehilangan 50 persen lapisan es musim panasnya. "Jalur pelayaran paling utara, pada musim panas tahun 2012 samasekali tidak lagi memiliki lapisan es", ujar peneliti AS itu dalam simposium masa depan Kutub Utara, yang digelar International Polar Foundation dan Komisi Uni Eropa di Brüssel.
Es Greenland Mencair Makin Cepat
Juga lapisan es yang menutupi Greenland, yang merupakan hamparan air tawar beku terbesar di bagian utara Bumi, pada musim panas tahun ini mencair amat dramatis. Demikian dikungkapkan Konrad Steffen, pakar lapisan es kutub, yang merupakan direktur lembaga penelitian hutan, salju dan lansekap Swiss -WSL. Dia mengamati perkembangan lapisan es di Greenland pada musim panas sejak 1999 hingga sekarang.
"Untuk pertama kalinya kami mengalami suhu di atas titik beku yang merata di seluruh kawasan. Dari mulai permukaan laut hingga ketinggian 3.300 Meter diantara dua fase musim panas tahun ini", kata Steffen.
"Dari inti bor es kami mengetahui bahwa hal itu terakhir kali terjadi 150 tahun lalu. Di masa lalu, persitiwa serupa hanya terjadi empat kali dalam kurun 1000 tahun. Tapi kini hal itu semakin kerap terjadi. Sejak tahun 2000, kami mencatat peningkatan pencairan lapisan es di seluruh lokasi".
Steffen menambahkan, setiap tahunnya mencair lapisan es antara 250 hingga 350 Gigaton. "Volumenya setara dengan tiga hingga empat kali lipat seluruh lapisan es di kawasan pengunungan Alpina di Eropa", paparnya.
Bumi makin panas
Kutub utara bereaksi lebih peka terhadap pemanasan global dibanding bagian bumi lainnya. "Lapisan es, memantulkan kembali hingga 90 persen cahaya matahari ke luar angkasa", ujar Steffen.
Tapi jika lapisan es ini mencair dan lapisan es di laut kutub menipis, hamparan lahan yang lebih gelap akan menyerap lebih banyak panas. Dengan itu, pemanasan global diperkuat dalam apa yang disebut fenomena timbal balik positif. Dampaknya akan terasa di seluruh dunia.
Muka air laut terus naik
Mencairnya lapisan es, kini sudah terlihat dari kenaikan muka air laut global. "Pencairan lapisan es di Greenland saja, berdampak menaikkan muka air laut satu milimeter per tahunnya", kata peneliti lapisan es dan iklim dari Swiss itu.
"Pertanyaannya kini, bagaimana situasinya pada 50 atau 100 tahun mendatang? Berdasar model iklim konvensional, muka air laut bisa naik antara 50 sampai 100 centimeter."
Pakar kutub Inggris, David Vaughan memperingatkan konsekuensinya bagi kota-kota metropolitan di kawasan pantai, seperti Amsterdam, London atau Hamburg. Juga pembangkit listrik nuklir di kawasan pesisir, terancam tergenang air laut.
"Juga jika kenaikan emisi CO2 dapat dihindari, muka air laut akan tetap naik, paling tidak hingga 50 tahun ke depan", kata Konrad menambahkan. Juga ketua dewan kutub utara, Gustav Lind yang dutabesar Swedia di kutub utara, melihat tendensi serupa. "Amat sulit mereduksi kadar CO2 di atmosfir", ujar dia.
"Kutub Utara akan terus berubah. Satu-satunya kemungkinan melindunginya untuk jangka panjang, adalah sebuah solusi yang disepakati bersama di dalam konvensi iklim internasional".
Meraup keuntungan dari perubahan iklim
Tapi tidak semua pihak cemas atau dirugikan oleh dampak perubahan iklim di kawasan kutub. Warga Greenland sendiri misalnya, sejak lebih 20 tahun terakhir sudah melakukan eksplorasi cadangan minyak, gas serta mineral berharga lainnya di kawasan pesisirnya.
Demikian diungkapkan Innuteq Holm Olsen, wakil menteri luar negeri Greenland dalam wawancara dengan DW. Mencairnya lapisan es di lautan Kutub Utara mempermudah aktifitas itu.
Juga Rusia menetapkan prioritas tertinggi bisnis minyak dan gas buminya dari kawasan Kutub Utara. Begitu kata Charles Emmerson, salah satu penulis hasil riset peluang dan risiko aktifitas ekonomi di Kutub Utara. Risetnya disponsori lembaga tangki pemikir Inggris Chatham House serta perusahaan asuransi Lloyds.
Bahaya bagi lingkungan dan iklim
Para pelindung lingkungan memandang, pencarian sumber minyak baru di kawasan Kutub Utara yang lingkungannya amat peka sebagai paradoks. Greenpeace menyebutkan: "Mula-mula ekploitasi sumber minyak dan gas baru di kawasan kutub dimungkinkan oleh dampak perubahan iklim. Hal itu akan memacu emisi CO2 lebih banyak, yang menyebabkan pemanasan global lebih lanjut."
Greenpeace menggelar sebuah kampanye besar bagi perlindungan Kutub Utara dari pengeboran sumber minyak baru. Tapi Dewan Kutub Utara memandang kasusnya secara berbeda. Mereka menghendaki, perspektif ekonomi masa depan kawasan, harus dipisahkan dari permasalahan iklim.
"Untuk masalah emisi, yang bertanggung jawab adalah masyarakat global dan panel iklim PBB", ujar ketua dewan Kutub Utara Lind.