Pada bulan-bulan pertama tahun ini sempat muncul wacana perpanjangan masa kekuasaan Presiden Joko Widodo. Isu ini sangat elitis, artinya ada segelintir elite politik yang memang ingin “numpang” untuk ikut berkuasa kembali, seandainya wacana spekulatif itu benar-benar terwujud. Sementara rakyat kecil hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, kira-kira bagaimana peta jalan menuju perpanjangan kekuasaan, sebab secara logika sepertinya mustahil. Konstitusi sudah tegas mengatur, presiden hanya bisa berkuasa dalam dua kali masa jabatan.
Dalam hal menambah durasi kekuasaan, kita perlu belajar dari Soeharto, yang lebih dari tiga dekade berkuasa. Salah satu pelajaran yang bisa kita ambil adalah, bahwa hubungan antara waktu dan kekuasaan adalah relatif. Sebagaimana kita lihat pada Soeharto, pada akhirnya kekuasaannya akan berakhir juga, terlepas konstitusi saat itu memberi ruang untuk terus memperpanjang kekuasaanya.
Bila kita paham, bahwa pada akhirnya kekuasaan akan berakhir juga, mengapa pula masih muncul angan-angan untuk memperpanjang kekuasaan? Dengan kata lain, kita kurang belajar dari era kekuasaan Soeharto di masa lalu. Pada titik ini, elite politik kita perlu merenungkan kembali makna dari masa kekuasaan Soeharto, yang lamanya berkuasa mungkin hanya kalah dari Sultan Paku Buwono X (1893-1939), Raja Mataram (Surakarta) terbesar di era modern.
Keterlambatan rekonsiliasi
Tak lama setelah memasuki periode kedua kekuasaannya, Presiden Joko Widodo segera melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto, rivalnya dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019). Peristiwa rekonsiliasi ini bisa menjadi jendela dalam memahami, bagaimana dulu Soeharto membangun kekuasaannya, setidaknya di masa awal.
Namun berbeda dengan rekonsiliasi ala Jokowi, Soeharto justru membangun kekuasaannya dengan melakukan “tumpas kelor” terhadap Soekarno dan barisan pendukung setianya. Rekonsiliasi Soeharto dengan (figur) Soekarno baru terjadi pada pertengahan tahun 1979, ketika Soeharto meresmikan pemugaran makam Soekarno di Blitar, artinya dari segi waktu, sudah terhitung terlambat.
Pendukung setia Soekarno, terutama mereka yang tergolong die hard, sudah sulit memaafkan Soeharto. Kelompok garis keras inilah yang kemudian menjadi simpul perlawanan tiada henti pada rezim Orde Baru, dengan jalan apa pun, yang akhirnya bermuara pada Peristiwa 27 Juli 1996.
Apa yang terjadi di kampung halaman saya pada awal 1970-an pada skala mikro, tepatnya di Blitar, kiranya bisa menjadi refleksi program desoekarnoisasi secara masif pada skala nasional. Apa yang terjadi di Blitar pada tahun-tahun itu, bisa menjelaskan bagaimana desoekarnoisasi, sejatinya hanyalah kesia-siaan belaka. Sebagaimana tampak pada Pemilu 1971, ketika suara PNI (sebelum fusi ke PDI) menjadi senyap pada hampir semua TPS (tempat pemungutan suara) di Blitar, demikian juga dengan NU (sebelum fusi ke PPP tahun 1973).
Senyapnya suara PNI bukan hanya terjadi pada TPS di Kota Blitar, namun juga pada kota-kota lain di Jatim dan Jateng, yang secara tradisional dikenal sebagai basis massa marhaen (sebutan lain untuk soekarnoisme). Namun bisa kita pastikan, bahwa apa yang terjadi di TPS hanyalah di permukaan, sementara kesadaran kolektif pendukung Soekarno sama sekali tidak berubah. Yang sedang berlangsung adalah gerakan klandestin ideologis, bahwa tidak mungkin seorang pendukung Soekarno, menunjukan jati dirinya secara terbuka, sehubungan pendekatan rezim Orde Baru yang sangat militeristik.
Klandestin ideologis baru terkanalisasi pada Pemilu 1987, ketika figur Megawati mulai tampil di panggung politik, kampanye PDI (belum memakai label “Perjuangan”) terlihat demikian gegap gempita. Dahsyatnya kampanye PDI pada Pemilu 1987, seolah memberi sinyal, agar Soeharto segera mereduksi tensi kekerasannya pada rakyat, sebagai salah cara merebut hati pendukung Soekarno.
Terlebih sekitar setahun sebelumnya (1986), Presiden Filipina Marcos baru saja jatuh. Tumbangnya Marcos merupakan pelajaran terbaik, bahwa kekuasaan berbasis otoritarianisme, pada akhirnya akan jatuh juga. Bila baru 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul (jatuh), berarti ada bonus waktu yang lebih dari cukup, yang idealnya bisa dimanfaatkan Soeharto dengan rekonsiliasi dengan rakyat. Namun kini semua telah menjadi sejarah.
Keterlambatan Soeharto dalam rekonsiliasi, mengingatkan kita pada ajaran (kebatinan) kejawen, yang biasa disampaikan tokoh punakawan Petruk: melik nggendhong lali. Maknanya kira-kira adalah, kesejahteraan atau kekuasaan acapkali menjadikan orang lupa (diri). Kira-kira seperti itulah yang terjadi pada Soeharto pada penggal terakhir kekuasaanya, ketika anak-anak, para kerabat dan segenap kroninya, semakin dalam terlibat di dunia bisnis, dengan cara memanfaatkan kekuasaan Soeharto.
Fenomena Mbah Surip
Pertanyaan besar saat ini adalah, benarkah masih ada (sebagian) rakyat yang merindukan kembalinya figur Soeharto? Disimbolisasi terlihat melalui munculnya tagline “enak zamanku tho” di media sosial tanah air. Secara kebetulan juga, anak Marcos baru saja memenangkan kontestasi sebagai Presiden Filipina. Kemenangan anak Marcos, menurut analisis sejumlah pengamat, banyak dibantu oleh konten di media sosial.
Mengutip laman dw.com pertangahan Mei lalu, bagaimana pemilih generasi milenial, utamanya di Filipina, mengonsumsi informasi melalui media digital. Apa yang terjadi di Filipina menjadi pembelajaran penting. Generasi muda hidup di zaman arus deras informasi yang terdisrupsi. Derasnya arus informasi pada platform digital menjadi masalah serius dalam gelaran pesta demokrasi, tidak kecuali Indonesia.
Disrupsi informasi melalui media sosial mengingatkan kita pada fenomena seniman jalanan Mbah Surip, beberapa saat sebelum meninggal pada tahun 2009. Dalam setiap pemunculan di media eletronik, yang berlangsung hampir tiap hari, salah satu narasi yang dimunculkan Mbah Surip adalah proses kreatif penciptaan lagu “Tak Gendong”. Mbah Surip mengklaim, lagu itu ditulisnya saat duduk-duduk merenung di tepi jembatan Golden Gate, San Fransisco.
Informasi keterkaitan Mbah Surip dan jembatan instagramable tersebut, kemudian direplikasi media lain dan warganet, tanpa pernah dilakukan konfirmasi atau cek silang, soal benar tidaknya informasi tersebut. Bila dilihat dari kondisi obyektif Mbah Surip, seperti dari bahasa tubuh dan aspek wawasan, informasi itu sangatlah meragukan. Namun media dan warganet terlanjur terlena, sehingga sampai sekarang tetap muncul keyakinan bahwa Mbah Surip memang sempat tinggal di negeri Paman Sam.
Namun kini ada perkembangan positif, ketika generasi milenial Indonesia tampak lebih cerdas dan kritis dalam menyerap informasi dari media sosial. Itu sebabnya dalam beberapa platform yang beredar, sudah muncul video atau berita yang memunculkan sosok lawan-lawan Soeharto. Konten seperti ini bisa dibaca sebagai narasi tandingan, untuk mengimbangi narasi yang sudah beredar sebelumnya. Generasi baru memiliki banyak perspektif, mereka tidak otomatis tunduk pada narasi atau informasi yang disodorkan generasi yang lebih senior.
Salah satu lawan Soeharto yang dipopulerkan generasi sekarang, adalah Letkol Suadi Suromihardjo, perwira asal rumpun Diponegoro (Jawa Tengah), yang dikenal sangat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam foto dokumentasi, sosok Suadi mudah dikenali dengan baret warna gelap dan senapan M1 Carbine, yang selalu terpasang di dadanya. Posisinya (secara fisik) tidak pernah jauh dari Jenderal Sudirman, itu sesuai dengan jabatannya, sebagai Komandan Pasukan Pengawal Panglima Besar Sudirman.
Dalam narasi sejarah resmi, nama Tjokropranolo selalu lebih ditonjolkan sebagai pengawal Sudirman, sementara nama Suadi hilang begitu saja. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terpendam dalam hati Soeharto terhadap Suadi. Sejarah resmi Indonesia menghapus nama Letkol Suadi karena ia dianggap perwira "Kiri”, sehubungan dengan Peristiwa Madiun 1948. Tuduhan "Kiri” terhadap Suadi seharusnya gugur, ketika dirinya ditarik menjadi komandan pengawal Panglima Sudirman selama gerilya. Seandainya tak dipercaya Pak Dirman, tentu Suadi tidak dilibatkan dalam perjalanan gerilya.
Daya kritis generasi milenial Indonesia masih bisa diharapkan, ketika generasi ini secara jelas merespons dingin manuver politik keluarga Cendana. Kita cukup optimis, apa yang terjadi pada Marcos Junior tidak terjadi di sini. Itu bisa dilihat ketika partai politik besutan Tommy Suharto, Partai Berkarya, sekadar menjadi penggembira pada pemilu 2019. Status paria seperti inilah yang senantiasa diusung dinasti Cendana, bila tetap memaksakan diri terjun di panggung politik.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.