Siti Hartinah, atau sebagaimana masyarakat luas lebih mengenalnya dengan nama Ibu Tien, bukanlah istri presiden yang pasif, yang berperan sebagai pendamping di protokol-protokol kenegaraan semata. Kala Suharto mengendalikan arah kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru, peran Tien sebagai pembisik dan penasihat berpengaruh dalam jalannya rezim otoriter tersebut tidak dapat dilupakan begitu saja. Jika Suharto menggaungkan jargon pembangunan dalam konteks peningkatan taraf hidup secara fisik, Tien menjadi sosok utama pekerjaan serupa di bidang sosial budaya, khususnya sejarah.
Terkait hal tersebut, tentu nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi penting. Sejak 1970, Tien menggagas dan memproyeksikan TMII sebagai kawasan miniatur Indonesia yang dapat dikunjungi publik untuk merasakan apa itu keindonesiaan dengan produk-produk budayanya seperti museum-museum sejarah, taman-taman, rumah-rumah adat Indonesia, dan lain-lain. Kabarnya, inspirasinya datang dari luar negeri, seperti taman rekreasi Disneyland (Amerika Serikat), dan taman-taman desa etnografi kontemporer yang sudah berdiri terlebih dahulu seperti Timland (Thailand) dan Nayong Filipino (Filipina).
TMII adalah contoh baik untuk menjelaskan visi kelampauan seorang ibu negara Indonesia, walau ia tentu bukan satu-satunya. Pada 2019 lalu, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menerbitkan katalog arsip seri pidato Tien (1968-1996) yang berisikan macam-macam pidato/sambutan Tien dalam beragam kesempatan. Dengan memilih beberapa arsip terkait Tien dan TMII, tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana tafsiran Tien terhadap sejarah dalam usahanya membangun TMII dan implikasinya terhadap rekonstruksi sejarah Indonesia di masa Orde Baru.
Museum dan Tendensi Propaganda
Awal 1970-an adalah masa-masa mulai mapannya Orde Baru sebagai kelompok pemenang dari konstentasi dan huru-hara politik Indonesia selama dekade 1960-an. Corak Indonesia di bawah Sukarno diproyeksikan untuk berbeda di bawah Suharto dan rezim militernya. Orde Baru tentu membutuhkan legitimasi dan sejarah menjadi instrumen utama untuk mewujudkannya. Pembangunan TMII beserta museum-museum di dalamnya selaras dengan niatan tersebut. Tak ada yang bisa menolak keinginan Keluarga Cendana saat itu meskipun protes masyarakat bermunculan akibat proyek TMII dianggap sebagai pemborosan.
Ketika Museum Penerangan di lingkungan TMII diresmikan pada 20 April 1993, Tien menyampaikan kata sambutannya. Menurutnya, TMII yang ia gagas tidak hanya ingin sekedar menjadi sarana rekreasi, tetapi juga tempat bagi orang-orang Indonesia untuk mengenal dirinya sendiri. Kesadaran kebangsaan Indonesia baru muncul ketika orang-orangnya sudah mengenal satu sama lain dan menyadari persamaan-persamaan di antara mereka sendiri. Ia menyebut tiga diantaranya, yakni "persamaan dalam sejarah masa lampau, masalah yang dihadapi sekarang, dan cita-cita masa datang yang ingin diwujudkan.”
Sejarah masa lampau tersebut dapat ditafsirkan sebagai nasib bersama sebagai orang-orang terjajah yang tadinya berperang sendiri-sendiri lantas mampu merebut kemerdekaan ketika mereka sudah mempersatukan kekuatan sebagai Indonesia. Hal itu akhirnya kerap menjadi tema utama historiografi Orde Baru, yakni kentalnya narasi-narasi militeristik dalam mendeskripsikan masa lalu Indonesia sejak zaman Belanda untuk pada akhirnya melegitimasi Orde Baru dan heroismenya sebagai penyelamat negara dari ancaman komunisme atau separatisme yang dianggap ingin memecah belah kesadaran kebangsaan tersebut.
Orde Baru berusaha mengkerdilkan peranan sipil dalam sejarah Indonesia seraya memberi tempat bagi tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam perjuangan fisik di panggung utama. Hasilnya, kelompok angkatan bersenjata (ABRI, sekarang TNI) dielu-elukan sebagai pelindung utama bangsa dan negara Indonesia, dan keprajuritan menjadi tradisi yang paling diapresiasi dalam struktur masyarakat Orde Baru secara sosial, politik, dan ekonomi. Kian tak terbendungnya supremasi militer dan kian jauhnya angan-angan demokrasi inilah yang membuat kelompok sipil anti-Sukarno pada 1960-an berbalik menentang Orde Baru pada 1970-an.
Namun, protes masyarakat tidak digubris dan proyek TMII berjalan sampai dibuka pada 20 April 1975. Di tahun yang sama, Tien meminta sejarawan ABRI ternama, Nugroho Notosusanto, untuk merancang museum yang secara khusus menceritakan jejak keprajuritan orang-orang Indonesia untuk menjadi bagian integral dari pengembangan TMII. Katharine Mcgregor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam menulis bahwa museum keprajuritan tersebut dimaksudkan juga untuk melengkapi narasi sejarah keprajuritan yang sudah ada di museum milik ABRI, Museum Satria Mandala.
Museum yang kemudian dinamakan Museum Keprajuritan Indonesia tersebut kental bernuansa militer, dengan bangunan berbentuk benteng Belanda (terinspirasi dari Fort Rotterdam, Makassar) dan berisikan diorama pertempuran-pertempuran bersejarah di Indonesia sejak zaman Belanda sampai kemerdekaan, beserta patung-patung pahlawannya yang ditarik bahkan dari abad ke-7. Sebegitu jauhnya batasan waktu untuk mendefinisikan kepahlawan Indonesia ini dapat dibaca sebagai tafsir Orde Baru yang melihat jiwa militeristik adalah bagian tak terpisahkan dari orang-orang Indonesia, kapanpun masanya.
Dalam pidato sambutan pembukaannya pada 5 Juli 1987, Tien mengatakan bahwa "Museum Keprajuritan Indonesia dapat menjadi sarana pembinaan jiwa, watak dan moral bangsa, secara terus-menerus, dari generasi ke generasi”. Jendral Benny Moerdani berujar serupa dalam kesempatan yang sama. Orang yang menjadi penanggung jawab pembangunan museum tersebut setelah Nugroho wafat pada 1985 tersebut mengatakan bahwa jiwa keprajuritan sudah terbukti sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia, yang juga memotivasi orang-orang Indonesia dalam mengusir penjajah.
Pada dasarnya, Tien menganggap karakter militeristik patut dilestarikan di Indonesia; pernyataan yang sebenarnya tidak salah dalam konteks nasionalisme dan ketahanan nasional, namun tak elok diucapkan oleh pihak yang justru merupakan bagian dari rezim militer yang menindas. Keprajuritan adalah angan-angan kegagahan semu, bahkan propaganda, bagi mereka yang kebebasannya dirampas selama kekuasaan Orde Baru. Terlebih, ketika gagasan itu didorong oleh Tien, seorang perempuan, terlihat tidak peka karena sepanjang sejarahnya perempuan justru menjadi kelompok paling teraniaya dalam setiap peristiwa-peristiwa militer.
Pelajaran dari Perspektif Sejarah Ibu Tien
Perspektif Tien dalam memandang sejarah jelas terpengaruh Suharto. Memang tidak ada atribut-atribut militer yang disematkan bagi Tien, namun perannya sebagai orang terdekat sosok nomor satu di Orde Baru tersebut bukanlah hal sembarangan. Suharto melihat kritik terhadap TMII sebagai serangan personal sehingga orang-orang yang protes ditindaknya dengan keras. Ia juga sampai rela menarik kata-katanya karena sebelum gagasan TMII dikemukakan Suharto sempat menyerukan gubernur-gubernurnya untuk berhemat, namun justru akhirnya malah diperintahkan membangun anjungan rumah-rumah adat provinsi masing-masing di TMII.
Jika ada yang dapat diamini dari ambisi Tien, maka itu adalah visi dasarnya tentang pentingnya museum. Dalam pidatonya tertanggal 20 April 1980 pada peringatan ulang tahun ke-5 TMII, ia dengan tepat menyebut bahwa "museum sama sekali bukanlah kumpulan benda-benda mati”. Ia juga menyerukan masyarakat luas berkontribusi menyerahkan benda-benda warisan sejarah apabila memilikinya. Menurutnya, dengan dihimpun di museum "benda-benda bersejarah itu akan lebih terhormat dan jauh lebih bermanfaat bagi bangsa kita daripada sekedar menjadi milik dan kesenangan pribadi di rumah-rumah.”
Sejarah di masa Orde Baru adalah alat propaganda yang masif dan bertujuan untuk mengekalkan kuasanya selama-lamanya. Namun, reformasi 1998 telah mengubah itu semua. Generasi kini tentu tidak bisa dilarang untuk mengunjungi TMII dan museum-museum di dalamnya, khususnya yang diprakarsai Tien. Namun, tentu kini isinya harus dilihat dengan perspektif dan pola pikir yang berbeda: bahwa di Indonesia militerisme tidak perlu dilazimkan kembali sebagai sesuatu yang superior di atas kehendak sipil, baik di masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.