Menakar Dompet dan Niat Calon Kepala Daerah
12 April 2018Tahun ini Indonesia menggelar 171 pemilihan kepala daerah (pilkada): pemilihan gubernur/wakil gubernur di 17 provinsi, pemilihan wali kota/wakil wali kota di 39 kota, dan pemilihan bupati/wakil bupati di 115 kabupaten. Semua pilkada itu akan menjadi hajatan yang sangat mahal, yang sebagian biayanya menjadi tanggungan setiap kandidat dan partai politik-partai politik yang mengusung mereka.
Musim pilkada seperti ini biasanya diantisipasi oleh pemerintah dan masyarakat dalam hal keamanan dan stabilitas sosial saja. Suasana memang akan panas, masyarakat akan terpolarisasi ke berbagai kubu, dan banyak kandidat akan menggugat proses dan penghitungan suara nanti. Kita semua akan riuh, dan sebagian besar dari kita mungkin akan melupakan dua hal: berapa biaya menjadi kepala daerah, dan dari mana biaya itu diperoleh?
Tahun 2010 lalu, seorang kawan saya—dia mantan anggota legislatif dan ikut dalam tim partai politiknya dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2008—membuat kalkulasi biaya yang harus dibayar seorang calon gubernur di Jawa Barat. Hasil penghitungan berdasarkan pengalaman sebagai orang dalam sebuah partai politik itu sangat menarik: di tahun itu setiap calon gubernur Jawa Barat harus menyiapkan dana lebih dari Rp 500 miliar untuk bertanding di pemilihan gubernur, dan itu pun belum tentu menang!
Tak percaya? Begini perhitungannya:
1. Tahap Persiapan
Misalnya seseorang membutuhkan 3 partai politik untuk mengusungnya menjadi bakal calon gubernur. Ada biaya politik yang harus dia keluarkan. Menurut kawan saya itu, seorang calon kandidat setidaknya harus mengeluarkan Rp 200 juta untuk setiap partai politik. Dengan demikian biaya politik untuk dapat diusung oleh partai politik sebesar Rp 600 juta.
2. Tahap Jumpa Masyarakat dan Jumpa Tokoh Masyarakat
Jumlah Kecamatan di Jawa Barat sebanyak 558 kecamatan. Seorang kandidat setidaknya harus melakukan aktivitas jumpa masyarakat di 70 persen kecamatan yang ada. Itu berarti dia harus mendatangi kurang-lebih 391 kecamatan. Biaya setiap jumpa masyarakat itu paling sedikit Rp 5 juta dan dilakukan setidaknya dua kali pertemuan. Rumusnya menjadi 391 (kecamatan) x Rp 5 juta x 2 (pertemuan), maka biayanya sebesar Rp 3,910 miliar.
3. Rapat dan Pertemuan Internal Tim Sukses
Seorang kandidat harus melakukan rapat dan konsolidasi dengan tim suksesnya di setiap kecamatan. Minimal rapat itu harus dilakukan 3 kali dengan biaya untuk setiap rapat setidaknya Rp 3 juta. Maka rumusnya Rp 3 juta x 3 (pertemuan) x 391 (kecamatan). Total biaya untuk rapat dengan tim sukses adalah Rp 3,519 miliar.
4. Tahap Kampanye
Jumlah penduduk yang memiliki hak pilih pada 2008 sebanyak 33 juta orang. Untuk memperbesar kesempatan menang, seorang kandidat harus bisa meraih 30 persen dari 33 juta pemilih itu, atau sebanyak 9,9 juta pemilih. Biaya politik untuk meraih dukungan 9,9 juta orang itu Rp 50 ribu per orang, uang itu digunakan untuk biaya atribut kampanye seperti baju, poster, stiker, spanduk, dan transportasi. Maka total biaya untuk kampanye sebesar Rp 495 miliar.
5. Tahap Pemungutan Suara.
Untuk mengawasi proses pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), kandidat dan partai politiknya harus mengerahkan para saksi di setiap TPS. Minimal ada satu saksi yang harus mengawasi setiap TPS, dengan honor saksi Rp 100 ribu. Tahun 2008 jumlah TPS sebanyak 68 ribu. Maka rumus untuk biaya saksi adalah 1 (saksi) x Rp 100 ribu x 68.000 (TPS). Total biaya saksi sebesar Rp6,8 miliar.
Jadi, sejak mendaftar ke partai politik sampai ke tahap pemungutan suara, seorang calon gubernur Jawa Barat harus menghabiskan biaya sebesar Rp 509,820 miliar. Harap diperhatikan, dengan biaya sebesar itu seorang kandidat belum tentu menang.
Rincian biaya di atas, adalah perhitungan untuk pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2008. Untuk pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2018, biayanya tentu lebih besar lagi karena faktor inflasi. Katakanlah kita mengambil angka inflasi 5 persen per tahun, maka biaya yang dibutuhkan kandidat gubernur dari sejak mendaftar ke partai politik sampai ke tahap pemungutan suara pada tahun 2018 ini berada di kisaran Rp 800 miliar.
Tentu saja biaya yang dibutuhkan seorang kandidat gubernur di berbagai wilayah di Indonesia tidak akan sama dengan biaya yang dibutuhkan kandidat gubernur di Jawa Barat. Besaran biaya itu ditentukan oleh negosiasi dengan partai politik pengusung, jumlah pemilih tetap di daerah yang bersangkutan, jumlah kecamatan, jumlah TPS, dan harga kebutuhan pokok setempat. Pun demikian, biayanya akan berbeda untuk pemilihan bupati dan wali kota. Perhitungan di atas juga tidak memasukkan biaya-biaya tambahan, misalnya jika kandidat atau partai politiknya ingin menggunakan taktik politik uang untuk menyogok pemilih.
Baca juga:
Anies Korbankan Demokrasi Demi Menangkan Pilkada DKI?
Pilkada Serentak 2018: Pertaruhan Jokowi di Tahun Politik
Pertanyaan selanjutnya, dengan biaya yang semahal itu, berapa pendapatan resmi yang akan diterima seorang gubernur?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, gaji seorang gubernur Rp 8,4 juta /bulan, ditambah tunjangan yang sama dengan pegawai negeri sipil lainya, seperti tunjangan beras, keluarga, pajak penghasilan, tunjangan pajak serta tunjangan-tunjangan lainnya. Total pendapatan itu sekitar Rp 100 juta/bulan atau Rp 1,2 miliar per tahun. Artinya, dalam satu periode jabatan atau 5 tahun bekerja, seorang gubernur "hanya” akan mendapat pendapatan Rp 6 miliar.
Mau tidak mau kita akan mempertanyakan hal-hal yang sangat logis: jika seorang gubernur—katakanlah di Jawa Barat—harus menghabiskan Rp 800 miliar untuk meraih jabatan itu, tapi pendapatannya selama satu periode hanya Rp 6 miliar, kenapa banyak orang begitu ingin jadi gubernur? Apa niatnya jadi gubernur? Dari mana dia mendapatkan biaya untuk pemilihannya? Siapa saja yang membiayainya? Apa yang dia janjikan kepada para investor politiknya?
Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan itu lebih penting diajukan kepada para calon kepala daerah, bahkan juga kepada para calon presiden (bayangkan sendiri berapa biaya yang dibutuhkan seseorang yang ingin menjadi calon presiden) ketimbang kita berisik saling hujat dan terpolarisasi ke berbagai kubu calon kepala daerah atau calon presiden mendatang. Karena dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu kita bisa tahu, apakah para calon kepala daerah dan calon presiden itu benar-benar para calon pemimpin yang akan membawa negara ini jadi lebih adil dan sejahtera, atau mereka hanya wayang-wayang yang digerakkan para pemilik modal yang tak kasatmata.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis