Rasa Orde Baru di Era Joko Widodo
29 Mei 2018Orang-orang yang trauma dengan Orde Baru, segera berada di kubu Joko Widodo, walau mungkin tidak ikut kampanye, setidaknya mereka datang ke Tempat Pemungutan Suara untuk memilih Joko Widodo. Saya termasuk salah satu di antara mereka. Rasanya malu jika saya harus ikut membiarkan tokoh yang menjadi salah satu aktor di era Orde Baru menang jadi presiden.
Ada semacam paranoia yang menghantui, jangan-jangan kalau Prabowo menang, perilaku kekuasan gaya Suharto akan hadir lagi di negeri ini. Sebagai seorang jurnalis dan penulis novel—di mana dua profesi itu mensyaratkan kebebasan berbicara dan berekspresi—saya takut suara saya dibungkam, kebebasan berekspresi saya dibatasi. Saya juga takut jika Prabowo menang akan banyak penindasan terhadap para aktivis, mulai dari aktivis buruh, aktivis lingkungan, aktivis petani, sampai aktivis seni, seperti di masa Orde Baru.
Joko Widodo kemudian menang. Saya merasa lega. Setidaknya saya merasa tidak percuma ikut lagi memilih presiden, karena sejak pemilu 1999 saya tidak pernah ikut memilih siapa pun, apakah itu dalam pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan juga pemilihan kepala daerah. Sebagian orang mungkin menuding saya sebagai orang yang tidak bertanggung jawab sebagai warga negara. Tapi bagi saya, memilih untuk tidak memilih adalah sikap politik yang sama tegasnya dengan orang yang memilih para calon dukungan mereka dalam pemilu. Persis seperti saat saya ikut memilih Joko Widodo, itu adalah plihan politik yang tegas.
Lalu rezim berjalan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah: ada kebijakan dan pembangunan yang bagus, ada juga sikap tercela di sana-sini. Kekecewaan besar saya yang pertama adalah ketika marak pemberangusan aktivitas yang dituding oleh kaum fasis agama dan militer sebagai aktivitas yang berkaitan dengan PKI dan komunisme. Sampai-sampai petunjukan teater seorang kawan saya yang bertemakan Tan Malaka pun diberhentikan dengan paksa, padahal sejak zaman Sukarno sampai hari ini Tan Malaka masih diakui sebagai pahlawan nasional. Saya juga ingat, seorang kawan yang melakukan aktivitas pantomim di jalan, ditangkap polisi karena dicurigai membawa agenda "kiri”.
Sebagai seorang jurnalis, saya juga pernah mengalami intimidasi oleh militer. Ketika saya menjadi seorang editor untuk halaman seni dan budaya di sebuah surat kabar, saya dicari-cari intel militer hanya karena saya menerbitkan artikel tentang sastrawan-sastrawan dari kubu kiri di zaman Orde Lama. Bahkan intel militer sampai masuk ke lingkungan kantor, bertanya kepada beberapa orang untuk mencari saya selama beberapa hari. Ketika akhirnya saya temui, mereka mengatakan keberatan dengan artikel yang saya terbitkan, meminta identitas penulisnya, dan berkali-kali menegaskan bahwa menerbitkan konten tentang orang-orang komunis adalah tabu di negeri ini.
Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, jauh setelah Suharto turun dari jabatannya, masih ada tentara yang mencari-cari seorang jurnalis sampai ke redaksinya. Tak kalah sengit, ada seorang sastrawan senior yang mengirimkan surat keberatan ke redaksi tempat saya bekerja, sambil menjelaskan panjang lebar tentang kejahatan kaum komunis di seluruh dunia.
Saya bukan seorang komunis. Saya hanyalah orang yang peduli akan sejarah dan ingin sejarah dituturkan dengan jujur dan selalu mengungkap hal-hal baru yang tak pernah disampaikan sebelumnya. Dengan semangat jurnalisme—menjadi mata bagi yang tidak bisa melihat, menjadi mulut bagi yang tidak bisa bicara, menjadi telinga bagi yang tidak bisa mendengar—saya selalu ingin memberi ruang pada orang-orang yang disembunyikan dari narasi kaum pemenang.
Pemberangusan aktivitas intelektual
Tak cukup sampai di sana, ketika saya mengikuti sebuah kegiatan sastra di Bali, dan salah satu agenda kegiatannya adalah mengungkap narasi sejarah tentang orang-orang Bali yang dibantai dengan tudingan komunis pasca G30S tahun 1965, acara itu dibatalkan dengan paksa oleh kepolisian. Saya sangat kecewa dengan sikap rezim yang nyaris tak menunjukkan sikap apa pun terhadap pemberangusan aktivitas intelektual. Rezim juga diam ketika beberapa perguruan tinggi melakukan pemberangusan aktivitas mahasiswanya, mulai dari pelarangan buku, pelarangan diskusi sampai pelarangan terbitnya media mahasiswa.
Itu semua saya alami di masa Joko Widodo, yang sebelumnya saya anggap sebagai tandingan dari orang-orang Orde Baru yang ingin bangkit kembali. Bahkan ketika kubu lawan politiknya menuding Joko Widodo memberi ruang bagi kebangkitan PKI, alih-alih memberikan argumen yang cerdas tentang sejarah—saya yakin sebagai presiden dia bisa mengakses ahli sejarah mana pun di Indonesia untuk mendapatkan narasi sejarah yang objektif, bahkan salah seorang direktur jenderal di salah satu kementeriannya pun adalah seorang ahli sejarah—Joko Widodo menyatakan tegas, "Tunjukkan pada saya mana PKI, saya akan gebuk!” Ironis, pernyataan serupa pernah dilontarkan Suharto saat dia berkuasa.
Tak berhenti di masalah kebebasan berbicara dan berekspresi bagi para aktivis seni dan literasi, di rezim Joko Widodo pula konflik agraria muncul dengan sengit. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, hanya di tahun 2017 saja terjadi 659 konflik agraria, meningkat 50 persen dari tahun 2016. Kita juga bisa mengingat kasus-kasus yang mencuat ke permukaan, seperti konflik berlarut-larut di Kendeng, yang para petaninya sampai berunjuk rasa di depan Istana Negara. Tentu kita juga akan selalu ingat tentang dibunuhnya Salim Kancil, warga Desa Selok Awar-Awar yang memprotes tambang pasir di desanya. Lalu ditangkapnya Heri Budiawan, seorang aktivis lingkungan hidup di Banyuwangi, dengan tudingan sebagai komunis karena memprotes tambang emas di daerahnya. Kemudian yang baru-baru ini terjadi: Poro Duka yang ditembak mati karena membela tanah adatnya di Sumba Barat.
"Pembangunan-isme” gaya Suharto
Konflik-konflik agararia yang memakan begitu banyak korban itu mengingatkan saya pada "pembangunan-isme” gaya Suharto: demi pembangunan, rakyat harus minggir. Bahkan di masanya, Suharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan, karena dia banyak "membangun”: mulai dari Taman Mini Indonesia Indah, berbagai waduk yang menggusur rakyat dari tanahnya, sampai proyek sawah sejuta hektar di Kalimantan yang mangkrak tidak karuan. Bukankah Joko Widodo juga sekarang sedang menggenjot pembangunan infrastruktur, dan akibatnya banyak rakyat tergusur dan muncul konflik agraria di mana-mana?
Mungkin Joko Widodo adalah orang baik. Tapi ternyata kita tak bisa mengandalkan kebaikan dan keluguan, karena bagaimana pun kita bisa melihat, kekuasaan Joko Widodo ditopang oleh para oligark, yang secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan dengan penopang kekuatan Suharto di masa lalu: militer dan para konglomerat. Kita bisa melihat, unsur militer selalu hadir sebagai salah kekuatan politik penting di kubu Joko Widodo, walau mereka adalah para pensiunan jenderal. Saya sendiri selalu skeptis—jika bukan curiga—dengan kehadiran para mantan jenderal dalam peta politik negeri ini. Walau mereka adalah para pensiunan—dan karenanya mereka adalah warga sipil yang memiliki hak politik—tetap saja kita tidak bisa mengabaikan doktrin militer yang diajarkan kepada mereka sejak zaman Suharto. Demikian juga dengan para konglomerat Indonesia, yang di masa lalu banyak mendapatkan akses bisnis dari Cendana dan banyak yang melakukan ekspansi bisnis dengan cara-cara Orde Baru: menggunakan tangan kepolisian, militer, dan preman untuk melancarkan ekspansi bisnis mereka.
Memang ada PDIP di belakang Jokowi, yang katanya masih partai berbasis massa—yang dianggap juga sebagai partainya wong cilik. Tapi bukankah PDIP juga partai yang pragmatis, karena pada pemilihan presiden tahun 2009 partai itu mengusung pasangan Megawati-Prabowo? Saya pikir PDIP pun sudah tergelincir menjadi partai oligarki, dengan dominasi Megawati dan ada kecenderungan kuat untuk menjaga dominasi trah Sukarno di partai itu.
Pada akhirnya, saya harus menyerah pada kenyataan: andaikan Joko Widodo adalah orang baik yang memiliki idealisme untuk membela rakyat kecil, kekuatan dia terlalu kecil jika dibandingkan dengan kekuatan uang dan politik para mantan jenderal dan para konglomerat, apalagi berhadapan dengan Megawati dan PDIP. Sayangnya, Joko Widodo tampaknya tidak percaya diri untuk bersandar pada kekuatan rakyat, dan berdiri bersama rakyat yang tertindas. Padahal suara rakyalah yang membuat dia menang jadi presiden.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz)
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis