Menindak Diktator Arab
13 Januari 2012Selama beberapa dasawarsa mereka berkuasa, kemudian digulingkan rakyat sendiri. Baik bekas Presiden Tunisia, Zine al Abidine Ben Ali, maupun Hosni Mubarak yang bertahun-tahun menjadi presiden Mesir. Juga Muammar Gaddafi yang mengangkat diri menjadi pemimpin revolusi Libya, dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Tetapi apa yang terjadi atas mereka setelah digulingkan, menunjukkan perbedaan besar antara para diktator Arab.
Menindak Diktator
Ben Ali, yang sebagai penguasa pertama dikagetkan oleh aksi protes dari apa yang dikenal sebagai Musim Semi Arab, sudah lari ke Arab Saudi Januari 2011. Di sana ia tidak harus takut akan ditangkap. Sedangkan Mubarak memutuskan untuk tetap berada di Mesir, walaupun presiden itu melihat kejatuhannya semakin dekat. Sekarang ia harus mempertanggungjawabkan diri di depan pengadilan. Gaddafi benar-benar melaksanakan apa yang dinyatakannya, dan berjuang hingga detik terakhir. Ia tewas segera setelah ditangkap, di tangan pemberontak Libya. Peristiwa kematiannya sampai sekarang tidak jelas. Supaya Saleh bersedia turun dari jabatannya, presiden Yaman itu akhirnya diberikan imunitas. Kemungkinan besar ia tidak harus mempertanggungjawabkan diri di depan pengadilan.
Bagaimana masyarakat dan pemimpin politik baru bertindak terhadap diktator yang digulingkan sudah jadi bahan diskusi sejak beberapa bulan lalu. Resep paten tidak ada, setidaknya situasi di tiap negara berbeda satu sama lain, dan pandangan tentang institusi negara juga tidak serupa. Bahwa keempat penguasa itu melanggar hak asasi manusia, semua setuju, baik di dalam maupun di luar dunia Arab.
Tetapi itu tidak menjawab pertanyaan, di depan pengadilan mana seorang diktator harus mempertangungjawabkan tindakan mereka. Apakah penanganan secara hukum harus dilakukan kehakiman di masing-masing negara, atau di depan pengadilan seperti mahkamah internasional di Den Haag?
Hukum Nasional atau Internasional?
Bagi Reinhard Merkel, profesor di bidang hukum pidana dan filsafat hukum di Universitas Hamburg, terutama satu hal jelas: "Dalam kasus-kasus, di mana kejahatan besar dilakukan, hukuman pidana harus dijatuhkan." Apakah hukum nasional atau internasional harus digunakan, harus diputuskan dari setiap kasus. "Kedua kemungkinan itu punya kerugian besar, tetapi juga keuntungan," demikian Merkel. Untung rugi ini harus dipertimbangkan. "Jika tidak ada sarana hukum intern, yang dapat menjamin proses adil, mungkin penyerahan diktator ke mahkamah internasional menjadi jalan keluar lebih baik," demikian Merkel.
Namun demikian nilai simbolis sebuah proses pidana tidak dapat dianggap remeh, demikian pendapat filsuf hukum Reinhard Merkel. Itu adalah instansi yang menciptakan keadilan dan mendemonstrasikan negara hukum. Itu faktor penting, terutama berkaitan dengan negara-negara Arab, yang berusaha menciptakan wajah baru. "Hukum pidana adalah perwujudan paling kuat kedaulatan sebuah pemerintahan dan sebuah negara," tukas Merkel sambil menambahkan "Banyak pemerintahan baru ini ingin mendemonstrasikan kedaulatan mereka ke luar negeri."
Dasar-Dasar Negara Hukum, Proses Mencurigakan
Tetapi bagi pemerintahan-pemerintahan baru itu ada motif tersendiri untuk melaksanakan proses hukum di negara sendiri. Balas dendam. Merkel menekankan, "Motif ini mencurigakan dan tidak menciptakan perdamaian di masa depan." Salah satu contohnya adalah Irak. Diktator Irak, Saddam Hussein yang digulingkan dihadapkan ke pengadilan di negara sendiri. Proses itu memang memiliki dasar-dasar negara hukum, tetapi dilaksanakan dengan cara yang sangat mencurigakan.
"Orang tidak menghapus subyektifitas tertentu, orang tidak membiarkan terdakwa menyampaikan pembelaan diri dalam banyak kasus, dan orang segera mengeksekusi Saddam Hussein setelah hukuman mati dijatuhkan, walaupun ia masih punya hak untuk mendapat bantuan hukum." Demikian kesimpulan Merkel tentang proses terhadap Saddam Hussein, yang juga mendapat kritik dari organisasi non pemerintah Amnesty International dan Human Rights Watch. Itu juga berdampak negatif terhadap demokratisasi negara, yang menderita akibat perang saudara, demikian pendapat pakar itu.
André Bank dari GIGA Institut für Nahost-Studien (Institut Studi Timur Tengah) di Hamburg khawatir perkembangan sama akan terjadi di negara tetangga Irak, Suriah. Sejak 10 bulan lalu, rejim menindak brutal para demonstran. Banyak pembangkang sekarang menuntut pembunuhan Presiden Bashar al Assad, dan bukan proses pengadilan berdasarkan hukum. "Semakin banyak pengikut protes terbuka bagi penggunaan kekerasan," demikian Bank. Pakar Suriah itu menduga, skenario seperti yang terjadi di Libya mungkin terjadi, jika rejim jatuh dan Assad ditangkap. Sekarang saja masyarakat sudah menunjukkan perasaan dendam.
Dilema bagi Pemerintah Negara-Negara Barat
Itu dapat menjadi masalah bagi Suriah yang demokratis, demikian diperingatkan Michael Bothe. "Pembunuhan seperti terhadap Gaddafi dan anaknya selalu menjadi beban di kemudian hari," kata profesor di bidang hukum internasional dari Universitas Frankfurt. Untuk melaksanakan perdamaian, penanganan masa lalu tidak dapat dielakkan. "Penanganan beban dari rejim yang tidak adil adalah langkah penting bagi demokratisasi." Itu juga dikatakan Arndt Sinn, profesor di bidang hukum pidana dan prosesnya, serta hukum pidana internasional di Universitas Osnabrück. Tetapi untuk itu situasi harus mendukung. Ia menekankan, "Sebuah proses harus sesuai dengan standar hak asasi manusia. Hanya dengan cara itu sebuah masyarakat dapat bergerak menuju demokrasi."
André Bank melihat dilema bagi negara-negara Barat dan Eropa dalam hal itu. Walaupun Presiden Bashar al Assad kemungkinan bertanggungjawab bagi tewasnya ribuan warga Suriah, dan banyak pembangkang menuntut kematiannya, negara-negara Barat harus menuntut dilaksanakannya proses yang bersifat negara hukum. Itu harus dilakukan Barat tanpa menganggap rendah warga Suriah yang menginginkan kematian Assad.
Anne Allmeling/Marjory Linardy
Editor: Hendra Pasuhuk