Konflik Laut Cina Selatan Akan Diatasi dengan Jalan Damai
19 Februari 2019Cina dan beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Filipina, Indonesia dan Malaysia, beberapa kali terlibat pertikaian terkait klaim wilayah di perairan Laut Cina Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah membangun landasan terbang dan hanggar, serta menempatkan sistem anti-pesawat dan anti-rudal di Kepulauan Spratly di lepas pantai Filipina.
Cina mengklaim kedaulatan atas sebagian besar wilayah perairan Laut Cina Selatan, meskipun klaim ini ditolak oleh pengadilan internasional pada 2016. Kepala Komando Pasifik AS saat itu memperingatkan masyarakat internasional tentang "perilaku tegas dan agresif Cina di Laut Cina Selatan."
Pada Konferensi Keamanan Munich tahun ini, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen berbicara kepada DW tentang pentingnya kerja sama multilateral dan transparansi antar negara dalam menghindari konflik.
DW: Laut Cina Selatan telah menjadi titik nyala cukup lama. Dalam hal konfrontasi militer besar-besaran, apa yang bisa Singapura lakukan untuk meredakan ketegangan?
Ng Eng Hen: Saya kira konfrontasi besar-besaran tidak akan terjadi. Semua pihak yang terlibat - negara yang mengklaim dan komunitas internasional - mengakui bahwa jika terjadi konfrontasi, harga yang dibayar terlalu mahal dan masalah di Laut Cina Selatan tidak menjamin timbulnya konfrontasi fisik yang sebenarnya.
Walaupun demikian, itu bukan berarti tidak ada kesalahan perhitungan atau insiden. Yang terjadi baru-baru ini adalah ketika USS Decatur, kapal perang AS, saat melakukan operasi navigasi mendekat ke kapal perang Cina.
Kita semua tahu bahwa ada perselisihan mengenai klaim teritorial dari Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Indonesia, yakni adanya tumpang tindih zona ekonomi eksklusif dengan sembilan garis putus-putus (garis demarkasi Cina di Laut Cina Selatan).
Semua negara yang bertikai telah membangun sesuatu di wilayah yang disengketakan. Beberapa orang berpendapat bahwa Cina membangun lebih banyak – betul atau tidak, yang pasti semua negara telah membangun sesuatu. Apa pun yang dilakukan Cina, apakah itu di Kepulauan Spratly atau Paracel, telah memungkinkan mereka untuk mengoperasikan garis pertahanan luar mereka. Ini jaraknya sekitar 800 kilometer dari daratan Cina, dengan kecerdasan, pengawasan, kemampuan pengintaian dan landasan pacu yang diperpanjang, yang dapat mengakomodasi pesawat mereka termasuk pesawat terbang dan jet tempur. Fitur di Laut Cina Selatan memiliki sistem pertahanan yang baik. Saya ragu apakah ada yang berpikir untuk mengusir Cina dari sana.
Baca juga: Mampukah TNI Lindungi Indonesia dari Agresi Cina?
Apakah Anda khawatir tentang hal itu? Apakah Anda pikir itu juga bisa membahayakan keamanan Singapura?
Bukan keamanan Singapura, tapi Anda tahu Laut Cina Selatan adalah salah satu jalur komunikasi laut tersibuk, membawa muatan perdagangan global yang cukup besar dan berfungsi sebagai jalur maritim untuk minyak - aset strategis. Tetapi semua negara tahu itu. Jadi tidak terlalu mengkhawatirkan bagi Singapura. Mereka akan berhati-hati untuk tidak memicu konfrontasi. Faktanya, di lapangan, ada beberapa insiden, tetapi dalam skala sejarah dan dibandingkan dengan beberapa wilayah lain, insiden yang terjadi di Laut Cina Selatan kurang signifikan.
Apakah Anda pikir agresifitas Cina dan meningkatnya hegemoni mereka dapat menjadi tantangan bagi negara lain juga?
Itu adalah sebuah pendapat. Dari perspektif Cina, mereka menyebutnya sebagai "peaceful rise", kebangkitan yang damai. Mereka ingin negara lain juga ikut berpartisipasi dan terkait dengan hal itu, saya rasa itu memang benar. Selama dekade terakhir, setelah krisis keuangan global, ketika Eropa dan Amerika berada dalam kelesuan ekonomi, pertumbuhan Cina lah yang menopang Asia.
Saya ingat bertemu dengan sekelompok pengusaha pada saat itu, termasuk pengusaha Amerika dan Eropa, dan bertanya kepada mereka: "Di mana Anda ingin berada dalam dekade ini?" Tiga dari mereka berkata Asia. Jadi saya tidak akan salah menggambarkan peran Cina. Kita mengakui klaim Cina pada sembilan garis putus-putus, serta putusan arbitrase yang diajukan Filipina kepada Cina, membuat deklarasi dalam klaim dan fitur apa yang menjadi haknya. Pendekatan Cina adalah membangun kode etik dengan negara-negara yang bersengketa dan dengan ASEAN.
Baca juga: Kebijakan Dagang AS Sulut Perpecahan ASEAN Dalam Konflik Laut Cina Selatan
ASEAN tampaknya sedikit terpecah pada masalah Laut Cina Selatan. Peran apa yang dapat dimainkan Singapura untuk membantu para pemain regional menemukan titik temu?
Sudah ada deklarasi, yang mendahului kode etik, yang ditandatangani oleh semua pemimpin ASEAN dan Cina pada tahun 2012. Ada pernyataan konsensus dengan menteri pertahanan dan menteri luar negeri ASEAN, yang secara konsisten menyatakan tekad mereka untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai dan menghormati hukum internasional.
Mengenai peran yang dapat dimainkan Singapura: kami mengambil pendekatan yang sangat praktis. Ketika Brunei memegang kepemimpinan di ASEAN, kami membujuk mereka untuk mengadakan latihan maritim 18-negara, dan kami berhasil melakukan itu. Ini juga merupakan pertukaran dari sepuluh negara ASEAN ditambah delapan lainnya.
Baru-baru ini, sebagai ketua, Singapura memfasilitasi latihan maritim ASEAN-Cina pertama di Cina. Saya pikir pendekatan kami adalah peningkatan keterlibatan. Anda harus meningkatkan keterlibatan semacam itu untuk mengurangi risiko salah perhitungan. Pertemuan para menteri pertahanan ASEAN juga telah mengatur hotline untuk mengurangi ketegangan.
Wawancara dilakukan oleh Shamil Shams di Konferensi Keamanan Munich 2019