Momentum Pembenahan Kerja Pemerintah di Masa Pandemi
7 Desember 2020Dalam dua pekan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat melakukan serangkaian operasi tangkap tangan (OTT). Tak tanggung-tanggung dua pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara ikut terseret dalam OTT ini.
Sebelumnya, Minggu (06/12) dini hari, KPK mengumumkan hasil OTT yang menyasar Kementerian Sosial atas kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi COVID-19. Dalam OTT tersebut, total enam orang diamankan KPK. Di saat yang sama KPK pun menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka. Tak lama ditetapkan sebagai tersangka, Juliari akhirnya menyerahkan diri ke KPK.
Menanggapi ini, Presiden Jokowi menegaskan bahwa ia tidak akan melindungi pihak yang terlibat korupsi. Jokowi menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada KPK dan ia menghormati proses hukum yang berjalan.
“Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi,“ ujar Jokowi di Istana Bogor, Minggu (06/12).
"Kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional dan pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," lanjutnya.
Tidak berhenti di Kementerian Sosial
Kepada DW Indonesia, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Dewi Anggraeni mengapresiasi langkah KPK selama beberapa waktu terakhir ini dalam membongkar kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat publik.
Namun, Dewi berpendapat masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan KPK dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. “Kasus-kasus besar yang kemarin mangkrak atau kasus-kasus yang sudah di ujung dan tinggal penetapan tersangka dan lain sebagainya untuk pengembangan kasus tapi juga belum dilanjutkan misalnya,” ujar Dewi, Senin (07/12) siang.
Dewi meminta KPK untuk menelusuri pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus dugaan suap bansos penanganan pandemi COVID-19. Ia berpendapat modus serupa bisa terjadi di kementerian-kementerian lain.
“Karena kami duga tidak hanya pertama kali terjadi penyuapan seperti ini. Bisa saja sedang atau sudah terjadi modus serupa di tempat lain-lain juga, di kementerian yang lain. Ini masih awalannya, apalagi di masa pandemi KPK harus selalu waspada,” tuturnya.
Maksimalkan perencanaan dan identifikasi kebutuhan barang jasa
Lebih lanjut Dewi mengimbau agar pemerintah bersikap transparan dalam melakukan perencanaan dan identifikasi kebutuhan pengadaan barang dan jasa. Musababnya praktik korupsi terkait barang dan jasa sangat marak terjadi.
“Jadi misalnya bansos atau alkes kita tahu itu di masa pandemi apa sih yang akan dibutuhkan. Enggak mungkin mendadak bulan depan butuh sekarang baru pengadaan,“ terang Dewi.
“Ketika tidak ada perencanaan seperti itu dan mendadak, makanya akan ada penunjukan langsung dan lain sebagainya,“ ia menambahkan.
Dalam kasus dugaan suap ini, Juliari diduga menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari dua periode paket sembako program bansos penanganan pandemi COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek. Suap berasal dari pihak swasta dengan maksud agar terpilih menjadi pelaksana proyek Kementerian Sosial RI.
Juliari menerima fee tiap paket bansos yang disepakati oleh tersangka MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bansos.
Polemik hukuman mati
KPK menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pihaknya tengah mendalami kasus suap bansos penanganan pandemi COVID-19 ini. Musababnya, dalam aturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat peluang dijatuhkannya ancaman hukuman mati bagi koruptor yang melakukan praktik korupsi berkaitan dengan bencana.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pandemi COVID-19 sendiri pun telah ditetapkan Presiden Jokowi sebagai bencana nasional.
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, menilai hukuman mati tidak memiliki dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara. Berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat atas dalam menekan angka korupsi “nyatanya tidak sama sekali memberlakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi.“
“Selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi,“ terang Erasmus dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.
Erasmus berpendapat bahwa dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan menjadi langkah yang lebih efektif dalam upaya pemberantasan korupsi.
"ICJR merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya," jelasnya.
Sementara itu, peneliti ICW Dewi Anggraeni berpendapat bahwa dijatuhkannya hukuman kurungan maksimal bisa memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.
“Jatuhkan 15, 20 tahun, atau seumur hidup ya, pertama. Terus kedua penerapan pasal TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi jangan sampai mereka koruptor misalnya dijatuhi hukumannya ringan terus keluarnya cepat, uangnya tetap masih ada dari hasil korupsi. Dan itu pun misalnya sudah dikenakan pasal TPPU harus dipastikan juga apakah uangnya sudah kembali ke negara atau belum,“ pungkasnya.
rap/ha