Monumen Kuno di Timur Tengah Terancam Bahaya
27 September 2022Pada masa lalu, wilayah Babilonia adalah kota terbesar di dunia, dan dianggap sebagai rumah bagi Taman Gantung Babilonia, yakni salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia, dan juga Menara Babel yang legendaris.
Tetapi kini, kota kuno Babilonia di wilayah yang sekarang disebut Irak selatan itu, terancam runtuh. Kota yang awalnya didirikan sekitar 4.300 tahun yang lalu ini, merupakan kota dengan perpaduan modern dan kuno. Bagian depan plester dinding yang direkonstruksi, yang dulu dibangun untuk mereplika sejarah aslinya, kini mulai runtuh dari dinding dan beberapa bangunannya. Yang dulunya populer di kalangan turis, kini menjadi tempat yang berbahaya untuk dimasuki.
"Air tanah merembes masuk selama bertahun-tahun dan kemudian musim panas yang sangat kering menyebabkan bangunan mulai runtuh,” jelas Profesor Eleanor Robson dari Sejarah Timur Tengah Kuno di Universitas College London (UCL), yang telah mengunjungi situs warisan di Irak beberapa kali setahun dalam satu dekade terakhir.
"Saya menghabiskan satu hari di bulan Mei lalu, berjalan-jalan dengan Ammar al-Taee dan timnya [dari Dana Monumen Dunia di Irak] dan itu sangat menyedihkan," tambahnya. "Mereka harus melihat bangunan yang mulai runtuh di depan mata mereka."
Kota kuno Irak itu, Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 2019 silam, bukan satu-satunya situs di wilayah tersebut yang merasakan dampak luar biasa dari perubahan iklim.
Badai pasir, kebakaran, hingga banjir
Di Mesir, bebatuan dalam struktur bersejarah mulai berubah warna dan retak akibat suhu dan kelembaban yang tinggi. Kebakaran hutan yang lebih sering terjadi, badai debu dan pasir, polusi udara, meningkatnya kadar garam dalam tanah serta kenaikan permukaan air laut, telah mengancam situs-situs sejarah lainnya di wilayah itu.
Di Yordania, ada kekhawatiran bahwa bagian dari Petra, kota yang berusia sekitar 2.300 tahun dengan struktur bangunan rumit yang dibangun di sisi tebing, terancam oleh adanya potensi peningkatan tanah longsor.
Di Yaman timur, hujan lebat merusak konstruksi bata lumpur yang terkenal di Wadi Hadramaut dan banjir bandang yang kini lebih sering terjadi di negara itu, juga menghanyutkan bangunan bata lumpur tersebut.
Di Libia, kota oasis kuno Ghadames kini terancam punah akibat sumber air utamanya telah mengering. Tumbuh-tumbuhan lokal juga telah mati dan penduduknya telah pergi. Situs warisan di garis pantai tepat di sekitar wilayah tersebut juga terancam akibat naiknya permukaan laut serta banjir.
Bulan ini, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh tim peneliti dari Institut Max Planck di Jerman dan Institut Siprus tampaknya memprediksi bahwa situasi yang lebih buruk akan segera datang. Jurnal itu menyimpulkan bahwa Timur Tengah dan wilayah Mediterania timur mengalami "pemanasan hampir dua kali lebih cepat daripada rata-rata global, dan lebih cepat daripada bagian dunia lainnya yang berpenghuni."
Itu berarti bahwa kastil, benteng, piramida, dan situs kuno lainnya di bagian wilayah ini berada dalam bahaya yang lebih besar dari bagian dunia lainnya akibat perubahan iklim.
Paling berisiko
Seperti yang diungkapkan oleh Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs, "perubahan iklim telah menjadi salah satu ancaman paling signifikan dan paling cepat berkembang bagi manusia dan warisan budaya mereka di seluruh dunia."
"Dan tidak ada keraguan bahwa warisan budaya di wilayah Timur Tengah lebih berisiko daripada di tempat-tempat lain seperti Eropa," kata profesor Nikolas Bakirtzis, seorang ahli arkeologi dan warisan budaya di Institut Siprus.
Pertama, situs warisan di Timur Tengah lebih berisiko daripada wilayah dunia lainnya karena kawasan ini semakin lebih cepat panas, lebih cepat, katanya. Kedua, mereka lebih berisiko karena banyak negara di kawasan ini memiliki kekhawatiran lain yang mungkin lebih diutamakan daripada pelestarian situs budaya, termasuk krisis ekonomi atau politik, dan bahkan perang.
"Semua orang sadar bahwa ini adalah tantangan, tetapi tidak semua orang mampu menjadikan ini sebagai prioritas," jelas Bakirtzis. Perubahan iklim juga telah memengaruhi situs warisan Eropa, namun Eropa berada dalam posisi yang jauh lebih baik dalam mengelolanya, tambahnya.
Negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab di Teluk Persia lainnya telah membuat kemajuan dalam mengelola situs warisan mereka dengan lebih baik dalam menghadapi perubahan iklim. Tetapi negara-negara lain di wilayah itu masih belum bisa berbuat banyak.
Seringkali, ada organisasi pemerintah yang dibentuk untuk mengelola situs warisan, tambah Robson dari UCL. Seperti contoh di Irak, mereka memiliki Dewan Warisan Kuno Negara (State Board of Antiquities and Heritage). "Tetapi mereka sangat kekurangan sumber daya, perlengkapan dan pelatihan akibat sanksi dari 20 tahun terakhir di Irak," tambah Robson. "Sementara itu, kebutuhan fisik situs warisan menjadi lebih gawat yang membuat mereka jauh lebih mahal untuk dirawat."
"Kesadaran akan masalah ini, kebutuhan untuk melindungi situs warisan dari perubahan iklim, hanya ada dalam masa pertumbuhan," kata Ibrahem Badr, seorang profesor di Fakultas Arkeologi di Universitas Misr Mesir untuk Sains dan Teknologi, yang berada di luar pusat kota Kairo.
"Beberapa penelitian telah dilakukan, tetapi itu masih belum berarti telah ada banyak tindakan di lapangan. Sayangnya, sebagian besar negara di Timur Tengah tidak siap untuk menangani masalah ini dan ini berdampak negatif pada situs arkeologi mereka."
Jejaring Sosial penting untuk bertahan hidup
Terakhir, dan mungkin yang paling penting, para ahli berpendapat bahwa perubahan iklim memiliki dampak negatif yang semakin besar terhadap masyarakat di sekitar situs warisan.
"Ini bukan hanya kuil kuno atau situs arkeologi yang berdiri sendiri di sana," kata Bakirtzis. "Ini juga tentang komunitas yang mempertahankan penggunaan dan pengalamannya serta makna dari situs-situs itu."
Perubahan iklim akan menyebabkan penduduk untuk bermigrasi, ketika kondisi kehidupan mereka sudah tidak dapat dipertahankan, jelas Bakirtzis. Selain karena tidak adanya yang menjaga situs warisan tersebut, makna budaya mereka juga secara bertahap akan memudar.
Bakirtzis menunjuk ke beberapa situs peninggalan umat Kristen di Irak. Banyak dari mereka, para komunitas Kristen setempat, telah meninggalkan wilayah ini akibat perang, dan serangan dari beberapa kelompok ekstremis yang dikenal sebagai Negara Islam, serta keadaan lingkungan yang terus berubah.
"Kini di wilayah itu, tidak ada seorang pun datang untuk mengunjungi atau bahkan sedikit peduli tentang situs tersebut, jadi bangunan itu kini hanya berubah menjadi reruntuhan," kata Bakirtzis.
Lebih banyak penjarahan
Masalah lain yang mungkin muncul adalah saat penduduk setempat mulai putus asa, mungkin mereka akan mulai mencari artefak yang bisa dijual atau diselundupkan.
"Ketika warga tidak dapat lagi menghidupi diri dari tanah akibat penggurunan dan suhu panas, kita cenderung dapat melihat kebangkitan penjarahan arkeologi, baik penjarahan profesional maupun subsisten," jelas Robson. Dia ingat kejadian serupa terjadi setelah invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003 silam.
Karena itu, upaya yang lebih dan lebih baik lagi harus dilakukan untuk mengelola dampak perubahan iklim pada warisan budaya di wilayah Timur Tengah, para ahli sepakat.
"Harus keras kepala, dalam istilah arkeologis, Anda bisa berkata [tentang Babilonia] bahwa itu hanyalah situs warisan yang runtuh, hal yang sama yang terjadi beberapa kali dalam 5.000 tahun terakhir," kata Robson. "Dan para arkeolog masa depan bisa datang dan menggalinya lagi."
Tapi bagi penduduk setempat, jauh lebih daripada itu, jelas Robson. Misalnya, orang Irak mungkin berdebat tentang banyak hal, tetapi salah satu topik yang menyatukan mereka dan membuat mereka bangga adalah sejarah negara mereka sendiri sebagai "tempat lahirnya peradaban". Seperti situs Mesopotamia kuno yang menjadi tempat penulisan pertama, praktik pertanian, dan tempat di mana kota-kota mulai di bangun manusia.
"Kita memiliki hubungan personal dengan situs warisan. Ini benar-benar warisan yang menginformasikan tentang siapa kita, apa peran kita di dunia dan di komunitas ini," jelas Robson. "Ini membawa rasa padu dan sangat mendasar bagi identitas kita."
kp/hp