Pakar Jerman: Konservatisme di Indonesia Bakal Makin Kuat
17 April 2019Hasil awal hitung cepat dari lima lembaga survei yang kredibel menunjukkan kemenangan jauh pasangan calon presiden Joko Widodo dan calon wakil presiden Ma'ruf Amin. Perbedaan perolehan suara antara Jokowi dan Prabowo bahkan lebih besar daripada pemilu 2014. Jika kecenderungan ini tidak berubah, apakah artinya hasil pemilu serentak 2019 bagi perkembangan politik di Indonesia? DW berbicara dengan pakar politik Asia Tenggara dari Universitas Bonn Dr. Timo Duile.
Dr. Timo Duile, Anda tentu sudah melihat hasil awal hitung cepat Pemilihan Presiden di Indonesia yang sudah ditayangkan di berbagai situs Internet. Bagaimana tanggapan Anda atas hasil awal ini?
Timo Duile: Saya tidak terlalu kaget dengan hasil ini. Karena sebelumnya sudah ada lembaga-lembaga survei yang bisa dipercaya yang memprediksikan itu. Jadi ini adalah hasil yang sudah diharapkan.
Menurut Anda, mengapa Prabowo sekarang kalah lebih banyak daripada dalam pemilu 2014?
Ada dua alasan. Pertama, Jokowi memang cukup berhasil memperluas koalisinya menjelang pemilu kali ini. Dia mengumpulkan cukup banyak partai politik untuk bergabung dalam koalisinya. Dia juga membangun jaringan dengan para konglemerat dan pengusaha.
Kedua, Jokowi, yang berasal dari kalangan sipil, juga berhasil memperluas dukungan di tubuh TNI dan Polri.
Ketiga, Jokowi berhasil dalam strategi kampanye. Strateginya sebenarnya cukup sederhana, yaitu tampil lebih Islami. Dia berhasil menangkis serangan-serangan yang mengatakan dia tidak cukup Islam. Dia memilih Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden, untuk menggalang dukungan di kalangan Islam konservatif. Lalu beberapa hari sebelum pencoblosan, dia pergi ke Mekkah.
Jadi untuk memenangkan pemilu di Indonesia, cukup dengan strategi sederhana saja? Lalu apa artinya ini untuk situasi dan perkembangan politik Indonesia ke depan?
Tokoh dan elit politik di Indonesia sangat mengetahui wacana apa yang sedang populer di kalangan pemilih, saat ini adalah Islam. Baik Prabowo maupun Jokowi hanya mengikuti tren itu, tanpa punya program sendiri. Jokowi sendiri orangnya sangat pragmatis.
Hasil ini bisa membuat konservatisme di Indonesia makin kuat. Karena pimpinan politik takut membawa agenda sendiri atau agenda baru. Mereka cenderung mengikuti apa yang mereka simpulkan sebagai tren dalam masyarakat.
Memang masih ada kelompok-kelompok kecil yang bisa disebut progresif. Beberapa dari kelompok itu tetap memilih Jokowi, yang lain ada yang memilih untuk tidak memilih, atau istilah Indonesianya: golput. Ada juga yang memilih jalan tengah, yaitu tidak memberikan suara sah dalam pemilihan presiden, tetapi dalam pemilihan parlemen mereka memilih PSI, dan berhadap akan mampu mendesak perubahan.
Pemilu presiden kali ini memang dilakukan serentak dengan pemilu parlemen. Dari angka-angka di perhitungan cepat, kelihatannya kubu Jokowi juga akan punya mayoritas komfortabel di parlemen. Apakah ada harapan melakukan perubahan dalam konstelasi seperti itu?
Sangat sulit. Seperti saya katakan, Jokowi orangnya sangat pragmatis. Jadi dia akan lebih memperhatikan tuntutan dan kepentingan elit politik di sekitarnya daripada suara masyarakat.
Konservatisme di Indonesia tidak terjadi begitu saja, melainkan sebuah proses yang perlahan-lahan dan sudah ada sejak era Orde Baru. Baik Prabowo maupun Jokowi tidak bisa dan tidak ingin mengubah itu.
Jadi, desakan menuju perubahan hanya bisa datang dari luar parlemen, dari masyarakat sendiri. Misalnya kalau wacana keadilan sosial dan penegakan hak asasi makin kencang dan luas, wacana itu bisa menggusur tema agama. Kalau masyarakat secara luas menuntut perubahan ke arah sana, elit politik akan mengikutinya. Apalagi Jokowi yang pragmatis, dia akan merespon itu.
*Dr. Timo Duile adalah dosen di Institut für Orient- und Asienwissenschaften, Abteilung für Südostasienwissenschaft, Universitas Bonn, dengan fokus penelitian tentang demokratisasi, gerakan-gerakan politik, Islam, politik identitas dan sekularisme.