Peluang Sama untuk Semua?
7 Mei 2012Kesamaan peluang adalah tema besar para liberalis Inggris di abad ke-18. Kelompok rakyat biasa ingin memperkuat haknya dibanding keistimewaan yang dimiliki kelompok bangsawan. Setiap orang diharapkan memiliki kebebasan untuk memutuskan peluang apa yang ingin dicapainya dalam hidup. Meski demikian keadilan sosial belum menjadi tema yang besar. Perempuan Eropa misalnya, pada akhir abad ke-19 masih harus memperjuangkan hak bersuara dalam politik. Jika menyangkut masalah kesamaan peluang dalam lapangan kerja serta perolehan upah yang adil untuk bobot pekerjaan yang sama, hingga kini perempuan di Jerman pun masih dirugikan.
Juga di sekolah dan pendidikan, anak perempuan dan anak laki-laki tidak diperlakukan sama di seluruh dunia. Hal itu ingin diubah UNESCO dalam rencana aksi "Pendidikan Bagi Semua“. 164 negara antara lain sepakat untuk memungkinkan pendidikan dasar anak-anak secara gratis, mengurangi separuh kuota buta huruf di kalangan orang dewasa dan menjamin persamaan hak gender. “Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan. Semakin besar kita menuntut hal itu semakin banyak pemerintahan yang menyadari dan mencantumkannya dalam undang-undang dan harapan untuk itu semakin besar”. Demikian harapan Mark Richmond, pimpinan urusan pendidikan interdisipliner dan pengembangan berkelanjutan Organisasi untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya PBB, UNESCO.
Kesamaan peluang hanya ilusi?
Dari segi humaniter, tuntutan akan peluang yang sama di bidang pendidikan sebetulnya ditanggapi semua pihak, namun tema ini masih diperdebatkan. Ekonomi dan politik memiliki kepentingan mendorong secara khusus orang-orang dengan bakat istimewa, agar mereka kelak dapat menempati jabatan-jabatan utama. Dalam mendorong secara elit seperti ini, anak-anak dari orang tua yang berlatar belakang akademis jelas memiliki keuntungan. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa anak-anak dari kelompok menengah secara intuitif lebih berani menempuh langkah pendidikan lebih tinggi dibanding anak-anak dari kelompok para pekerja. Dari cara berbicara saja sudah menunjukkan dari tingkat sosial mana seseorang berasal dan mempengaruhi keputusan dalam wawancara kerja. Bagi banyak orang, tema kesamaan peluang dalam pendidikan itu sesuatu yang ideal, suatu ilusi yang tidak akan pernah dapat dicapai.
Hak untuk pendidikan dasar saja tidak cukup
Kebanyakan negara-negara industri memiliki program wajib belajar, dan dengan demikian setidaknya memenuhi hak untuk pendidikan dasar. Pauline Rose, yang bertanggungjawab pada UNESCO untuk laporan tahunan pendidikan dunia mengenal statistiknya. "Meskipun di banyak negara semakin banyak anak-anak yang berpeluang bersekolah, masih ada 67 juta anak-anak yang tidak melakukannya.“ Di Jerman, pendidikan sekolah mulai tingkat dasar sampai lulus Abitur, yakni ujian syarat masuk perguruan tinggi, adalah gratis. Walaupun begitu di kalangan negara industri, Jerman menempati posisi terakhir jika menyangkut persamaan peluang di bidang pendidikan.
Di negara-negara miskin, seringkali korupsi dan kemiskinan menghindari peluang yang sama untuk pendidikan. Keluarga yang miskin, kurang sarana biaya untuk membayar uang sekolah, membeli buku pelajaran dan seragam sekolah untuk anak-anaknya. Di Jerman banyak kritisi berpendapat sistem sekolah pun sudah tidak adil. Misalnya di banyak negara bagian di Jerman setelah empat tahun menempuh sekolah dasar, anak-anak sudah harus memutuskan jalur pendidikan mana yang akan ditempuhnya. Ke arah Gymnasium, yakni jalur pendidikan yang nantinya memasuki perguruan tinggi. Atau memilih Hauptschule atau Realschule, yakni jalur pendidikan ke arah pelatihan kerja. Anak-anak dari kelompok sosial rendah, terutama anak-anak berlatar belakang migran, akan terdesak ke jajaran belakang. Di Jerman kursus tambahan atau belajar di sekolah swasta, tidak mampu dibiayai oleh keluarga berdaya ekonomi lemah. Peluang formal akses pendidikan memang dijamin, tapi kurang dorongan terarah untuk meraih pendidikan di perguruan tinggi.
Organisasi "Arbeiterkind.de“ membesarkan hati anak-anak dari apa yang disebut "keluarga yang jauh dari pendidikan“ untuk menempuh kuliah. "Banyak yang berpikir, jika seseorang meraih Abitur orang juga menempuh perguruan tinggi. Tapi statistik menunjukkan tidak demikian adanya,“ dikatakan pendiri organisasi tersebut, Katja Urbatsch. Hanya 50 persen anak-anak yang lulus ujian Abitur dari keluarga non akademis, yang dapat menempuh kuliah di Jerman.
Pasar menentukan dorongan untuk pendidikan
Jika negara-negara menanam investasi di bidang pendidikan, hal ini mereka lakukan bukan dari pandangan humaniter. Latar belakangnya seringkali kepentingan ekonomi. Di negara yang sumber daya alamnya terancam terbatas, seperti di Uni Emirat Arab, makin besar investasi yang ditanam di bidang pendidikan. Di mana tenaga ilmuwan dan insinyur berkurang, disediakan dana untuk bea siswa. Dimana universitas bersaing dalam menarik mahasiswa, maka jasa pelayanan ditingkatkan dan uang kuliah dihapus. Negara mendukung upaya mendorong pendidikan semacam itu untuk menambah jumlah generasi baru di sektor lapangan kerja tertentu. Juga perusahaan sering kali baru melakukan investasi di bidang pendidikan, jika kurang tenaga kerja terdidik seperti misalnya di Jerman dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu peluang yang sama di di bidang pendidikan di negara industri sekalipun juga masih menjadi tema bagi UNESCO.
Gaby Reucher/Dyan Kostermans
Editor: Vidi Legowo-Zipperer