Pemodelan COVID-19 oleh ITB "Bukan untuk Menakut-nakuti"
15 April 2020Dr Nuning Nuraini, salah satu peneliti matematika epidemiologi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama SimcovID Team merilis penelitian terbaru terkait fenomena pandemi COVID-19 di Indonesia pada 6 April lalu.
SimcovID adalah tim gabungan yang terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di antaranya ITB, Unpad, YGM, UGM, ITS, UB, Undana, bahkan termasuk peneliti perguruan tinggi luar negeri asal Indonesia yaitu Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.
Dalam studi tersebut, Nuning beserta tim mencoba menjawab berbagai permasalahan yang lebih kompleks dan spesifik dengan pendekatan model yang lebih realistik terkait dinamika pandemi COVID-19 di tanah air.
Nuning menegaskan bahwa studi dikeluarkan dengan harapan semua pihak bisa lebih waspada dalam menghadapi wabah ini.
“Harapannya bisa jadi lebih waspada bukan untuk menakut-nakuti,” ujar Nuning kepada DW Indonesia, Selasa (14/04).
Intervensi mana yang paling efektif redam wabah?
Nuning mengakui bahwa penelitian yang ia lakukan bersama tim adalah untuk melihat ‘skenario terburuk’ yang dimungkinkan terjadi di Indonesia. Artinya, mengukur seberapa efektif intervensi yang dilakukan pemerintah untuk meredam penyebaran wabah corona di tanah air.
Intervensi dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk meredam wabah, seperti kebijakan social distancing, physical distancing, dan yang terbaru adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, dalam studi Nuning bersama tim, intervensi pemerintah dikategorikan dalam tiga hal yaitu Tanpa Intervensi, Mitigasi dan Supresi.
Disebutkannya, sebelum masuk lebih detail ke dalam tiga kategori itu, perlu dipahami parameter yang digunakan untuk mengukur seberapa efektif tiga kategori intervensi itu dalam meredam wabah corona. Nuning beserta timnya menggunakan sebuah parameter yang disebut Angka Reproduksi Dasar (R0) - dibaca R nol.
Nuning menjelaskan bahwa R0 kalau di matematika, bisa diartikan sebagai jumlah kelahiran kasus baru akibat 1 orang yang terinfeksi masuk ke dalam suatu populasi yang sepenuhnya sehat dan potensial untuk sakit.
“Intinya, kita harus mengejar nilai R0 agar kurang dari 1 sehingga kita bisa mengejar keadaan bebas penyakit,” kata Nuning seperti dikutip dari laman itb.ac.id.
Di Indonesia saat ini, estimasi nilai R0 yang dihitung berdasarkan data kematian dengan menggunakan Extended Kalman Filter berada di angka 3,3. Inilah mengapa intervensi dibutuhkan agar angka reproduksi dasar (R0) di Indonesia bisa turun, paling tidak ke angka kurang dari 1. "Karena sekali lagi, kita harus mengejar nilai R0 agar kurang dari 1 sehingga kita bisa mengejar keadaan bebas penyakit”, paparnya.
Nuning menjelaskan bahwa angka R0 dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama adalah laju infeksi yang mengakomodasi karakteristik virus. “Kita tidak bisa apa-apa kecuali vaksin ditemukan atau obatnya ada,” jelasnya.
Kedua adalah contact rate atau jumlah orang yang ditemui. Angka ini bisa ditekan melalui pencegahan dengan social distancing atau physical distancing atau karantina wilayah. “Makin dia mendekati nol makin baik”, ujar pakar matematika epidemiologi dari ITB itu.
Ketiga adalah periode infeksi. Ia menuturkan bahwa periode infeksi rata-rata 10-12 hari, namun bisa ditekan jika lebih banyak orang yang di tes (rapid test) kemudian diisolasi. “Jadi jika dia sudah terdefinisi apakah dia itu positif atau negatif, terus dia mengisolasi mandiri artinya tidak ada faktor dalam periode infeksi dia jalan-jalan untuk menyebarkan penyakit”, jelas Nuning kepada DW Indonesia.
Tanpa intervensi, 2,6 juta diprediksi meninggal dunia
Studi yang dilakukan Nuning kemudian membandingkan tiga kategori intervensi di atas dengan memasukkan faktor contact rate untuk menurunkan angka reproduksi dasar (R0), yaitu mobilitas populasi sebesar 100 % untuk kategori Tanpa Intervensi, 50% untuk mitigasi dan 10% untuk supresi.
Hasilnya kemudian dibuat tabulasi yang membandingkan masing-masing strategi:
Skenario terbaik untuk Indonesia?
Peneliti ITB itu kemudian menjelaskan bahwa intervensi pemerintah dalam bentuk PSBB sejatinya sudah menjadi opsi terbaik karena menjadi intervensi yang paling dekat dengan supresi. Namun, menurutnya masalah lain muncul yaitu soal kedisiplinan.
“Apakah individu ini banyak yang mematuhi atau tidak kan masalahnya disitu, ya mungkin sama dengan di Italia kan begitu, kalau negara maju saja sudah sulit ya apalagi kita,” ujar Nuning lebih lanjut.
Hal lain yang juga perlu dikhawatirkan menurutnya adalah puncak kasus yang muncul dari daerah akibat adanya mudik. Tidak bisa dipastikan apakah prosedur bagi pemudik yang pulang ke kampung halaman benar-benar ditaati, dan mereka menjalankan isolasi mandiri atau tidak.
“Kalau selama itu benar sih sebenarnya ga perlu terlalu dikhawatirkan karena “bisa dikontrol”. Tapi kenyataannya kita ga tahu,” pungkasnya.
“Jadi katakanlah supresi itu strategi terbaik, diinginkan untuk tercapai pada saat itu tadi, benar-benar yang mobilitas hanya 10% populasi begitu,” pungkasnya. (gtp/as)