Meski PSBB Berlaku, Kedisiplinan Kunci Meredam Wabah Corona
9 April 2020Para peneliti alumnus matematika Universitas Indonesia (UI) telah membuat simulasi dengan beberapa skenario. Simulasi dilakukan dengan model susceptible, infected, reported and unreported (SIRU). Salah satu anggota tim penyusun simulasi Covid-19, Barry Mikhael Cavin Sianturi menuturkan, ada tiga skenario yang disimulasikan. Jika implementasinya diikuti dengan disiplin, diperkirakan akhir puncak pandemi di Indonesia terjadi pada bulan Juni atau awal Juli.
DW: Apa manfaat model SIRU ini bagi pemantauan penyebaran virus corona?
Barry: Secara matematis, kami mencoba menerjemahkan mekanisme penyebaran virus dengan permodelan matematis. Kalau kami publikasikan namanya model SIRU. Model ini juga dipakai para peneliti dalam mengkaji penyebaran virus corona di Cina. Kurva pertama di Cina sudah selesai, mulai masuk kini gelombang kedua penyebaran virus, semoga tidak terlalu parah. Kami mengunakan metodologi yang digunakan oleh peneliti Cina tersebut, lalu kita cocokkan dengan data yang kita punya dari Indonesia. Indonesia kan mempublikasikan datanya per hari, berapa kasus baru, berapa orang yang meninggal dunia, dan seterusnya. Kami simulasikan untuk ke depan kira-kira bagaimana skenario penyebaran virus ini di Indonesia terkait dengan kebijakan pemerintah yang diimplementasikan. Dari situ kelihatan penyebaran virus, kapan puncak pandeminya, dan lain-lain.
Bagaimana uraian model SIRU ini?
Model ini bagai kompartemen. Kita bagi populasi di Indonesia ke dalam empat kotak: S-I-R-U. S atau suscepible itu semua orang yang mungkin terkena virus. Kalau orang-orang tersebut terinfeksi, kita pindahkan angka orang terinfeksi itu dari kotak S ke kotak I atau infected, walau pun tanpa gejala, karena WHO pun bilang ada kasus-kasus yang asimptomatik. Ketika orang-orang yang terinfeksi atau di kotak I itu timbul gejala, kemudian orang tersebut kasusnya bisa dipecah ke kotak R atau reported, artinya dia bergejala dan terlaporkan, misanya dites di rumah sakit. Jika terinfeksi tapi tak punya akses ke alat tes, orang tersebut dikategorikan ke kotak U, unreported, tidak terlaporkan. Yang kami lakukan dalam penelitan ini adalah melacak berapa banyak orang yang pindah dari kompatemen S ke I, dari I pindah ke R dan U, dan berapa banyak dari R dan U ini yang kemudian meninggal dunia atau sembuh. Kami membuat simulasinya, berapa banyak yang terinfeksi, berapa banyak yang terlaporkan dan tidak, yang meninggal, dst, semua ini kami simulasikan. Dari situ kita bisa estimasi ke depan, forward in time.
Yang dijadikan eksperimen adalah seberapa cepat jumlah orang-orang yang pindah dari kompartemen-kompartemen S ke I, I ke R atau U. Jika semakin keras aturan dari pemerintah seharusnya perpindahan dari S ke I itu sangat kecil, karena artinya jumlah yang terinfeksi sangat kecil. Misalnya lockdown, interaksi antarmanusia kan jadi kecil karena lockdown atau karantina, sehingga kemungkinan transmisi virus pun jadi kecil. Itu eksperimen kami, seberapa cepat perpindahan itu.
Bagaimana paparan skenarionya?
Skenario 1: Jika tidak ada kebijakan tegas dan strategis dalam mengurangi interaksi antarmanusia. Puncak pandemi akan terjadi awal Juni dengan belasan ribu kasus positif baru dan akumulasi kasus positif mencapai ratusan ribu kasus. Pandemi baru mulai akan mereda antara akhir Agustus dan awal September.
Skenario 2: Sudah ada kebijakan tetapi kurang tegas dan kurang strategis dalam mengurangi interaksi antarmanusia, serta masyarakat tidak disiplin menerapkan physical distancing. Puncak pandemi akan terjadi pada awal Mei dengan seribuan kasus positif baru dan akumulasi kasus positif mencapai 60.000 kasus. Pandemi akan berlangsung reda antara akhir Juni dan awal Juli.
Skenario 3: Sudah ada kebijakan tegas dan strategis dalam mengurangi interaksi antarmanusia, serta masyarakat disiplin menjalankan physical distancing. Puncak pandemi akan terjadi pada bulan April dengan ratusan kasus positif baru dan akumulasi kasus positif mencapai 17.000 kasus. Pandemi akan mereda antara akhir Mei dan awal Juni.
Dari PSBB yang sudah diberlakukan, kemungkinan yang terjadi adalah skenario 2.
Selain soal kedispilinan itu, bagaimana peran dari alat tes terkait dengan penelitian ini?
Kami sempat berdiskusi dengan banyak peneliti dari berbagai universitas di Indonesia. Sebagian peneliti memprediksi puncak pandemi corona di tanah air itu pada awal Juni. Di dalam penelitian kami, periode itu masuk dalam skenario pertama. Sampai kini prediksi yang kami lakukan hasilnya lebih tinggi angkanya dari data pemerintah. Namun di kalangan peneliti kami juga pesimistis atas data yang ditangkap pemerintah karena kapasitas tes coronanya masih terlalu kecil. Sehari hanya seratus, dua ratus, pernah seribu tapi turun lagi. Sedangkan kalau kita lihat Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan bisa sampai 10 ribu per hari. Sementara di Indonesia dari awal kasus pertama tanggal 2 Maret lalu hingga kini baru belasan ribu orang yang dites. Jadi mungkin ada banyak kasus infeksi yang tidak terlaporkan, sehingga tak tertangkap oleh data pemerintah. Jadi penting untuk meningkatkan kapasitas tes agar bisa yakin benar. Beberapa peneliti memprediksi penyebaran virus ini sampai Juli-Agustus puncaknya. Mean atau akhir pandeminya bisa diperkirakan di akhir tahun atau awal tahun depan. Kita berkejaran dengan waktu.
Ini pulalah yang menyebabkan berbagai penelitian hasilnya berbeda-beda?
Kita butuh data yang lebih detail. Di Korea Selatan, pasien dalam pemantauan PDP dan orang dalam pemantauan ODP-nya per hari, peningkatan dari OPD ke PDP itu tercatat per hari secara mendetail. Indonesia tidak demikian. Atau mungkin pemerintah punya datanya tapi tidak disebar ke publik, sehingga kami tidak bisa pakai. Kalau datanya bisa dipakai, maka hasil penelitian satu dan lainnya tidak jauh beda. Peneliti yang menyebut puncaknya akhir April atau awal Mei itu cukup optimistis ya. Untuk data-data lain pun kami kesulitan dapat. Misalnya berapa jumlah unit perawatan intensif ICU dan ventilator di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Padahal penting. Misal di daerah jumlah ventilatornya terdata 5000, padahal yang dibutuhkan 10.000, jadi ketahuan masih harus dipasok 5000 lagi untuk bantuan. Apa beli yang baru, atau membuatnya, sehingga kita bisa membuat perencanaan sebelum puncak pandemi. Apakah rumah sakitnya perlu ditambah? Ada banyak hal yang harus dikejar. Saat berbicara dengan pemerintah, diketahui bahwa alat tes pun harus impor, artinya rebutan dengan puluhan negara lain yang terkena dampak corona.
Bagaimana prediksi Anda untuk sebaran virus ini dengan diberlakukannya PSBB?
Kami berharap PSBB bisa berfungsi sehingga bisa tertahan penyebaran infeksinya. Tetapi kami cukup khawatir dalam eksekusinya. Secara kebijakan sebenarnya Indonesia ini sudah mulai mirip dengan Amerika Serikat dan Eropa. Tapi problemnya implementasinya. Mudik saja tidak dilarang. Padahal ada prosedurnya harus isolasi dulu 14 hari, tapi siapa yang bisa monitor itu selama 14 hari. Bisa disiplin, tidak? Di berita kita lihat sudah 70 ribuan orang mudik pulang kampung. Gelombangnya sudah mulai. Kalau tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah, bisa berbahaya. Dengan PSBB ini bisa menahan sebaran virus, Juni atau Juli paling cepat puncaknya.
Barry Mikhael Cavin Sianturi adalah pakar matematika yang saat ini bekerja sebagai peneliti dan aktif sebagai anggota Ikatan Alumni Matematika Universitas Indonesia. (ap/hp,rzn)