Perempuan Indonesia vs Lelucon Pemerkosaan
15 Januari 2013Calon Hakim Agung Daming Sanusi mengeluarkan pernyataan kontroversial. Saat ditanya DPR mengenai hukuman mati bagi para pemerkosa, dia melontarkan pernyataan: “Kita harus hati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati, karena jangan-jangan pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati."
“Ada banyak lelucon bodoh soal pemerkosaan,“ kata Ayu Utami, penulis terkenal yang juga aktivis perempuan. Berikut perbincangan Deutsche Welle dengan Ayu Utami.
Deutsche Welle:
Apa komentar anda soal pernyataan calon Hakim Agung Daming Sanusi bahwa "pelaku dan korban pemerkosaan sama-sama menikmati?"
Ayu Utami:
Itu komentar yang sangat bodoh, sangat berbahaya sekaligus menunjukkan kesadaran gender dan hak asasi manusia belum disadari bahkan oleh pejabat publik. Kalau kita sering kumpul di kalangan pejabat, politisi, atau pebisnis, kita akan sering mendengar lelucon yang bias gender. Misalnya sejak orde baru hingga sekarang masih ada lelucon diantara mereka: apa beda Menteri Urusan Wanita dengan Menteri Pekerjaan Umum? Jawabannya Menteri PU mengurus jalan berlubang, sementara Menteri Urusan Wanita mengurus lubang berjalan. Ironisnya, kalau joke ini disampaikan masih banyak orang yang tertawa. Sesungguhnya yang tertawa itu sama bodoh, sama tidak terpelajar dan tidak sensitif dengan yang menyampaikan lelucon. Model seperti ini masih banyak kita temukan. Pernyataan Daming Sanusi adalah contoh terbaru yang menunjukkan gejala yang masih banyak berakar di masyarakat.
Deutsche Welle:
Pakaian mini sering menjadi obyek pernyataan para pejabat Indonesia: tahun 2009, Bupati Aceh Barat Ramli Mansur mengatakan bahwa perempuan yang tidak mengenakan pakaian sesuai syariah Islam, layak diperkosa. Tahun 2011 Gubernur Jakarta Fauzi Bowo menanggapi kasus pemerkosaan di angkutan umum dengan menghimbau penumpang perempuan tidak mengenakan rok mini agar tidak memancing orang melakukan tindakan asusila. Kenapa pakaian menjadi persoalan serius?
Ayu Utami:
Dalam kasus Aceh Barat itu bukan guyonan tapi kejahatan. Kalau dia bilang bahwa perempuan yang tidak pakai baju syariah layak diperkosa, artinya dia mendukung pemerkosaan. Buat saya itu komentar yang sangat jahat dan anti kemanusiaan. Tapi harus kita catat juga bahwa kesalahan seperti itu seringkali disebabkan oleh wartawan. Misalnya jawaban Fauzi Bowo soal rok mini sebagai penyebab pemerkosaan itu muncul karena sang wartawan yang memang punya cara pandang patriarkal menggiring pejabat publik yang juga patriarkal untuk mengeluarkan pernyataan atau guyonan yang sesungguhnya memang sama-sama sering mereka dengar diantara mereka (kaum patriarkal-red). Saya bukan mau membela si pejabat publik, tapi saya mau bilang bahwa jangan-jangan ini pandangan luas yang diamini oleh banyak orang. Itu yang harus kita waspadai.
Deutsche Welle:
Bagaimana pandangan anda atas adanya persepsi di kalangan masyarakat bahwa korban pemerkosaan tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai perempuan?
Ayu Utami:
Itu adalah bagian dari nilai bias gender yang menempatkan perempuan sebagai pemikul kehormatan keluarga maupun masyarakat. Bentuknya misalnya dengan menganggap perempuan yang diperkosa sudah ternoda. Kalau ternoda maka dianggap tidak berharga.
Deutsche Welle
Banyak pandangan yang menganggap pemerkosaan sebagai aib, sehingga ada orang tua yang mengawinkan anaknya dengan pelaku. Apa komentar anda?
Ayu Utami:
Banyak yang lebih memikirkan kehormatan keluarga ketimbang nasib anak perempuannya yang menjadi korban pemerkosaan. Perempuan di-idealisasi: dia harus suci. Kalau tidak suci lagi (diperkosa-red), maka dia dianggap mengotori kehormatan keluarga, suku atau masyarakat sekitar. Di Indonesia gradasinya lebih rendah karena tidak ada honor killing (pembunuhan untuk membela kehormatan keluarga-red), tapi sumber dan cara pikirnya sama karena perempuan dijadikan pemikul kehormatan masyarakat. Itu terlalu berat dan akibatnya melanggar hak asasi perempuan sebagai manusia
Deutsche Welle
Cara pandang bias gender ini sumbernya dari mana?
Ayu Utami:
Sumbernya adalah nilai patriarkal, nilai-nilai itu bisa mewujud dalam tafsir agama atau adat istiadat. Itu bentuk ekstrem dari rezim patriarki di mana perempuan menjadi obyek kehormatan. Kehormatan seluruh masyarakat ditaruh pada pundak perempuan. Perempuan dianggap sebagai benda yang tidak perlu dipikirkan bagaimana perasaannya, tapi dia punya kewajiban menjaga kehormatan. Kalau dianggap kotor dan tidak terhormat lagi maka dia harus dibuang dari kaluarga atau masyarakat.
Andy Budiman