Selama ini, perempuan sering diidentikkan dengan – atau dianggap sebagai – makhluk lemah serta objek atau korban kekerasan. Tetapi sejarah mencatat, perempuan terbukti bukan hanya sebagai korban/objek kekerasan tetapi juga sebagai subjek, pelaku, atau aktor (perpetrator) kekerasan. Perempuan yang dibayangkan atau dipersepsikan sebagai "makhluk lemah" dan "subordinat laki-laki" bisa menjadi aktor kekerasan yang garang dan mematikan.
Sudah cukup banyak buku dan tulisan akademik lain (seperti artikel jurnal) yang mengeksplorasi perempuan sebagai "agen kekerasan". Misalnya buku Victims, Perpetrators or Actors: Gender, Armed Conflict and Political Violence yang diedit oleh Caroline Moser. Atau, buku yang terbaru berjudul Radicalizing Her: Why Women Choose Violence? yang ditulis oleh Nimmi Gowrinathan, seorang profesor dan direktur Politics of Sexual Violence Initiatives di City College of New York.
Menurut Profesor Gowrinathan, perempuan telah membentuk setidaknya 30 persen dari gerakan militan di seluruh dunia. Meskipun fokus utama buku Radicalizing Her adalah mengkaji gerakan militan di "Global South" tetapi penulis juga mengkaji fenomena keterlibatan perempuan sebagai pejuang gerakan politik di medan perang (misalnya freedom fighters) dan aktor aneka ragam bentuk kekerasan di kawasan lain (misalnya kekerasan sektarian, vigilantism, kerusuhan kolektif, violent jihadism, dlsb). Buku ini bukan hanya hasil analisis atau pengamatan sepihak penulis tetapi juga produk dari wawancara dan konversasi dengan pejuang perempuan dari sejumlah negara seperti Sri Lanka, Eritrea, Pakistan, dan Kolombia.
Perempuan Sebagai Agen Kekerasan
Sejarah Indonesia juga tidak lepas dari "kisah heroik" kaum perempuan sebagai agen kekerasan – apa pun bentuknya: pejuang kemerdekaan, milisi bersenjata, aktor kekerasan komunal, dukun ilmu hitam, atau yang terkini "jihadis teroris".
Pada waktu kekerasan komunal meletus di Ambon dan Poso, sejumlah milisi perempuan, baik muslim maupun umat Kristen, juga terlibat dalam kekerasan di "medan perang" sebagai jihadis atau warrior untuk membela daerah, komunitas atau kelompok masing-masing. Belakangan, perempuan juga terlibat sebagai aktor terorisme dan pelaku pengeboman di sejumlah daerah di Indonesia: Makassar, Surabaya, Sidoarjo, Jakarta, dlsb.
Fenomena "teroris perempuan" ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain. Di Irak, misalnya, perempuan juga dilibatkan oleh ISIS sebagai "skuad terorisme". Sudah beberapa kali pelaku bom bunuh diri di Irak dilakukan oleh kaum perempuan. Pejuang etnik Kurdi di Irak juga banyak melibatkan kaum perempuan.
Tentu saja ada banyak faktor, alasan, dan motivasi kenapa perempuan menjadi pelaku kekerasan dan terorisme mulai niatan untuk membela kelompok, mempertahankan daerah, memperjuangkan kemerdekaan, menjalankan misi agama, dlsb. Bisa juga karena didorong ingin membalas dendam atas penangkapan, penyiksaan, atau kematian suami dan anggota keluarga. Faktor lain mungkin sebagai pelampiasan atau jalan untuk membebaskan diri mereka dari diskriminasi dan ketertindasan sistem politik-ekonomi yang membelenggu mereka.
Bisa jadi sebagai strategi atau taktik untuk memuluskan jalan dan agenda tertentu. Misalnya, sejak beberapa tahun terakhir, ISIS beserta jaringan dan komplotannya (termasuk di Indonesia) menggunakan perempuan sebagai aktor atau "eksekutor" terorisme karena mereka dianggap bisa "mengelabui" banyak pihak (terutama polisi atau publik secara umum) sehingga diharapkan bisa melancarkan jalan aksi atau tindakan kekerasan dan terorisme.
Asumsinya, publik tidak mungkin mencurigai perempuan sebagai pelaku teror, dengan demikian teroris perempuan bisa dengan mudah menyusup dan meledakkan diri di area publik atau di komuitas tertentu yang ditargetkan. Memang dalam beberapa kasus, mereka sukses mengelabui. Hal ini mendorong pihak keamanan (polisi atau tentara) atau pejabat/aparat berwenang lainnya semakin bertindak ekstra hati-hati dalam menanggulangi terorisme.
Perempuan Sebagai Agen Perdamaian
Selain sebagai "agen kekerasan", perempuan juga terlibat sebagai "agen perdamaian" yang aktif melakukan upaya perdamaian, rekonsiliasi, serta penyebaran toleransi dan pluralisme di masyarakat. Di Indonesia cukup banyak individu perempuan maupun kelompok atau organisasi yang digerakkan oleh kaum perempuan yang bergerak di bidang perdamaian untuk memerangi kekerasan, intoleransi, antikemajemukan, dan kejahatan kemanusiaan. Cara yang mereka lakukan juga cukup variatif.
Dulu, waktu kekerasan Ambon atau Maluku secara umum meletus, sejumlah aktivis, praktisi, akademisi, atau tokoh agama perempuan juga terlibat aktif dalam aksi-aksi rekonsiliasi dan upaya mewujudkan perdamaian, baik dilakukan secara formal maupun informal. Bahkan dari mereka juga ada beberapa (Sr. Brigitta Renyaan atau Pdt. Etha Hendriks) yang ikut menandatangani Perjanjian Damai Malino II yang dibrokeri (dimediasi) oleh pemerintah.
Lian Gogali, di Poso (Sulawesi), mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak korban kekerasan komunal Kristen-muslim. Ia mengorganisasi kaum perempuan di 80 desa di Poso yang terkena dampak kekerasan sektarian agar aktif membangun perdamaian dan toleransi melalui pendidikan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ruby Kholifah, Direktur AMAN (Asian Muslim Action Networks) Indonesia yang memprakarsai pendirian sekolah-sekolah perempuan di berbagai daerah dengan melibatkan atau menggerakkan komunitas ibu-ibu lintas iman sebagai pilar utamanya.
Kaum perempuan yang tergabung di organisasi Srikandi Lintas Iman di Yogyakarta juga terlibat aktif membangun perdamaian dan toleransi di akar rumput, khususnya di Yogyakarta tetapi juga di daerah lain, dengan menggunakan berbagai media dan cara yang dianggap efektif dan produktif. Seperti namanya, organisasi ini merupakan kumpulan kaum perempuan dari berbagai latar belakang agama, profesi, dan pendidikan. Mereka bergabung di organisasi ini karena disatukan oleh spirit, komitmen, dan niatan yang sama, yakni membangun perdamaian dan iklim toleransi di masyarakat.
Apa yang saya sampaikan ini hanyalah sekelumit contoh. Masih banyak individu dan kelompok perempuan di berbagai daerah yang memiliki semangat dan komitmen kuat untuk mewujudkan nilai-nilai toleransi, pasifisme (perdamaian), dan pluralisme di masyarakat yang tercermin dalam moto negara Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.
Saat banyak kelompok intoleran yang antipluralisme serta pelaku kekerasan dan terorisme bertebaran di berbagai kawasan di Indonesia, maka diperlukan peran proaktif dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum perempuan. Mewujudkan perdamaian dan toleransi bukan hanya tanggung jawab negara atau pemerintah beserta aparat dan jajarannya saja tetapi juga semua elemen masyarakat. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat (state-society sinergy) adalah kunci bagi terwujudnya perdamaian dan lenyapnya kekerasan dari muka bumi.
Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.