Sejatinya isu capres – cawapres sudah sampai pada titik jenuh. Secara kebetulan, pesta pernikahan Kaesang bersamaan waktunya dengan Piala Dunia 2022 Qatar, yang semakin menambah ruang bagi publik untuk mengambil jarak (social distancing) dengan isu capres-cawapres, setidaknya untuk sementara. Sejarah seperti berulang, ketika Piala Dunia 1998 juga memberi waktu rehat sejenak, utamanya bagi petualang politik pemburu kekuasaan, sehubungan tingginya tensi politik pascamundurnya Soeharto.
Kesempatan rehat dari kebisingan politik ini, justru lebih kuat dari argumentasi Joko Widodo sebelumnya, ketika menyebutkan, pernikahan Kaesang adalah bagian dari pelestarian tradisi (jawa). Argumentasi pelestarian tradisi menjadi kurang kuat, karena tidak selaras dengan pencitraan Jokowi di masa awal berkuasa dulu, yang dikagumi orang karena kesederhanaannya.
Rakyat sudah jenuh
Bagaimana tidak jenuh, bila publik hanya disajikan informasi saling kunjung di antara elite parpol, yang biasa diberi tajuk membuka komunikasi dalam konteks koalisi (baca: kekuasaan). Di mata awam, sama sekali tidak ada pembelajaran atau pengetahuan baru dari kegiatan seperti itu. Dalam istilah sehari-hari, kegiatan itu tak lebih dari grudag-grudug.
Perpindahan dari restoran atau tempat pertemuan yang lain, dengan menumpang MPV (kendaraan kelas premium), yang dilengkapi sirene strobo, hanya membuat rakyat miskin melongo. Pertemuan para elite parpol yang berpindah-pindah, mengingatkan kita pada yang biasa terjadi pada kelompok wayang orang atau ketoprak tobong, kelompok kesenian tradisional yang diakrabi masyarakat kelas bawah, yang sering berpindah-pindah tempat, seturut jadwal dan lokasi pementasannya.
Sebagaimana pentas wayang orang atau ketoprak, tentu ada bintang panggung, namun ada juga yang sekadar lewat. Figur seperti Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan, bisa diandaikan sebagai bintang panggung, seperti Arjuna, Bima, atau Arya Panangsang (untuk panggung ketoprak). Sementara tokoh-tokoh seperti Ruhut Sitompul, Eggi Sujana, Fadli Zon, Adian Napitupulu, Ali Mochtar Ngabalin, dan seterusnya, cukuplah sebagai penggembira dari panggung gemerlap itu.
Sementara eksperimen atau simulasi pasangan capres-cawapres mengingatkan kita pada kebiasaan yang terjadi pada pelatnas cabang bulu tangkis di Cipayung (Jakarta Timur), pada sektor ganda. Bongkar pasang pemain ganda di pelatnas Cipayung mungkin jauh lebih bermakna, karena targetnya jelas dan terukur, yakni agar lagu kebangsaan bisa bergema di arena Olimpiade atau turmanen bergengsi lainnya. Sementara bongkar pasang "pemain” capres-cawapres, tidak terlalu jelas maknanya bagi rakyat banyak, bila tidak boleh disebut absurd. Hanya bakar uang, meminjam istilah kekinian.
Saya sekali lagi mengingatkan pada frasa yang mungkin juga sudah membosankan, bahwa kita kurang belajar dari sejarah. Praktik politik saling kunjung dan bongkar pasang capres-cawapres, tentu ada biayanya, dan itu sangat besar. Dan lalu apa artinya itu semua, bila politik identitas masih saja berjejak sampai hari ini.
Politik identitas terbukti memecah belah masyarakat, yang bisa dicegah dengan membangun keadaban politik, bagaimana politisi bisa saling berdiskusi dalam bahasa santun dan saling menghormati. Bahasa adalah ekspresi hati dan pikiran. Bila bahasanya saja kacau, kelak akan menjerumuskan pelakunya pada tindakan kacau pula, sekadar adu keras bicara. Begitulah yang biasa kita saksikan pada rata-rata politisi.
Pada dekade 1950-an, yang jamak disebut era demokrasi liberal, justru bisa terjadi sebaliknya. Setelah debat panas di forum Konstituante (setara DPR RI), para tokoh parpol bisa secara damai ngopi bareng di kafetaria Gedung Konstituante (Bandung), seperti pengalaman M Natsir (Masyumi), Isa Anshary (Persis), IJ Kasimo (Partai Katolik), Ali Sastroamijoyo (PNI), Nyoto (PKI), L Sitorus (PSI), M Yamin (Murba), dan seterusnya.
Sementara pada era yang diklaim sebagai penganut demokrasi Pancasila, pertikaian dan konflik justru tiada habisnya. Mungkinkah ini sebuah anomali sejarah, dan menjadi kesempatan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) untuk memberikan kontribusinya secara signifikan.
Pasar kembali berkumandang
Salah satu kontribusi perhelatan pernikahan Mas Kaesang dan Mbak Erina adalah revitalisasi Pura Mangkunegaran, dan Solo pada umumnya, sebagai sentral budaya Jawa. Melalui perhelatan itu, Jokowi seperti sedang membuat antitesis terhadap ramalan Jayabaya: pasar ilang kumandange (ketika pasar telah kehilangan daya tariknya).
Arti harfiahnya memang pasar telah kehilangan daya tariknya, atau sudah sepi pembeli, sebagai gambaran nasib dua istana di Solo. Dua istana di Solo itu, baik itu Kasunanan dan Mangkunegaran seolah meredup, terlebih bila dibandingkan dengan dua istana di Yogyakarta, ketika dua rajanya masih memiliki wilayah kekuasaan riil.
Dengan ikhtiar Jokowi, salah satu istana, Pura Mangkunegaran kembali bersinar, selaras dengan metafora pasar kembali berkumandang. Apakah Istana Kasunanan juga bisa segera menyusul capaian Mangkunegaran, itu yang sedang kita tunggu.
Solo dan Yogyakarta adalah sebuah fenomena unik
Meski dianggap sebagai pusat budaya Jawa, tetap saja ada perbedaan, yang mungkin agak sulit dijelaskan secara gamblang, namun bagi warga yang pernah tinggal di Solo atau Yogyakarta, kiranya bisa merasakan perbedaan-perbedaan (halus) itu. Tentu yang saya maksud adalah sesuatu yang lebih fenomenal, bukan tata-cara adat pernikahan, termasuk model pakaian, yang diperagakan saat pernikahan Mas Kaesang dan Mbak Erina tempo hari.
Satu hal misalnya, mengapa figur Soekarno lebih hidup di Solo, sehingga partai yang terafiliasi dengan Bung Karno, akan selalu berjaya, sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Yogyakarta. Caleg PDIP dari Yogyakarta, bila ingin menuju Senayan (DPR RI) harus bekerja lebih keras dari kolega mereka di Solo. Di Solo, PDIP seolah primus interpares, sehingga kampanye caleg PDIP bisa lebih ringan, seakan warga Solo secara alamiah telah menjadi tim suksesnya.
Prinsip "hidup atau mati ikut Bung Karno” (pejah gesang nderek Bung Karno), masih eksis di Solo sampai hari ini, suara batin yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi di Yogyakarta. Hal itu tampak bila ada warga yang meninggal di Solo, di depan rumah (duka) dipasang bendera warna merah. Seolah memberi perlambang, bahwa bagi warga Solo, kesetiaan terhadap Bung Karno dijalani sampai menjelang ajal tiba, mengingat warna merah identik dengan Marhaenisme.
Situasi di Yogyakarta sedikit berbeda, dan hal itu tidak bisa dilepaskan dari figur Hamengku Buwono IX (HB IX), yang secara ideologis tidak terlalu dekat dengan Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, HB IX dalam afiliasi politik lebih dekat pada lingkaran PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dipimpin Sutan Sjahrir. Dan dalam praktiknya di masa Orde Baru diwujudkan dengan mendukung Golkar.
Kendati tidak memiliki status daerah istimewa seperti Yogyakarta, Solo juga memiliki keistimewaan, maksudnya istimewa dalam sejarahnya. Status dua kerajaan di Solo sekadar cagar budaya, seperti yang kita saksikan sekarang, itulah yang saya maksudkan sebagai keistimewaan sejarah. Gerakan arus bawah rakyat Solo di masa revolusi (1946), dengan menurunkan status dua kerajaan setempat, bisa dianggap sebagai local genius dalam membaca kehendak zaman.
Dengan kata lain, masyarakat Solo sudah memiliki aspirasi demokratis dan menentang feodalisme sejak mula, ketika republik sendiri belum lagi genap setahun. Tak heran, dengan atmosfer demokratis seperti itu, banyak tokoh besar muncul di Solo, mulai intelektual legendaris Sudjatmoko, Slamet Riyadi (pendiri Kopassus), hingga Joko Widodo.
Walakin diksi rivalitas rasanya kurang tepat untuk membandingkan antara Solo dan Yogyakarta. Untuk sementara, sebut saja dua kota itu telah menempuh jalan spiritualnya masing-masing. Beda dengan Surabaya dan Malang misalnya, yang sejak lama selalu bersaing, salah satunya dipicu fanatisme skuad sepak bola, sehubungan pencarian identitas siapa yang paling superior di Jatim
Solo hari ini adalah imajinasi masa depan Indonesia, ketika generasi milenial sudah mulai tampil, baik pemimpin modern (wali kota) maupun pemimpin tradisional, yakni Mangkunegara X (MN X). Dari pengamatan sekilas, kita bisa paham bahwa faktor pendidikan ikut menentukan.
Saya pribadi ikut merasa lega, bahwa MN yang terpilih adalah figur yang sekarang bertahta, berdasarkan latar belakang pendidikan. Dari segi pendidikan MN X jelas lebih firm, karena lulusan Fakultas Hukum UI. Untuk memimpin Indonesia hari ini, baik skala kecil (daerah) maupun skala besar (nasional), kejelasan latar belakang pendidikan adalah hal prinsip.
Pendidikan berdampak langsung pada karakter, kompetensi, dan wawasan
Ketika perhelatan Kaesang di Solo berlangsung sukses, utamanya pada sesi di Pura Mangkunegaran. Publik melihat, ada figur pemimpin berpendidikan dan visioner di balik itu semua. Dan kita ikut senang, ketika mendengar kabar, Kasunanan juga sudah menyiapkan putra mahkota dengan latar belakang pendidikan yang baik, yaitu mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum sebuah PTN di Jateng.
Solo telah menjadi showcase terkait mulusnya alih generasi kepemimpinan, dari generasi baby boomers ke generasi milenial. Solo kiwari bisa menjadi jendela untuk kita senantiasa optimistis bahwa bangsa ini tidak pernah kekurangan figur bertalenta, dengan pendidikan rata-rata baik.
Bila kita ingat kembali kasus "ijazah palsu” yang baru saja lewat. Sebagai wacana publik, tentu saja tidak banyak manfaatnya. Namun masih ada pesan yang bisa kita tangkap, bahwa masyarakat pada dasarnya mendambakan, bila para pemimpin masa depan, adalah orang-orang dengan pendidikan memadai, bukan sekadar bersandar pada asal-usul keluarga.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.