Pada sebuah kesempatan usai "nobar” (nonton bareng) film "Pengkhianatan G30S/PKI " (Pengkhianatan) bersama Jenderal Gatot Nurmantyo (Panglima TNI saat itu) akhir tahun 2017, Presiden Jokowi berharap ada revisi pada film tersebut, yang kira-kira lebih pas untuk generasi milenial. Saya tidak tahu persis, apakah masih ada orang yang ingat dengan harapan (revisi) dari Pak Jokowi tersebut. Jangankan publik, mungkin Pak Jokowi sendiri juga sudah tidak peduli lagi dengan ucapannya itu.
Bagaimana mungkin akan diadakan revisi, bila Jokowi sendiri sibuk menghalau tuduhan terhadap dirinya sebagai anak seorang anggota organisasi terlarang. Sudah tak terhitung berapa kali beliau melakukan klarifikasi terhadap tuduhan tidak berdasar itu, namun tetap saja anggapan seperti itu muncul kembali, utamanya saat kampanye pilpres. Memang telah terjadi politisasiatas tuduhan tersebut, meskipun sudah jelas tidak benar sama sekali.
Bagi kelompok konservatif, isu komunisme memang selalu aktual, dan selalu dihidup-hidupkan, meskipun idelogi itu sudah lama mati, dan tidak ada lagi bekasnya di negeri ini. Jangankan Jokowi secara personal, partai yang menaungi dirinya saja, yaitu PDIP, acapkali juga dicap sebagai reinkarnasi PKI. Konfirmasi dari PDIP, bahwa tidak ada hubungan antara PDIP dan PKI, bahwa keduanya adalah entitas yang berbeda, tetap saja tidak mempan. Sulit memang menjelaskan pada kelompok yang sudah terlanjur bebal, sebab daya nalarnya juga sudah tidak berfungsi.
Bila kita kembali pada ujaran Pak Jokowi di atas, ketika menyebut generasi milenial, bisa jadi itu semacam kode, bahwa revisi Peristiwa 1965 biarlah menjadi domain mereka, termasuk bagi generasi yang lebih baru, yakni Generasi Z (usia di bawah 24 tahun saat ini). Sementara generasi baby boomers (usia 55 tahun ke atas) masih bias dalam memandang Peristiwa 1965, sehingga praktis tidak bisa diharapkan lagi.
Tiga perdebatan
Peristiwa 1965 sangat kompleks dan pelik, sehingga selalu ada ruang bagi tafsir baru bila ditemukan data susulan, sesuai dengan perjalanan sang waktu. Setidaknya ada tiga isu yang selalu menjadi perdebatan sampai hari ini, dan mungkin sampai tahun 2045, saat perayaan tahun emas Kemerdekaan RI, ketika negeri ini sudah dipimpin Generasi Z, sebagai generasi yang penuh harapan.
Pertama, terkait pelaku pada saat operasi penculikan sejumlah jenderal pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, yang menjadi episentrum rangkaian Peristiwa 1965. Kedua, adalah soal pembunuhan massal, utamanya pada bulan-bulan Oktober dan November 1965, pada sejumlah orang yang dianggap sebagai anggota PKI, atau anggota organisasi yang terafiliasi pada PKI. Ketiga, soal stigma "kiri” bagi orang yang masih setia pada figur Soekarno (Soekarnois), termasuk anggota PNI, yang kemudian menjadi dalih menyingkirkan mereka.
Soal pelaku operasi penculikan, merujuk film "Pengkhianatan” terlihat jelas bahwa pelakunya tentara juga, karena semua pelaku mengenakan seragam militer, yang kemudian dikenali dari satuan Cakrabirawa (semacam Paspampres). Fakta dalam film tersebut sejalan dengan hipotesis Ben Anderson dalam "Cornell Paper”, bahwa operasi penculikan itu dampak dari konflik internal AD. Harus diakui hipotesis "Cornell Paper” sampai hari ini belum terbantahkan, dan belum muncul narasi yang sebanding sebagai second opinion.
Narasi versi Orde Baru menyebut para pelaku penculikan adalah pasukan di bawah pengaruh PKI, merupakan sebuah tafsir yang kemudian dibakukan oleh rezim yang berkuasa saat itu, dan masih dipertahankan sampai hari ini, meskipun tidak didukung bukti yang meyakinkan. Bila benar Pak Jokowi ingin melakukan revisi terhadap film dimaksud, rasanya bagian ini yang paling krusial. Namun bila tidak sempat, hingga kekuasaanya berakhir kelak, kita tidak perlu cemas juga, masih ada generasi baru yang mampu mencari pengetahuan pembanding terkait operasi penculikan dini hari tersebut.
Kemudian soal pembunuhan massal, akan ada sedikit pembahasan di bawah, dihubungkan dengan dua figur purnawirawan perwira tinggi, yaitu Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi ) dan Agus Wijoyo (Gubernur Lemhanas, calon Dubes Filipina). Namun poin yang ingin saya katakan sekarang adalah, ada semacam pendekatan "blok” dalam memahami pembunuhan massal, dan ini juga narasi produk Orde Baru. Maksudnya adalah, fase pembunuhan massal adalah blok yang terpisah dari fakta operasi penculikan sejumlah jenderal AD, dan menjadi blok yang coba dihapus dari memori publik.
Diskusi terakhir soal stigmatisasi bagi mereka yang masih setia pada figur Soekarno, yang sebagian besar terafiliasi pada PNI (Partai Nasional Indonesia). Stigmatisasi ini sebenarnya termasuk lembaran hitam pada periode transisi kekuasaan dari era Soekarno menuju rezim Soeharto, namun karena organisasi "turunannya” kini sedang berkuasa, yakni PDIP, wacana ini seolah menjadi terlupakan.
Sekadar catatan kecil, pada akhirnya kita paham pula, upaya rezim Soeharto mengerdilkan pendukung Soekarno, justru menjadi bumerang. Setidaknya berdasarkan dua peristiwa, yakni kampanye PDI dalam Pemilu 1987, dan peristiwa 27 Juli 1996. Dua peristiwa ini menjadi arus balik bagi kembalinya ideologi Soekarnoisme, yang sebagian termanifestasi dalam PDIP, sebagai partai berkuasa hari ini.
Antara Luhut Panjaitan dan Agus Wijoyo
Sejak hari-hari pertama di Istana, Jokowi sudah memberi keleluasaan pada Luhut Binsar Panjaitan (LBP), untuk sama-sama mengelola kekuasaan yang baru saja diraih. Dalam bahasa sehari-hari, LBP ibarat "presiden bayangan”, atau perdana menteri dalam system politik parlementer. Bahkan untuk isu 1965 pun, Jokowi mempercayakan pada LBP.
Pada pertengahan tahun 2016, LBP (selaku Menkopolhukam) sempat menyampaikan dua ujaran yang membuat publik menjadi bertanya-tanya. Saat itu Luhut secara cukup jelas menyatakan, dia meragukan adanya pembunuhan massal pasca-G30S/PKI. Keraguan Luhut berdasarkan tidak ada bukti soal lokasi pemakaman para korban pembunuhan massal. Keraguan Luhut bisa dinetralisir, bahwa kemungkinan besar para korban memang tidak dimakamkan secara sempurna, sehingga sulit terdeteksi di mana lokasi makamnya. Cara yang paling praktis pada saat itu adalah dengan menghanyutkan jasad korban pada sungai yang berarus deras.
Keraguan Luhut berkelindan dengan pernyataan Luhut berikutnya, bahwa tidak ada permintaan maaf dari negara terhadap korban. Pernyataan LBP benar-benar meringankan rezim Jokowi dalam kasus pelanggaran HAM, artinya kasus pembunuhan massal sudah dianggap selesai, mengingat tidak ada bukti dan pada gillirannya tidak perlu ada kata "maaf” dari negara. LBP sungguh aparatur negara yang baik, seorang pejabat negara yang bisa meringankan pimpinan. Semoga saja LBP tidak sedang bersandiwara.
Analisis lain bisa diajukan di sini. Keraguan LBP bisa jadi untuk meredam Letjen (Purn) Agus Widjojo, yang selaku pejabat negara dan anak korban, sedang mengadakan ikhtiar rekonsiliasi antara dua "kubu” terkait Peristiwa 1965. Kebetulan antara keduanya memiliki ikatan khusus, sama-sama purnawirawan perwira tinggi, dan teman sekelas di Akmil (1970). Memang pada akhirnya narasi alternatif yang coba diangkat Agus Wijoyo, hilang dengan sendirinya. Namun itu tidak menghapus jejak ikhtiar Agus Wijoyo.
Saya sendiri memandang, dihubungkan dengan kompetensi personalnya, figur Agus Wijoyo memiliki posisi spesial dalam wacana Peristiwa 1965, selain sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Darat, beliau juga anak korban G30S. Ikhtiarnya dalam membangun narasi pembanding, tidak selalu direspons positif kolega-koleganya di TNI AD, termasuk kelembagaannya. Perwira seperti Agus juga langka, karena beliau adalah tipe pemikir, tidak seperti tentara pada umumnya, yang sekadar menjalankan perintah atasan. Namun setidaknya Agus sudah merintis jalan, yang kelak akan dilanjutkan Generasi Y dan Z, ketika era generasi baby boomers sudah berlalu.
Domain generasi baru
Satu hal yang pasti, generasi milenial (gabungan dari generasi Y dan Z) tidak mudah dikooptasi, termasuk dalam wacana terkait Peristiwa 1965. Asumsi ini bisa dilihat langsung "di lapangan”, maupun melalui platform digital seperti kanal YouTube. Salah satu bisa disebut adalah diskusi membahas pemikiran mendiang Ben Anderson, akhir Agustus lalu, yang termasuk juga membahas Cornel Paper, yang senantiasa aktual. Baik host maupun peserta umumnya dari generasi milenial, generasi yang tidak mudah percaya begitu saja pada narasi versi Orde Baru.
Saya sendiri melihat, apa yang terjadi sekarang bukanlah perang wacana, namun lebih tepat disebut transisi menuju pengetahuan baru. Bila yang dipilih adalah diksi "perang”, posisinya masih belum berimbang, mengingat pendukung narasi versi Orde Baru masih terlampau kuat, baik individu, ormas vigilante, dan faksi tertentu di militer. Pendukung narasi versi Orde Baru menjadikan isu komunisme tak lebih sebagai komoditas murahan, yang terus diulang setiap tahun (khususnya pada September), agar kelompok ini terlihat eksis.
Pada akhirnya yang menang adalah nalar, sehalus atau sehebat apapun sebuah narasi, apabila itu manipulatif, pada akhirnya akan terbongkar juga. Generasi Z adalah generasi yang cerdas, opsi mengontrol isi kepala mereka adalah kesia-siaan. Bagi generasi baru pencarian pengetahuan ini ibarat "jalan pedang”, dengan kecerdasan yang mereka miliki, mereka akan menemukannya.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.