1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialGlobal

Seperti Apa Internet Masa Depan?

20 September 2022

Perusahaan di seluruh dunia sedang merancang internet masa depan. "Metaverse" atau "web3" dapat merombak internet seperti yang kita kenal saat ini. Apa peluang dan tantangannya?

https://p.dw.com/p/4H4ei
Gambar ilustrasi metaverse
Foto: Nora Tomm/DW

Apakah kita berada di puncak revolusi internet lagi? Menurut pakar teknologi yang berkumpul di Berlin, Jerman, untuk konferensi yang diselenggarakan oleh platform pembelajaran digital ADA, teknologi baru sekarang dapat merombak internet seperti yang kita kenal — baik dari segi cara pembuatannya maupun tampilannya.

Pada tingkat teknis, idealis teknologi berharap bahwa teknologi blockchain akan membantu membangun arsitektur barun yang terdesentralisasi. Di era "web3" yang baru ini, pengguna akan memiliki kendali atas data, privasi, dan apa yang mereka buat secara online.

"Ini semacam upaya menemukan kembali cara mengatur internet," kata Shermin Voshmgir, penulis yang berbasis di Portugal. "Ini adalah perubahan paradigma yang lengkap." Pada saat yang sama, perusahaan di seluruh dunia sedang mengerjakan teknologi untuk merevolusi cara kita menavigasi web.

Bos Facebook Marc Zuckerberg
Bos Facebook Marc Zuckerberg mengumumkan nama baru untuk produk Facebook dan sosial media lain: MetaFoto: Eric Risberg/AP/picture alliance

Pada awal 1960-an, para peneliti mulai menghubungkan komputer di seluruh dunia. Namun, baru pada tahun 1990-an dengan penemuan world-wide-web dan web browser membuat jaringan tersebut tersedia bagi siapa saja yang mampu membeli koneksi internet.

Sejak itu, web telah mengubah setiap aspek masyarakat, mulai dari cara orang melakukan bisnis hingga cara mereka menemukan informasi atau berinteraksi satu sama lain. "Semuanya telah berubah karena internet," kata Miriam Meckel, CEO ADA dan profesor komunikasi di University of St. Gallen di Swiss. "Dan internet itu sendiri juga telah berubah."

Selama fase pertama web, orang-orang menjelajahi web dari komputer desktop mereka dan menavigasinya terutama melalui mesin pencari. Itu berubah di tahun 2000-an dengan munculnya media sosial dan internet seluler, sehingga memunculkan dunia online seperti yang kita kenal sekarang.

Lebih banyak hak untuk pengguna

Inti dari "web2" ini adalah platform online seperti Facebook dan Instagram Meta atau baru-baru ini, layanan pesan seperti Telegram.

Platform-platform tersebut bisa membantu para pembangkang dalam rezim otoriter mengorganisir protes atau memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Namun, pengungkapan skandal Cambridge Analytica tahun 2018 telah menunjukkan bahwa platform media sosial juga sering digunakan untuk menyebarkan kebencian, memperkuat disinformasi, dan memengaruhi pemilu di negara demokrasi.

Sementara itu, sejumlah kecil perusahaan teknologi raksasa seperti Meta atau perusahaan induk Google, Alphabet, telah mendominasi segmen ekonomi internet.

Untuk mengalihkan kendali kembali ke individu dan komunitas, orang-orang seperti penulis Shermin Voshmgir telah mengusulkan untuk membangun kembali web dengan blockchain publik yang terdesentralisasi — database yang dapat dicari oleh semua orang dan dibagikan di komputer di seluruh dunia.

"Web3" semacam itu akan dikontrol secara kolektif oleh pengguna daripada beberapa kelompok penjaga gerbang yang kuat, demikian idenya. Web juga bisa dirancang lebih mudah, misalnya, bagi materi iklan untuk menghasilkan uang dengan karya yang dipublikasikan secara online.

Pengacara Argentina dan aktivis internet Micaela Mantegna
Pengacara Argentina dan aktivis internet Micaela MantegnaFoto: Janosch Delcker/DW

Web3 versus metaverse

Untuk mencegah metaverse dikendalikan hanya oleh beberapa pemain berpengaruh, para ahli mengatakan pengguna harus dapat berinteraksi satu sama lain di mana pun di metaverse mereka.

"Ada pemahaman bahwa banyak hal perlu diubah dari web2," kata Constanze Osei dari Meta. Dia menunjuk pada inisiatif baru yang diumumkan bulan Juni lalu, di mana perusahaannya, bersama dengan raksasa teknologi dan badan penetapan standar lain, ingin membahas standar pertukaran data. Namun, beberapa pemain besar seperti raksasa teknologi AS, Apple, absen dari upaya tersebut.

Metaverse dapat tumbuh menjadi pasar senilai $8 triliun pada tahun 2025, menurut perkiraan oleh bank investasi Goldman Sachs.

Pada saat yang sama, ada ironi tertentu dalam kenyataan bahwa raksasa teknologi terbesar di dunia mengatakan mereka ingin berinvestasi dalam membangun arsitektur internet baru yang pada akhirnya dapat mengekang kekuatan pasar mereka sendiri. Beberapa pengamat memperingatkan bahwa begitu perusahaan mencoba memanfaatkan investasi itu, cita-cita arsitektur web3 yang terdesentralisasi bisa berakhir.

"Versi dari metaverse akan menjadi evolusi kapitalisme," kata pengacara Argentina, Micaela Mantegna. Terlebih lagi, sifat metaverse yang mengumpulkan berbagai data secara mendalam dapat memperburuk beberapa masalah yang mengganggu web2 saat ini, dari disinformasi hingga pelecehan online. Beberapa pengguna telah melaporkan dilecehkan secara seksual di versi awal metaverse.

Micaela Mantegna memperingatkan bahwa seiring perkembangan teknologi, perangkat yang digunakan untuk mengakses metaverse pada titik tertentu dapat mulai memantau informasi sensitif, seperti aktivitas otak pengguna. "Kami tidak ingin metaverse menjadi sekuel buruk dari internet," katanya.

(hp/ha)