Staquf: Islam Mampu Mendamaikan Palestina
22 Juni 2018Gelombang kecaman mengiringi perjalanan Yahya Cholil Staquf ke Israel. Terlebih pertemuan dadakan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu turut menuai kritik dari kalangan Nahdlatul Ulama.
Namun menurut sosok yang akrab dipanggil Gus Yahya itu, ia pun turut memanfaatkan pertemuan tersebut untuk menyampaikan pesan perdamaian.
Kepada Deutsche Welle, Gus Yahya mengatakan dirinya ingin membumikan gagasan Alm. Abdurrahman Wahid tentang moralitas agama sebagai elemen penting dalam proses perdamaian. Ikuti percakapan selangkapnya berikut ini:
DW: Bagaimana Anda bisa bertemu Benjamin Netanyahu?
Yahya Cholil Staquf: Sesudah saya di sana dan mengikuti majelis itu, saya bertemu sejumlah jurnalis, lalu saya mendapat pesan bahwa perdana menteri meminta bertemu. Begitu saja.
Apa kesan Anda terhadap beliau?
Waktu itu beliau berbicara tentang keinginan untuk menormalisasi hubungan dengan Indonesia. Tapi saya mengatakan bahwa menurut pandangan saya, walaupun saya tidak berbicara atas nama pemerintah Indonesia, terutama melihat keadaan sekarang, hubungan Indonesia dan Israel tidak bisa dipisahkan dari masalah Palestina. Sehingga sulit diharapkan adanya normalisasi selama masalah Palestina tidak ada jalan keluar.
Apakah anda merasa dimanfaatkan oleh Netanyahu mengingat pertemuan yang serba dadakan itu?
Ya memanfaatkan itu wajar kan. Tapi kan saya juga bisa memanfaatkan. Seperti misalnya bahwa saya bisa punya leverage (dorongan) dari pertemuan itu untuk memperkuat pesan-pesan yang ingin saya sampaikan. Nah sekarang kalau dia mau memanfaatkan kehadiran saya, sebesar apa sebenarnya manfaat yang bisa diperoleh? Saya sudah tegaskan berkali-kali bahwa saya bukan utusan pemerintah dan bukan utusan NU. Sehingga dia tidak usah mengklaim punya dukungan Indonesia, tidak pula bisa mengklaim dukungan NU. Dan kalaupun ada dukungan NU, apa manfaatnya? Tidak ada manfaat diplomatiknya. Kalau pemerintah tetap tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel, ya mau apa? Kalau dia mau memanfaatkan saya itu tidak banyak manfaat yang dia dapat, terutama kalau untuk pencitraan.
Sebenarnya misi apa yang membawa Anda ke Israel?
Jadi saya mendapat undangan dari American Jewish Commitee (AJC) untuk memberikan presentasi di forum mereka dan ini merupakan kelanjutan dari lawatan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Gus Dur pernah berpidato di forum yang sama 16 tahun lalu. Jadi dalam forum AJC itu saya dihadirkan dalam bingkai dialog seperti yang pernah dilakukan Gus Dur selama ini. Tapi di luar forum AJC, saya bersama teman-teman berusaha merancang sendiri berbagai kegiatan. Terutama saya melakukan pendekatan dengan LSM-LSM lokal, antara lain Truman Institute. Mereka memberikan platform untuk berdiskusi dengan dosen-dosen dan mahasiswa Filsafat di Hebrew University, terkait topik perdamaian, juga dengan Israel Council on Foreign Relations dan Mothers for Peace (gerakan perdamaian gabungan antara kaum ibu Yahudi dan Palestina). Lalu kami juga bertemu dengan perwakilan media massa.
Apa pesan yang ingin anda sampaikan di sana?
Saya punya dua pesan dan satu agenda. Yang pertama saya meminta kepada para agamawan di semua agama untuk memikirkan apa yang bisa ditawarkan oleh agama sebagai solusi dari berbagai macam konflik yang melanda dunia sekarang ini. Karena justru agama sering dijadikan alasan pembenaran, justifikasi dan bahkan senjata untuk berkonflik. Apakah agama memang hanya untuk itu ataukah punya sesuatu untuk solusi. Yang kedua ajakan untuk memilih Rahmah sebagai titik tolak dan jalur menuju perdamaian. Nah agenda saya di sana adalah melakukan pendekatan dengan gerakan-gerakan perdamaian di dalam masyarakat Israel sendiri. Dengan harapan, aspirasi perdamaian di dalam masyarakat Israel akan menguat. Karena sebetulnya selama ini mereka menginginkan untuk membangun jejaring yang lebih kokoh dengan gerakan perdamaian di belahan dunia yang lain, termasuk di Indonesia, supaya tercipta konsensus yang kuat di level masyarakat. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan bisa ikut mempengaruhi perilaku pemerintah.
Bagaimana agama yang sering dijadikan pembenaran moral atas eskalasi konflik antara Israel dan Palestina justru bisa mendamaikan kedua bangsa?
Ya sekarang kan banyak orang Islam misalnya memerangi Israel dengan alasan dan dalil-dalil keagamaan, bahwa Yahudi harus dilawan dan dihancurkan, dsb. Dan sebaliknya di ajaran Yahudi juga dihadirkan pembenaran-pembenaran keagamaan untuk menghancurkan siapa saja yang memerangi kepentingan Israel. Sehingga agama difungsikan untuk memicu dan mengerahkan konflik. Apakah tidak mungkin agama difungsikan sebagai inspirasi untuk menghadirkan solusi dari konflik itu sendiri.
Apakah Islam bisa menginspirasi perdamaian antara Israel dan Palestina?
Mungkin asalkan para pemikir Islam bersedia melakukan ijtihad baru dan rekontekstualisasi. Kenapa Islam difungsikan untuk justifikasi konflik dewasa ini? Itu adalah buah interpretasi Islam yang dikukuhkan pada abad pertengahan. Sehingga kalau Islam mau berfungsi lebih konstruktif pada masa kini, harus ada rekontekstualisasi atau penyesuaian konteks karena realitanya sudah berubah secara fundamental. Sehingga kalau pola pikir dari masa lalu dipaksakan, pasti akan menimbulkan masalah. Dan kaum Muslimin harus sadar bahwa konflik akan terus marak jika kita tidak bersedia mengubah pola pikir.
Benjamin Netanyahu baru-baru ini mengatakan umat Muslim harus berhenti berangan-angan bahwa Israel suatu saat akan menghilang dari peta Bumi. Apakah dia benar?
Itu ekspresi dia untuk mengatakan bahwa dia mau mempertaruhkan segalanya, kalau perlu mengajak semua orang hancur bersama-sama. Sehingga makna dari pernyataan itu ya Israel tidak akan menyerah dengan harga apapun. Sekarang berarti kita berhadapan dengan pilihan kita mau terus berkonflik sampai semua musnah atau kita berhenti dan berdamai.
Seberapa penting keyakinan bahwa Israel akan musnah buat kaum Muslim?
Lagi-lagi ini soal kebutuhan untuk rekontekstualisasi. Selama hampir 13 abad sejak Sayyidina Umar bin Khattab wilayah yang sekarang diduduki Israel berada di bawah kekuasaan penguasa Muslim. Sehingga kemudian ketika jatuh ke tangan penguasa Yahudi, pasti ada kekecewaan besar. Nah sekarang persoalannya adalah apakah ini benar-benar isu agama atau isu politik? Kalau ini dianggap isu agama, manusia tidak punya pilihan selain bertarung. Selama ini konflik Palestina kan dianggap isu agama. Nah ini menurut saya hanya akan memperkeras konflik dan kalau konflik ini diteruskan satu-satunya jalan keluar adalah kehancuran bersama.
Makanya keyakinan saya adalah agama menginginkan supaya manusia membangun perdamaian. Maka interpretasi yang mendorong kepada konflik harus diubah.
Apakah mungkin melakukan rekontekstualisasi tafsir Islam dalam kaitannya dengan konflik dengan Israel?
Sangat mungkin karena sebetulnya interpretasi keagamaan itu sangat beragam. Kalau kita lihat sejarah perkembangan pemikiran Islam misalnya, pada awal era pergesekan Islam dengan peradaban baru setelah merambah ke Persia, interpretasi Islam saat itu sudah sangat beragam, bahkan boleh dikatakan liar. Tapi sejalan dengan semakin mapannya sistem politik yang dibangun, akhirnya ada seleksi terhadap tafsir. Dan interpretasi yang dikukuhkan adalah yang melegitimasi sistem politik yang ada. Sebenarnya kalau kita merujuk pada tafsir yang dulu pernah ada, saya yakin pasti ada referensi yang bisa kita gunakan untuk memahami realitas masa kini dengan lebih konstruktif.
Bagaimana dialog bisa menjadi pilihan, terutama di tengah korban sipil yang sampai saat ini masih terus berjatuhan?
Pertama kita harus menginginkan perdamaian. Itu saja dulu. Mau terus perang sampai semua musnah atau perdamaian. Sekarang kalau pilih perdamaian, maka harus dialog. Tapi dialog saja tidak cukup. Dialog harus diiringi dengan gerakan sosial supaya aspirasi untuk perdamaian menjadi konsensus di tingkat masyarakat. Sehingga para pemimpin politik akan membangun kebijakan-kebijakan berdasarkan aspirasi perdamaian itu.
Kenapa pendekatan politik dan militer gagal mendamaikan Palestina dan Israel?
Karena kalau kita lihat konstelasi kekuatan yang ada, memang sulit satu pihak bisa mengungguli yang lain. Nyaris mustahil. Yang kedua karena pendekatan politik dan militer tidak memiliki komitmen terhadap moral kemanusiaan, maka setiap pihak tidak segan-segan mengingkari komitmen yang sudah dibuat dalam kesepakatan perdamaian. Karena masing-masing hanya mengejar keuntungan bagi pihaknya sendiri.
Kalau sebenarnya perdamaian itu memang menjadi komitmen semua pihak dan semua bersedia dialog, maka mungkin format-format di mana kedua pihak bisa bekerjasama akan bisa ditemukan. Negara kan hanya manifestasi dari kehendak politik masyarakat. Tapi yang paling mendasar sebetulnya adalah hak hidup milik semua orang. Bahwa orang Yahudi juga berhak hidup sebagaimana kaum Muslim. Jangan sampai salah satu pihak menganggap yang lain harus musnah.
Kenapa diskursus nasional di Indonesia terkait masalah Palestina belum mampu membuahkan konsensus perdamaian?
Di Indonesia ketika orang berbicara isu Palestina, maka ada dua kelompok di situ. Pertama kelompok yang betul-betul prihatin atas masalah Palestina. Yang kedua kelompok yang sekedar memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingannya sendiri secara domestik. Sehingga yang dilakukan hanya agitasi tanpa strategi yang konstruktif untuk membantu Palestina. Nah maka kita perlu mengembangkan diskursus tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat Palestina. Bagaimana mereka bisa memperoleh kesempatan buat membangun masa depan mereka sendiri. Diskursus inilah yang harus dikembangkan di Indonesia. Bukan soal membela Palestina dan memusuhi Israel atau Amerika. Pemikiran ini tidak menawarkan solusi apapun selain kehancuran.
Sejak era Gus Dur tidak banyak tokoh Muslim yang cukup berani menjulurkan tangan kepada Israel, lantaran besarnya antipati kaum Muslim. Anda pun mendapat banyak serangan terkait lawatan ke Israel. Kenapa anda tetap bersikeras melakukannya?
Ya karena saya sendiri tidak punya terlalu banyak untuk dipertaruhkan. Kalau Gus Dur kan, saya tidak tahu apakah suatu saat akan muncul tokoh seperti beliau lagi, karena beliau mempertaruhkan banyak hal untuk memperjuangkan cita-cita perdamaian. Kalau saya sendiri tidak banyak yang dipertaruhkan. Saya tidak punya posisi yang terlalu menentukan dan memang saya melakukan ini sebagai upaya untuk mengangkat kembali gagasan Gus Dur. Saya kan tidak menawarkan sesuatu yang signifikan dari diri saya sendiri. Yang paling saya pikirkan adalah gagasan Gus Dur untuk menambahkan moralitas agama di dalam proses perdamaian. Jadi yang saya lakukan adalah bagaimana melakukan operasionalisasi dari gagasan itu.
Indonesia sedang menggiatkan upaya diplomatik demi mendamaikan Palestina dan Israel, antara lain lewat DK PBB. Anda sendiri merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Nasehat apa yang anda akan sampaikan kepada Presiden Joko Widodo terkait konflik Israel dan Palestina?
Saya kira tidak banyak kecuali upaya pemerintah harus dikonsentrasikan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat Palestina. Tidak perlu Indonesia berpikir bisa memperoleh keuntungan dari upaya itu. Mau Indonesia untung atau tidak yang penting rakyat Palestina yang untung.
Wawancara oleh Rizki Nugraha