Vaksin Flu Kurang Efektif untuk Laki-laki
1 Januari 2014Namun sejauh ini para ilmuwan belum pernah mampu untuk menjelaskan mengapa. Sebuah studi terbaru menunjukkan, bahwa level testosteron dapat mempengaruhi keampuhan vaksin flu.
Vaksin berpeluang menjadi tidak terlalu efektif untuk kaum lelaki dibanding pada perempuan, karena tingginya level testosteron pada kaum pria, yang menghambat respon imunitas.
Sebuah tim riset yang dipimpin oleh Mark Davis dari Universitas Stanford di Kalifornia mengidentifikasi sekelompok gen yang terlibat dalam metabolisme lipid dan kemungkinan besar mempengaruhi level testosteron.
Riset terbaru ini, yang dirilis dalam jurnal resmi Proceedings of the American Academy of Sciences (PNAS), mencatat bagaimana respon sebuah kelompok responden yang terdiri dari 34 laki-laki dan 53 perempuan dari kelompok usia yang berbeda-beda, terhadap vaksin flu.
Studi terdahulu menemukan adanya kadar efektivitas yang berbeda-beda dan efek samping yang beragam bagi lelaki dan perempuan yang mendapatkan vaksin, contohnya melawan flu, sakit kuning, campak dan sakit gondong.
Antibodi lebih untuk perempuan
Para peneliti dalam studi terbaru itu menegaskan, bahwa perempuan bereaksi terhadap vaksin flu dengan memproduksi lebih banyak antibodi dan sitokin, yang berperan sebagai peregulasi hormon dan memegang peranan penting dalam sistem kekebalan tubuh.
Perbedaan terbesar ditemukan pada vaksin untuk galur flu H3N2 yang agresif. Periset menelusuri perbedaan reaksi kedua jenis kelamin hingga ke sekelompok gen yang terlibat dalam metabolisme lemak yang juga diketahui bertanggung jawab mengurangi respon kekebalan tubuh.
Gen-gen tersebut bereaksi lebih kuat terhadap hormon testosteron pada kaum lelaki.
Para ilmuwan berspekulasi bahwa pada masa prasejarah, kaum lelaki dengan respon imunitas yang kurang agresif mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup, meski memainkan peran sebagai pemburu dan prajurit yang cenderung mengekspos mereka terhadap luka dan mungkin berujung pada infeksi.
Respon kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap infeksi terbukti bisa jadi lebih berbahaya daripada patogen itu sendiri, jelas para ilmuwan tersebut.
cp/as (dpa, afp)