Sudah Terlambat untuk Selamatkan Dunia?
15 September 2013Ottmar Edenhofer pasti orang yang optimis. Sejak beberapa tahun lalu, pakar iklim itu memperingatkan buruknya efek rumah kaca. Ia menjabat kepala bidang ekonomi pada Institut Penelitian Dampak Iklim (PIK) di Potsdam, dan anggota Dewan Iklim Dunia.
Tetapi negara-negara selama ini tidak mendengarkannya, mereka bahkan semakin tidak mengindahkan. Jumlah emisi gas rumah kaca tambah tinggi. Protokol Kyoto, satu-satunya kesepakatan iklim global, kini hanya dipatuhi sejumlah kecil negara. Tetapi Edenhofer tetap berpegang pada target peningkatan suhu maksimal dua derajat Celcius. Itu juga kerap disebut-sebut politisi, tapi jarang diperhatikan. Edenhofer menegaskan, target dua derajat bisa dicapai, tapi merupakan tantangan besar.
Maksudnya, suhu rata-rata bumi hingga 2100 tidak boleh naik lebih dari dua derajat Celcius. Memang itupun sudah berefek besar pada iklim, tetapi dampaknya masih bisa ditangani manusia. Suhu kini sudah menanjak sekitar satu derajat, sejak orang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, jadi kira-kira sejak 1850.
Menunggu Berarti Tingkatkan Ongkos
Edenhofer sekarang menyampaikan hasil studi baru, atas penugasan badan lingkungan hidup Jerman. Inti hasil studinya: jika masyarakat dunia tidak segera melaksanakan politik iklim yang bermanfaat, ongkos bagi semua negara untuk mengatasi dampaknya meningkat tiga kali lipat.
Jika 2015 perjanjian iklim diputuskan, di konferensi iklim dunia di Paris, perkembangan ekonomi di seluruh dunia untuk sementara akan berkurang dua persen, karena negara-negara akan keluarkan dana besar bagi penanggulangan efek rumah kaca. Jika perjanjian baru ditandatangani 2030, biayanya sudah naik tujuh persen. Demikian hasil penelitian Edenhofer.
Itu seharusnya memberi alasan bagi politisi untuk mulai berpikir, kata Jochen Flasbarth dari badan lingkungan hidup. Kita masih bisa bertindak, tapi harus sekarang, demikian ditambahkannya.
Karbondioksida Harus Berharga Mahal
Edenhofer ingin mencapai target dua derajat Celcius dengan langkah yang hampir utopis. Dalam sistem perdagangan dunia, CO2 harus berharga antara 20 sampai 50 Euro per ton. Dengan demikian bahan bakar fosil akan begitu mahal, sehingga memaksa orang untuk menggunakan sumber energi alternatif. Saat ini, pasar seperti itu saja hanya sedikit, misalnya di Eropa, dan harga CO2 per ton di Eropa hanya tiga Euro.
Namun demikian Edenhofer tetap percaya, negara-negara di seluruh dunia dalam waktu singkat akan menciptakan pasar CO2 bersama. "Bahkan negara-negara yang tidak terlalu mempropagandakan perlindungan iklim, ingin harga CO2 yang lebih tinggi, karena mereka, misalnya, sangat perlu uang untuk sektor pendidikan. Tapi setelah krisis keuangan, pembiayaan klasik lewat pajak berkurang,“ kata Edenhofer. Dan ini berdampak pada masalah lingkungan.
Energi dari Tanaman
Edenhofer juga menyulut debat karena idenya yang lain lagi. Di samping sumber energi alternatif yang klasik, seperti listrik dari angin atau matahari, Edenhofer menuntut penggunaan bahan bakar dengan biomassa besar, yang sampah CO2-nya ditampung di bawah tanah.
Tetapi banyak pakar menilai pengadaan energi lewat tanaman tidak berkala, karena tanaman sebenarnya diperlukan untuk bahan makanan. Tetapi tanpa kadar biomassa yang tinggi, menurut Edenhofer, target dua derajat Celcius tidak akan tercapai. Dan tanpa perjanjian iklim, investasi untuk teknologi baru tidak akan ada, kata Edenhofer.
Optimis Walau Gagal
Intinya, diperlukan harga CO2 sekitar sepuluh kali lipat lebih tinggi, juga penemuan teknik baru untuk menggunakan biomassa tanpa merugikan lingkungan. Edenhofer percaya itu semua mungkin. Tetapi banyak politisi tidak punya keinginan untuk menyelesaikan masalah iklim.
Sejauh ini tidak ada kemajuan dalam politik mengenainya. Dua tahun sebelum konferensi iklim di Paris, ide awal sama sekali tidak tampak, bagaimana perjanjian iklim yang baru. Dan terutama, siapa yang akan menandatangani.