Tercekiknya Perekonomian Iran
12 Juni 2013Pengangguran, kemiskinan dan inflasi mengubah sepenuhnya hidup banyak warga Iran. Negara harus berjuang lawan inflasi yang dramatis, dan semakin terbenam dalam krisis ekonomi. Hampir setiap hari harga bahan pangan dan barang-barang lainnya naik.
Akhir Maret lalu, badan statistik Iran menyatakan secara resmi, kenaikan inflasi selama setahun --mulai dari akhir Maret 2012-- mencapai 30%. Itu menjadi rekor dalam sejarah Iran. Menurut keterangan resmi, dalam setahun harga pangan naik 60%. Pakar ekonomi berpendapat, jumlah sesungguhnya jauh lebih tinggi.
Sejak embargo minyak dari Uni Eropa mulai berlaku pertengahan 2012, mata uang Iran, Rial, kehilangan nilai. Nilai tukar satu Dolar kini 35.000, sementara sembilan bulan lalu masih 20.000 Rial. Para pedagang di ibukota Teheran melaporkan berkurang drastisnya kemampuan beli warga Iran. Seorang pedagang bercerita, krisis ekonomi ibaratnya bencana bagi tokonya. Ia memperkirakan, tahun ini, penjual buah-buahan kering dan kacang kemungkinan besar tidak akan beruntung.
Kekurangan Obat-Obatan
Walaupun obat-obatan dicabut dari daftar sanksi Uni Eropa dan AS terhadap Iran, banyak perusahaan luar negeri menghindari bisnis dengan Republik Islam itu. Alasannya adalah sanksi internasional terhadap bank sentral Iran, yang mempersulit transfer dana.
Konsekuensinya, Iran kekurangan obat-obatan. Jika ada, harganya terlalu mahal. Obat-obatan tiruan seperti dari Cina, Pakistan dan India kini berhasil menguasai pasaran Teheran. Tapi obat tiruan kadang membahayakan jiwa. Akhir Desember 2012, menteri kesehatan Marzieh Vahid Dastjerdi dipecat, setelah menteri perempuan itu mengritik pemerintah karena tidak mampu menyediakan dana bagi impor obat-obatan.
Akibat krisis ekonomi, banyak pabrik, terutama di sektor industri mobil, tidak mempu membayar gaji. Ini menyebabkan aksi mogok. Negara memberikan sokongan bagi biaya hidup, tetapi orang beranggapan itu hanya propaganda saja, karena jumlahnya sangat kecil.
Krisis Sudah Ada Sebelum Sanksi
Memang jelas, sanksi-sanksi yang semakin ketat terhadap Iran menyebabkan ekonomi negara tertekan. Tapi para pakar menekankan, krisis ekonomi yang mendalam sudah ada sebelum sanksi. "Penyebab inflasi adalah politik ekonomi pemerintah di bawah Ahmadinejad," kata Shahin Fatemi, pakar Iran dan profesor ekonomi di Paris. Menurutnya, baik pemerintah saat ini di bawah Ahmadinejad, maupun pemerintah mendatang mampu membebaskan negara dari krisis.
Pemerintah Iran tahun 2011 mencoret subsisi bagi energi dan bahan pangan. Langkah itu awalnya disambut baik Dana Moneter Internasional (IMF), tapi dikritik banyak pakar, karena terlalu radikal. Di lain pihak, milyaran dana dikeluarkan untuk tunjangan hidup untuk membayar ganti rugi bagi warga miskin. Tunjangan ini tidak bermanfaat karena harga bahan bakar dan bahan pangan melonjak naik akibat pengurangan subsidi. Bank sentral lama berhasil mempertahankan nilai tukar Rial karena ada pemasukan dari minyak. Namun sanksi yang mencakup embargo minyak ibaratnya pukulan terakhir bagi perekonomian Iran.
Sanksi dan inflasi tidak berdampak besar bagi anggota pemerintahan dan milyuner. Yang menderita adalah rakyat yang semakin miskin, di negara dengan persediaan minyak ketiga terbesar di dunia.