Tes PCR Jadi Syarat Terbang, Epidemiolog: Langkah Sia-sia
27 Oktober 2021Pemerintah baru saja mengeluarkan aturan mewajibkan tes polymerase chain reaction (PCR) untuk penumpang pesawat. Meski kebijakan ini menuai banyak pro dan kontra juga ditolak oleh masyarakat, pemerintah kembali merencanakan menjadikan tes PCR sebagai syarat wajib perjalanan di masa pandemi COVID-19 untuk semua moda transportasi.
Meski mengundang kritik terkait soal keadilan, penggunaan syarat wajib tes PCR untuk penumpang pesawat terbang dinilai sebagai bentuk antisipasi penularan COVID-19 di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 Covid-19 di Jawa-Bali.
Sedangkan calon penumpang moda transportasi darat, laut, dan kereta api dengan tujuan Jawa-Bali maupun non Jawa-Bali berstatus PPKM Level 3 dan 4 disyaratkan vaksinasi minimal dosis pertama plus keterangan hasil negatif PCR dengan masa berlaku 2x24 jam, atau hasil rapid test antigen yang berlaku 1x24 jam.
Tidak ada evaluasi dan studi efektifitasnya
"Kalau alasannya ini, sepengetahuan saya ini rilis dari satgas dan PCR dianggap lebih efektif dalam mendeteksi apalagi saat ini kapasitas kan sudah diperbolehkan 100 persen. Jadi, mereka ingin skrining lebih ketat," ujar epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Bayu Satria Wiratama, M.P.H, dalam keterangannya, Rabu (27/10/2021).
Bayu menegaskan sejak awal tidak setuju penggunaan antigen atau PCR untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi apapun. Menurutnya, penggunaan antigen atau PCR dinilai tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apapun. Misalnya indikasi kontak erat.
"Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen atau PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah," terangnya.
Bayu melihat kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain untuk perjalanan domestik di dalam negeri. Dia juga menilai meskipun hasil PCR atau antigen negatif tidak menjamin seseorang sedang tidak terinfeksi. Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi dinilai lemah efektivitasnya.
"Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik," ungkapnya.
Untuk itu, katanya, sebagai solusinya perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Jika perlu lakukan pencabutan atas aturan menggunakan PCR atau antigen tersebut dan melakukan evaluasi efektif atau tidak.
Epidemiolog: lebih penting vaksin, masker dan jaga jarak
Dalam pandangan Bayu, pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat. Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang sebaiknya kembali saja dengan aturan pembatasan kapasitas.
"Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak," paparnya.
Ia menambahkan meski diwajibkan tes PCR, itu tidak menjamin tidak ada penularan. Untuk itu, yang terpenting vaksin, disiplin dalam pemakaian masker dan jaga jarak yang ketat.
"Dengan cara-cara seperti itu saya kira sudah cukup membantu. Hal itu perlu saya sampaikan, sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai seberapa besar sebenarnya risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," pungkasnya.
Sudirman Said: langkah presiden tekan harga PCR harus diapresiasi
Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI) Sudirman Said mengajak masyarakat mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang menurunkan biaya tes PCR. Yang penting, kualitas tes PCR tak boleh turun.
"Langkah bijak Presiden Jokowi akan memberi angin segar bagi perekonomian dengan meringankan beban biaya arus manusia ke berbagai sentra ekonomi sekaligus tetap mencegah penyebaran COVID-19," kata Sudirman Said kepada wartawan, Rabu (27/10/2021).
Sudirman menambahkan, kendati biayanya sudah turun, kualitas PCR harus tetap terjaga. "Walaupun biayanya dipaksa turun, kualitas PCR tidak boleh turun," tambah Sudirman.
Lebih jauh, Sudirman Said, yang juga dipercaya sebagai Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan, mengatakan perlu dilaksanakan audit biaya PCR.
"Menurut saya, tidak berlebihan bila masyarakat ingin mengetahui biaya pokok tes PCR itu, hal ini juga dapat mengklarifikasi opini yang berkembang di masyarakat bahwa penyedia jasa PCR sudah mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit," jelas Sudirman.
Sudirman Said juga memuji aplikasi PeduliLindungi yang menurutnya cukup membantu mengendalikan interaksi, terutama di tempat umum. "Dari seluruh dunia kita belajar bahwa penyebaran COVID-19 disebabkan interaksi. Oleh karena itu, kita semua harus mengelola interaksi. Ini penting agar tidak timbul gelombang baru penularan COVID-19," tegas Sudirman.
Menurut Sudirman, kombinasi vaksin dan protokol kesehatan adalah jawaban ampuh pencegahan COVID-19. "Meskipun sudah divaksin, semua interaksi warga harus dilakukan dengan protokol baru. Gunakan masker, sering cuci tangan, jaga jarak, jangan berkerumun. Pemerintah harus terus menerus menyuarakan hal ini, dibantu oleh kelompok-kelompok masyarakat seperti PMI, atau forum-forum masyarakat sipil lainnya," jelas Sudirman.
Tokoh forum solidaritas kemanusiaan ini juga mengajak masyarakat mengikuti anjuran Ketua Satgas COVID-19 IDI, Prof. Zubairi Djoerban, untuk menggunakan ruang terbuka sebagai tempat pertemuan daripada ruangan tertutup ber-AC. "Ini anjuran baik yang mudah pelaksanaannya. Selain sehat, anjuran ini juga ramah lingkungan serta hemat, sebab tidak perlu tenaga listrik yang besar," tutup Sudirman. (pkp/as)
Baca selengkapnya di: detiknews
Tes PCR Jadi Syarat Terbang, Epidemiolog UGM: Langkah Sia-sia
Sudirman Said: Langkah Presiden Tekan Harga PCR Harus Diapresiasi