Thailand Dorong Buruh Myanmar ke dalam Jerat Perbudakan
19 Juli 2022Ketika bulan mengambang tinggi di langit, kapal demi kapal berlabuh di Ranong, Selatan Thailand, di bawah pengawasan Otoritas Keluar-Masuk Pelabuhan (PIPO). Lembaga itu dibentuk pada 2015 silam untuk memerangi aktivitas penyelundupan dan praktik kerja paksa. Tapi empat bulan lalu, ketika awak sebuah kapal tewas tanpa sebab jelas, PIPO malah bergeming.
"Dalam situasi seperti ini, PIPO harusnya menanyakan bagaimana seorang buruh migran tewas, bagaimana keluarganya bisa dibantu. Saya harap mereka mau berbuat lebih dari sekedar memeriksa pelampung," kata Moe Tha Hlay, seorang nelayan yang turut bekerja di kapal tersebut.
Nelayan yang meminta identitas disamarkan untuk menghindari persekusi itu mengaku sudah melihat dua buruh migran yang tewas di laut tanpa adanya penyelidikan lanjutan. Meski situasi yang membahayakan, dia tidak bisa berpindah kapal dengan mudah.
"Kami tidak punya pilihan lain. Kalau kami pindah ke kapal ikan lain, kami harus membayar denda yang besar dari kantung sendiri," kata dia. "Kami tidak ingin membayar, maka dari itu kami harus terus bekerja di sini, bahkan jika berbahaya."
Utang berujung perbudakan
Sebuah laporan oleh Organisasi Buruh Dunia (ILO) pada 2020 mengungkap maraknya praktik kerja paksa demi utang di industri perikanan Thailand. Riset PBB itu mencatat sebanyak 14 persen nelayan pernah mengalami perbudakan modern. Sebagian besar diprediksi bekerja secara sukarela karena terjerat utang kepada pemilik kapal, agen atau makelar buruh, klaim organisasi HAM lokal.
Praktik keji itu kembali muncul ke permukaan sejak Myanmar mengalami kudeta dan pandemi. Penutupan perbatasan selama dua tahun antara Myanmar dan Thailand membuat penyelundupan manusia semakin marak. Selain biaya yang meningkat, buruh migran Myanmar di Thailand juga terancam persekusi dan beban ekonomi yang lebih tinggi.
Moe dan buruh lain khawatir situasi akan memburuk seiring perang saudara di Myanmar. Menurutnya, krisis ekonomi akan mendorong semakin banyak warga Myanmar mencari kerja di luar negeri.
"Banyak migran yang akan mengalami masalah di negara lain," kata dia. "Dulu, banyak nelayan yang mengalami penyiksaan fisik. Sekarang sudah jarang. Tapi saya takut situasi ini akan kembali marak."
Selama 17 tahun bekerja di kapal, Moe rutin membayar utang, antara lain untuk membayar perpanjangan visa atau izin tinggal melalui makelar yang ditunjuk pemilik kapal.
Lemahnya penegakan hukum
Makelar biasanya bebas untuk menagih biaya tambahan yang dipotong dari upah nelayan. Tidak jarang, seorang nelayan butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melunasi utangnya.
Moe selama ini selalu mampu membayar biaya premium yang ditetapkan pemilik kapal. Tapi sejak keluarganya di Myanmar membutuhkan bantuan tambahan, dia harus meminjam uang kepada atasannya. "Saya punya keluarga, jadi saya tidak bisa membayar cicilan secata rutin. Saya katakan kepada pemilik kapal untuk memotong cicilan langsung dari gaji bulanan saya," kata dia.
Moe tidak pernah menandatangani kontrak kerja. Dia juga tidak tahu berapa biaya perpanjangan izin tinggal yang harus dibayarkan dalam waktu dekat. Terlebih, upahnya acap dipotong tanpa alasan yang jelas. Kapalnya pun sering kehabisan bahan pangan. Tidak jarang, para buruh harus bekerja selama 12 jam sehari dengan perut kosong.
Sejatinya, kondisi tersebut melanggar regulasi di Thailand. Namun, keluhan Moe ditanggapi setengah hati oleh otoritas pelabuhan.
"PIPO punya penerjemah bahasa Burma, tapi mereka tidak melakukan apapun. Terkadang, di atas kapal, kami kehabisan bahan pangan. Tapi jika kami mengeluhkan situasinya, mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab itu saya sangat marah," kata dia. "Jika buruh Burma tewas, mereka tidak peduli."
Regulasi suburkan kerja paksa
Organisasi anti penyelundupan manusia, Thailand's Trafficking in Persons (TTP), tahun lalu melaporkan sebanyak 14 kasus perbudakan di industri perikanan. Adisorn Kerdmongkol, aktivis buruh Thailand, mengatakan sebanyak 90 persen buruh migran harus membayar biaya perpanjangan kepada pemilik kapal.
"Biayanya tidak hanya mahal, tapi aturannya juga rumit," kata dia soal Nota Kesepahaman yang dibuat antara Thailand dan Myanmar. "Jika Anda ingin mendapat izin kerja, Anda harus menunggu selama tiga bulan dan berkoordinasi dengan otoritas."
Bagi banyak nelayan migran, prosedur tersebut "bukan pilihan," lanjut Adisorn. "Jika Anda datang secara ilegal, satu-satunya kesempatan adalah menggunakan jasa makelar."'
Nota kesepahaman itu mengizinkan sekitar 150.000 buruh Myanmar untuk bekerja di Thailand. Namun begitu, kebanyakan masih memilih jalur ilegal. Menurut organisasi HAM, Seafood Working Group dan Global Labor Justice, biaya perjalanan melintasi perbatasan bisa mencapai THB 3.000 atau sekitar Rp12 juta.
"Mereka menggadaikan rumah untuk membayar ongkos penyelundup. Sebagian lain yang tidak mampu membayar, mereka bersepakat dengan agen untuk berutang dan cicilan yang dipotong langsung dari gaji bulanan," kata dia.
"Tapi Anda tidak mendapat uang kembali jika gagal. Sebagian ditinggalkan di dalam hutan tanpa makanan, mereka hanya bisa bertahan hidup setelah dipergoki otoritas Thailand."
rzn/pkp