Tokoh Agama Deklarasi Komitmen Perlindungan Bumi
15 Agustus 2024Para tokoh agama yang terlibat dalam komitmen menjaga Bumi menyatakan, deklarasi itu dikumandangkan di tengah sejumlah persoalan krisis ekologi saat ini, yang salah satunya dipicu eksploitasi industri ekstraktif yang berdampak pada peminggiran dan pengabaian hak masyarakat lokal.
Para tokoh – yang mewakili agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan aliran kepercayaan Baha'i – juga mengadakan dialog lintas iman bertema "Kemanusiaan dan Ekologi” di Pura Aditya Rawamangan, Jakarta (14/08).
Diiinsiasi oleh lembaga Gereja Katolik, Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau yang dikenal dengan Fransiskan, dialog itu juga digelar sebagai bagian dari upaya persiapan kunjungan Paus Fransiskus bulan depan, dengan mendalami pesan pentingnya, terutama dalam Laudato Si dan Fratelli tutti – dokumen Vatikan yang khusus bicara soal krisis ekologi dan dialog antaragama.
Pentingnya peran agama
Tokoh muslim Budhy Munawar Rahman memberi catatan tentang pentingnya peran agama-agama, yang pada prinsipnya memiliki ajaran untuk mendorong konservasi lingkungan dan aksi iklim.
"Dalam Islam misalnya, ada konsep khalifah bahwa manusia adalah penjaga Bumi, dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan merawat ciptaan Tuhan, yang sejalan dengan ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang menekankan tanggung jawab kolektif untuk merawat Bumi sebagai rumah bersama,” paparnya.
Dalam deklarasi bersama usai dialog, para tokoh menyatakan komitmen terhadap sejumlah hal, termasuk "merawat Bumi sebagai rumah bersama, dengan mewujudkan gaya hidup hemat dan menghormati kesucian atau kesakralan alam.”
Mereka juga menyatakan komitmen "menciptakan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan”serta "memastikan hak-hak masyarakat adat dan generasi mendatang terpenuhi, kearifan lokal terpelihara, dan kesejahteraan Bumi dimungkinkan.”
Para tokoh juga menegaskan komitmen "mengejawantahkan cara hidup yang didasarkan pada semangat persaudaraan di tengah keberagaman, menghormati dan menjunjung tinggi martabat pribadi manusia, terutama mereka yang dikecualikan atau disingkirkan,” dan "menegakkan keadilan ketika terjadi diskriminasi, korupsi, dan eksploitasi” serta "mewartakan secara terus-menerus nilai-nilai perdamaian di tengah masyarakat luas.”
Sokongan LSM lingkungan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ikut mendukung komitmen itu. Dini Pramita, aktivis Jaringan Advokasi Tambang, memberi gambaran tentang persoalan lingkungan di Indonesia saat ini, terutama dalam kaitan dengan industri eksraktif.
Dini memberi catatan soal pola-pola pemiskinan lewat implementasi proyek-proyek ekstraktif di Indonesia,"(Industri ini) memicu perampasan lahan warga setempat sehingga membuat masyarakat jatuh miskin dan dipaksa hidup berdampingan dengan bencana, seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan, Maluku dan wilayah lainnya."
"Ironisnya hal seperti itu dilakukan atas nama pembangunan berkelanjutan, transisi energi, transisi bersih, dan transisi berkeadilan,” tandas Dini.
"Sematan embel-embel hijau dan bersih hanya upaya untuk melanggengkan sistem ekonomi kapitalistik yang lagi-lagi bertumpu pada ekstrativisme,” tambahnya lebih lanjut.
"Transisi semu ini hanya mengganti penggunaan energi fosil ke energi fosil terbarukan, dengan daya rusak yang sama,” katanya.
Sementara itu Ahmad Maulana, aktivis sosial yang menangani komunitas marginal di bantaran Sungai Ciliwung Jakarta menyinggung krisis ekologi di ibu kota.
"Tempat bermain dan ruang terbuka hijau menjadi sebuah hal yang mahal untuk anak-anak kita di Jakarta,” katanya. "Di sisi lain, sungai yang tercemar dan kualitas udara yang semakin buruk, menjadi hal yang biasa dan bukan sebagai hal yang memprihatinkan.”
"Ukuran ideal sebuah kota sebesar Jakarta adalah, luas teritorial itu sebanyak 30% menjadi ruang terbuka hijau, tetapi kenyataannya saat ini terus menurun, tinggal sekitar 5% dari luas Jakarta,” demikian klaimnya.
Romo Yohanes Kristoforus Tara, dari divisi advokasi Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC] Fransiskan berkata, mereka menerapkan sejumlah komitmen perlindungan Bumi dalam pelbagai kebijakan lembaga.
"Kebetulan di Fransiskan, JPIC yang menangani bidang dialog dan ekologi dan sejumlah poin komitmen itu telah kami jalankan selama ini dalam upaya advokasi kami terhadap masalah pertambangan, geothermal, dan isu lainnya,” katanya.
"Dengan komitmen bersama ini, kami memperkuat kembali energi untuk berjuang dan kini bersama lembaga-lembaga agama lainnyaa,” katanya.
Persiapan kunjungan Paus Fransiskus
Romo Yohanes menuturkan, dialog ini juga merupakan bagian dari upaya persiapan menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta bulan depan.
"Sebagaimana yang ditekankan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), kunjungan paus sama pentingnya dengan upaya mendalami dan mencari bentuk-bentuk konkret implementasi pesan-pesannya dalam memperkuat persaudaraan semesta,” katanya.
"Dalam konteks dialog ini, kami juga ingin mengajak lebih banyak orang memahami masalah ekologi sebagai masalah kemanusiaan, sebagaimana yang selama ini ditekankan oleh Gereja, terutama dalam dokumen Laudato Si,” imbuhnya.
Para tokoh yang mendeklarasikan komitmen ini antara lain; Pastor Massimo Fusarelli dari OFM, Matias Filemon Hadiputro, yang merupakan pendeta dari Gereja Kristen Jawa, Nissa Wargadipura, aktivis perempuan muslim dan pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, tokoh Muslim Budhy Munawar-Rachman, Atthadhiro Thera dari organisasi agama Buddha Sangha Theravāda Indonesia, JM I Wayan Gelgel, perwakilan organisasi Hindu Pinandita Sanggraha Nusantara; Budi S. Tanuwibowo, yang merupakan Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Nasrin Astani, aktivis dialog lintas agama aliran kepercayaan Baha'i dan lain-lain. (as)