Tokyo Bersiap Hadapi Gempa Besar
18 Januari 2013Lima bulan pasca guncangan berkekuatan 9 di skala Richter yang menyebabkan tsunami dan menghancurkan sebagian kawasan timur laut Jepang, pada Agustus 2011 lembaga nasional Tokyo Earthquake Research Institute mempublikasikan sebuah hasil penelitian yang menguatirkan.
Penelitian itu menunjukkan bahwa gempa pada 11 Maret 2011 itu telah menyebabkan tekanan besar pada pertemuan lempengan tektonik yang berada di bawah Tokyo. Tekanan ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan bergeraknya lempengen-lempengan itu secara simultan pada dua titik fokal atau lebih. Menurut lembaga penelitian itu, ini bisa menyebabkan gempa berkekuatan 7,3 di skala Richter.
Meskipun kekuatannya berada di bawah kekuatan gempa Maret 2011 lalu, dampaknya pada kawasan bangunan yang berpenduduk jauh lebih padat ini diperkirakan akan jauh lebih buruk.
"Kami perkirakan sekitar 10 ribu orang akan tewas dan kerugian ekonominya bisa mencapai 1 trilyun dollar”, ungkap Naoshi Hirata, salah seorang peneliti di lembaga itu. Perkiraan ini terhitung rendah mengingat bahwa lebih 19 ribu orang meninggal dunia akibat gempa dan tsunami Maret 2011.
"Bahkan sebelum bencana Maret itu, kami sudah memprediksi bahwa dalam 30 tahun mendatang ada 70% peluang terjadinya gempa hebat di kawasan Tokyo”, jelas Hirata, yang juga anggota Komite Riset Gempa Jepang.
"Ini tingkat kemungkinan yang sangat tinggi dan secara efektif berarti akan terjadi bencana besar-besaran di kawasan ini, Meskipun kita tidak bisa memastikan kapan tepatnya akan terjadi.”
'Bersiap-siap dan siaga'
"Kami hanya bisa mengatakan, bahwa setiap orang, perusahaan, sekolah serta pemerintah nasional dan lokal harus bersiap-siap dan siaga”, tambah Hirata.
Peringatan itu didengar. Akhir Desember, para pemilik property di kawasan bisnis utama Tokyo yang meliputi Otemachi, Marunouchi dan Yurakucho mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas manajemen bencana yang memiliki perlengkapan media, akomodasi darurat, listrik dan ruangan hangat di mana orang bisa sementara berlindung ketika terjadi gempa besar atau bencana lainnya.
"Kami telah mengambil sejumlah langkah baru untuk menangani bencana alam, meskipun sebelumnya kami juga punya rencana penanganan bencana,” begitu dikatakan Ryuichiro Funo, jurubicara Mitsubishi Estate Co. kepada DW.
Perusahaan ini memiliki 35 gedung perkantoran besar di distrik Marunouchi, sekitar 230,000 orang bekerja di sana. “Sebelum 11 Maret di gudang kami telah ada persediaan makanan, air, selimut dan perlengkapan darurat untuk menghadapi bencana, tapi sejak itu jumlahnya sudah kami tingkatkan.” Jelas Funo. "Kami juga telah memastikan bahwa gedung2 kami bisa tahan bila terjadi gempa besar, dan kini telah menambah sistem monitoring komputer yang bisa menemukan kerusakan fisik pada struktur bangunan ini.”
Generator listrik
Mitsubishi Estate juga merencanakan pembangunan sejumlah gedung baru di daerah itu, dan berkat pengalaman yang dimiliki, akan memasang generator listrik darurat yang memiliki kapasitas operasi 72 jam. Saat ini, system back-up listriknya hanya bisa beroperasi 48 jam.”
Sejumlah gedung lain memiliki fasilitas penyulingan air minum dan pintu-pintu tahan air yang dapat membendung menyusup masuknya air dan banjir. Mitsubishi Estate juga menggunakan jaringan optik fiber yang resisten terhadap pergerakan seismik guna menjaga hubungan komunikasi dan tengah mengimplementasi sistim manajemen bencana yang bisa memobilisasi sekitar 200 orang dengan berbagai kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan pasca bencana.
Langkah-langkah serupa sedang direncanakan banyak orang di ibukota Jepang itu. Pemerintah Metropolitan Tokyo merencanakan penggunaan generator di 60 taman dan kuburan di seputar kota. Untuk kawasan Adachi Ward, sistim ini akan diuji coba dalam beberapa tahun mendatang.
Operator kereta cepat Tokaido Shinkansen juga mengumumkan telah mengembangkan kereta yang bisa cepat berhenti. Central Japan Railway Co. mengatakan bahwa model kereta N700A yang akan mulai digunakan bulan Februari, bisa berhenti total dalam waktu yang sangat singkat, apabila terjadi gempabumi.
Rumah 'Mengapung'
Pemerintah Jepang tengah menggodok sejumlah persyaratan baru bagi pemilik dan pengelola gedung perkantoran, termasuk rumah sakit dan sekolah, untuk memeriksa ketahanan gempa. Sementara sebuah perusahaan meluncurkan produk pelindung gedung, berupa pelambung besar yang berisi udara supaya gedung itu bisa lentur “mengambang” ketika terjadi gempa.
Produk Air Danshin Systems ini mengaktifkan sebuah kompresor udara bila mencatat adanya getaran gempa. Dalam satu detik, udara itu melalui katup pengontrol mengisi pelambung yang ditempatkan di bawah gedung. Kemudian gedung itu akan terangkat setinggi 3 cm dari fondasinya selama gempa berlangsung, sehingga terlindung dari kerusakan.
Kumpulan pencakar langit yang terlihat dari Menara Tokyo, seperti Minato Ward dan Japan Technology juga telah menginstalasi fasilitas anti gempa itu. Bila sensor sistem pelindung senilai 3 juta yen itu menangkap bahwa tremor berhenti, maka udara juga akan pelan-pelan keluar dan pelambung itu mengempes.
Bencana dua tahun lalu telah mengubah sikap semua orang, juga warga biasa. Latihan siaga gempa banyak yang sudah diubah. Sebelum Maret 11, guru-guru mengingatkan muridnya untuk tidak berlari, tidak mendorong dan jangan berbicara. Kini ada tambahannya, Jangan kembali ke tempat kejadian.
Jumlah orang yang selamat dari gulungan gelombang tsunami kecil, hanya untuk tewas dalam gelombang yang lebih besar ketika kembali ke rumahnya, tidak akan diketahui secara persis. Tapi, inipun pelajaran yang terpaksa dimengerti lewat jalan yang berat, yakni dari pengalaman.