Hampir semua parameter atau faktor penyebab banjir ada di kejadian banjir Jakarta di awal tahun 2020. Tercatat intensitas atau curah hujan masuk kategori ekstrem (>300 mm/hari), terdapat air kiriman dari Bogor, daya serap (infiltrasi) tidak terlalu bagus, daya alir (run-off) sangat besar, wadah tampungan air (sungai, danau, waduk, kolam retensi dan drainase) kurang kapasitas tampungnya sehingga luber, ditambah lagi banyak terjadi sedimentasi dan sampah yang dibuang ke sungai yang mempersempit kapasitas tampungan tersebut.
Land subsidence atau penurunan tanah juga cukup masif di Jakarta sehingga di sebagian wilayahnya terbentuk cekungan banjir dan sebagian wilayah Jakarta (20%) berada di bawah laut. Ketika wilayahnya ada di bawah laut maka sistem pompa harus dibangun dan dijalankan dengan baik. Ada indikasi sistem pompa tidak beroperasi secara optimal.
Dengan melihat fakta di atas maka solusi banjir di Jakarta tidak bisa hanya menggunakan satu atau dua pendekatan saja. Ketika ada yang melakukan upaya modifikasi cuaca, tingkat keberhasilannya jauh lebih rendah dari tingkat kegagalannya, terlebih jika hanya itu saja bentuk upayanya.
Merehabilitasi area resapan di hilir termasuk di hulu dengan reboisasi dan bio pori belum tentu juga dapat berhasil karena daerah perkotaan biasanya sudah jenuh air (tanah sudah terkompaksi mendekati maksimal).
Naturalisasi dan normalisasi tidak cukup!
Program naturalisasi sungai yang dibuat tanpa memperhatikan program lainnya sepertinya tidak akan berhasil. Program normalisasi sungai yang merupakan pendekatan paling efektif pun apabila tidak disinergikan dengan upaya lainnya maka keberhasilannya tidak akan optimal.
Tidak buang sampah ke sungai adalah budaya hebat, namun ketika semua masyarakat telah berbudaya hebat tersebut, apabila hanya itu yang dilakukan, maka sinergi dengan upaya lain tentunya akan jauh lebih baik lagi.
Definisi banjir itu sendiri apabila dinarasikan secara sederhana yaitu: air hujan akan sebagian terserap ke dalam tanah (infiltrasi), kemudian sebagian akan mengalir (run-off) dan sebagian kecil mungkin menguap. Air yang mengalir akan ditampung oleh wadah-wadah air seperti sungai, danau, waduk, kolam retensi, drainase dan lain-lain, ketika tidak tertampung lalu luber, maka terjadilah luapan yang disebut banjir. Nah itulah narasi banjir secara sederhana.
Kembali lagi ke upaya solusi banjir di Jakarta maka penanganan banjir mau tidak mau harus melakukan 3 (tiga) sinergi yaitu pendekatan rekayasa (normalisasi sungai, membangun waduk, sistem pompa, kolam retensi dan lain-lain) seiring dengan pendekatan yang lebih alamiah (reboisasi dan konservasi daerah penyangga, naturalisasi sungai, biopori dan lain-lain), dan satu pendekatan lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu pendekatan budaya (tidak membuang sampah ke sungai).
Apakah akan terjadi lagi banjir serupa apabila kita abai terhadap upaya solusi?
Secara yakin kita tidak dapat melaksanakan salah satu saja upaya penanganan dengan mengabaikan penanganan lainnya, apabila ingin solusi yang lebih tepat. Ketiga sinergi di atas apabila kita rangkum dalam suatu langkah-langkah terstruktur upaya solusi banjir di Jakarta adalah sebagai berikut:
Pertama-tama, melakukan monitoring dan early warning intensitas atau curah hujan, menyiapkan wadah-wadah penampungan air dengan optimal, memperbaiki kembali infiltrasi, mengurangi run-off, mengurangi laju sedimentasi, mengurangi atau menghentikan land subsidence, membangun tanggul dan sistem pompa yang baik, membangun sistem peringatan dini banjir (Flood Early Warning System) dan membangun budaya.
Apakah akan terjadi lagi banjir serupa apabila kita abai terhadap upaya solusi? Mungkin saja dengan fakta terkait kondisi faktor-faktor penyebab banjir yang telah diuraikan di atas. Puncak musim hujan masih berlangsung di bulan Februari hingga Maret. Mudah-mudah intensitas atau curah hujan tidak terkonsentrasi dalam satu hari saja, namun terurai di beberapa hari misalnya.
Fakta menarik menunjukkan bahwa potensi kejadian cuaca ekstrem akan lebih sering karena proses kesetimbangan alam khususnya atmosfer telah terganggu akibat ulah manusia. Sebagai contoh untuk wilayah Indonesia lazimnya dikenal musim kemarau dan musim hujan yang waktu kejadiannya seimbang per enam bulan apabila tidak ada intervensi alam oleh ulah negatif manusia. Namun demikian saat ini faktanya tidak lagi seperti itu, akibat dari perbuatan manusia telah menimbulkan efek rumah kaca, menyebabkan global warming dan global climate change, sehingga banyak terjadi cyclon, musim hujan lebih singkat namun amplitudo tinggi, ditambah efek La Nina El Nino dan lain-lain.
Banjir bukanlah sekedar bencana alam, tetapi ada peran ulah manusianya juga di situ. Menghilangkan banjir tidaklah mungkin, namun meminimalisir kejadian banjir bukanlah hal yang tidak mungkin. Sekali lagi pendekatan alamiah, rekayasa dan juga budaya harus disinergikan dan dilaksanakan secara optimal.
Penulis: Heri Andreas, pengajar dan Peneliti Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Penasihat Bandung Mitigasi Hub (BMH)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.