Uni Eropa Waspadai Kembalinya Batu Bara di Vietnam
28 Mei 2024Gelombang panas di Vietnam pada bulan Mei dan Juni tahun 2023 lalu memaksakan pemadaman listrik berskala besar di wilayah utara.
Buntutnya, pabrik-pabrik perusahaan teknologi terbesar di dunia, termasuk raksasa teknologi Korea Selatan Samsung, harus berhenti berproduksi selama beberapa pekan. Menurut pemerintah Vietnam, pemadaman menyebabkan kerugian ekonomi sebesar USD1,4 miliar, atau sekitar 0,3% dari Produk Domestik Bruto, PDB.
Namun kerugian terbesar bukan ditanggung korporasi. Insiden itu menorehkan cela pada reputasi Vietnam sebagai pusat manufaktur di Asia Tenggara.
Vietnam berhasil memetik manfaat terbesar dari tren global demi menjauhkan rantai suplai dari Cina. Fenomena ini meruak sejak perang dagang yang digencarkan bekas Presiden AS Donald Trump dan pemerintah di Beijing pada 2018 lalu.
Jaminan kemudahan investasi mendorong sejumlah perusahaan teknologi untuk datang berbondong. Produsen chip Intel, misalnya, membangun pabrik pengujian dan perakitan terbesar di Ho Chi Minh City.
Adapun Samsung Electronics, Foxconn dan produsen lensa Jepang, Canon, juga telah memindahkan sebagian produksinya ke Vietnam.
Kembali ke batu bara
Kesuksesan Vietnam didapat melalui persaingan sengit dengan negara lain di Asia Tenggara, terutama Thailand dan Malaysia yang selama ini merupakan sentra teknologi di Asia Tenggara.
Menurut data Bank Dunia, tantangan terbesar Vietnam dalam menarik minat produsen microchip kelas atas adalah keterbatasan infrastruktur dan tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan negara lain di kawasan.
Pemerintah Hanoi sebabnya beralih kembali ke batu bara untuk menghindari pemadaman listrik tahun ini. Ketersediaan energi merupakan syarat utama untuk industri semikonduktor, karena berpresisi tinggi dan sangat sensitif terhadap gangguan listrik.
Pada bulan Maret, pemerintah memberikan jaminan kepada perusahaan multinasional bahwa tidak akan ada lagi pemadaman listrik pada tahun ini.
Pada kondisi normal, pembangkit listrik tenaga batu bara hanya mencakup sepertiga dari total kapasitas pembangkit listrik nasional. Namun menurut data dari perusahaan listrik negara, EVN, batu bara mewakili sekitar 67 persen dari total produksi listrik dalam beberapa pekan terakhir.
Impor batu bara, terutama dari Indonesia, telah meningkat sebesar 68 persen dalam empat bulan pertama tahun ini, menurut laporan media-media nasional Vietnam.
Penambangan di dalam negeri juga digenjot. Vinacomin, perusahaan batu bara terbesar di Vietnam, mengklaim penjualan antara bulan Januari dan April meningkat sekitar 14 persen dibandingkan tahun lalu.
Namun upaya tersebut diyakini belum akan mampu menjamin ketersediaan energi, mengingat maraknya gelombang panas, yang makin sering melanda sejak bulan Januari.
Reuters melaporkan, pemerintah di Hanoi telah meminta raksasa teknologi Taiwan Foxconn, yang memproduksi komputer dan smartphone untuk Apple, untuk secara sukarela mengurangi penggunaan listrik sebesar 30 persen di pabrik perakitan di utara. Permintaan serupa dilayangkan ke perusahaan multinasional lain.
Tertundanya transisi hijau
Kebijakan Vietnam menambah produksi listrik dengan batu bara berpotensi membuat gamang Uni Eropa, yang selama ini sangat aktif membantu Hanoi mempercepat transisi menuju energi ramah lingkungan.
Pada tahun 2022, UE dan kelompok G7 menyetujui Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan JETP, senilai USD15 miliar dengan Vietnam. Bank Investasi Eropa juga berkomitmen kuat untuk membiayai agenda hijau di negeri komunis tersebut.
Selain itu, Vietnam juga mendanai proyek energi terbarukan di luar negeri untuk mengimpor energi. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Angin Monsoon berkapasitas 600 megawatt di Laos, misalnya, merupakan proyek terbesar di Asia Tenggara,
Rencananya, mulai tahun depan taman pembangkit angin di selatan Laos itu kelak akan memasok energi ke Vietnam selama 25 tahun. Setidaknya 10 proyek pembangkit listrik tenaga angin atau surya yang sedang dibangun di Laos merupakan buah investasi Vietnam.
Menurut rencana, Vietnam akan mengurangi penggunaan batu bara hingga seperlima dari total pasokan energi, turun dari 30 persen pada tahun 2020.
Sebagai asas keadilan, Vietnam diizinkan menambah produksi emisi dari batu bara sebayak setengahnya pada tahun 2030. Pada saat itu, emisi di Vietnam akan mencapai puncaknya, sebelum menurun seiring dekarbonisasi, menurut laporan lembaga Jerman Heinrich Böll Stiftung.
Le Hong Hiep, peneliti senior di ISEAS - Yusof Ishak Institute di Singapura, tidak melihat kembalinya batu bara sebagai hambatan besar bagi hubungan Vietnam dengan Eropa.
"Batu bara merupakan solusi sementara untuk mengatasi potensi kekurangan listrik yang mungkin muncul selama musim panas,” kata dia. Karena betapapun juga, pemadaman listrik akan berdampak merugikan perusahaan Eropa.
"UE memahami tantangan jangka pendek yang dihadapi Vietnam dan tidak akan kecewa dengan pendekatan Hanoi dalam menyelesaikan masalah ini.”
Namun, ada gelombang keraguan di Eropa atas komitmen Vietnam terhadap Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan JETP.
Menurut sebuah laporan rahasia pemerintah Inggris yang bocor ke publik, Kementerian Lingkungan Hidup di Hanoi "lemah secara politik,” ketika Kementerian Energi, Keuangan dan Perencanaan rajin membangun "hambatan secara presisten,” dan "keterlambatan” dalam mengurangi pengunaan batu bara.
Di sisi lain, laporan dari Inggris juga mencatat bahwa agenda hijau mendapat dukungan dari Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh. Dia dikenal mewakili "elemen progresif” di Hanoi yang memahami bahwa Vietnam harus menarik investasi luar untuk sektor energi ramah lingkungan.
rzn/as