115 Juta Anak Laki-laki di Dunia Menikah di Bawah Umur
7 Juni 2019Republik Afrika Tengah memiliki prevalensi pengantin anak laki-laki tertinggi di dunia, dengan angka 28%, diikuti oleh Nikaragua sebesar 19% dan Madagaskar dengan 13%. Demikian temuan Badan urusan anak-anak UNICEF yang menganalisis pernikahan anak berdasarkan data populasi di 82 negara.
UNICEF mengatakan anak-anak yang menikah di usia dini cenderung meninggalkan bangku sekolah, memiliki peluang ekonomi yang terbatas, dan lebih rentan terhadap kekerasan dan kesehatan mental dibandingkan mereka yang menikah pada usia matang. "Pernikahan dini mencuri masa kecil," demikian dikatakan Direktur UNICEF Henrietta Fore dalam sebuah pernyataan, yang dirilis hari Jumat (07/06).
Ditambahkannya: "Pengantin anak-anak dipaksa untuk mengambil tanggung jawab orang dewasa dan mereka mungkin belum siap. Pernikahan dini membuat anak laki-laki lebih awal menjadi seorang ayah, dan dengan situasi itu menambah tekanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memotong masa pendidikan dan peluang kerja."
Risiko tambahan bagi anak perempuan
UNICEF mengatakan dengan temuan itu, berarti sekarang ada 765 juta anak laki-laki dan perempuan menikah di antara 2,2 miliar anak secara global, tetapi bagi anak perempuan akan ada tambahan risiko masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan di usia remaja.
Sekitar satu dari setiap lima perempuan berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum mereka berulang tahun ke-18.
Misiyah dari Institut KAPAL Perempuan menyebutkan: "Dari sisi kesehatan, perkawinan anak berpotensi menambah deretan angka kematian ibu melahirkan yang saat ini masih sangat tinggi. Kehamilan perempuan muda juga menyebabkan kekurangan gizi karena bayi membutuhkan serapan gizi sementara ibunya juga masih dalam masa pertumbuhan. Mereka akan berebut gizi yang ada dalam tubuh ibu, bisa kalah menang atau bahkan keduanya sama-sama serba kekurangan. Lalu apa artinya program kesehatan jika kita terus mereproduksi generasi dan keluarga-keluarga yang tidak sehat. Jangan biarkan "anak-anak mempunyai anak”.
Mencegah pernikahan anak
Di Afghanistan, praktik serupa masih kerap terjadi. Freshta, korban pernikahan anak di Afghanistan menceritakan pengalamannya saat dipaksa kawin: "Saat saya berusia 13 tahun, ayah saya memaksa saya menikahi putra seorang pria kaya yang membayar uang kepada ayah saya. Putranya berusia 25 tahun. Kami berdua tidak setuju dengan pernikahan ini. Akibat perbedaan usia, budaya, status sosial dan kondisi ekonomi , setelah satu tahun menikah kami bercerai dan suami saya meninggalkan negara itu. Saya ingin kembali ke keluarga saya, tetapi ayah saya yang adalah orang tradisional, tidak membiarkan saya. Katanya hanya mayatmu yang harus keluar dari rumah suamimu. ”
Ia pun dilempar ke luar rumah oleh mertua dan terkatung-katung. Kasus itu diserahkan ke pengadilan keluarga dan mereka mengirimnya melalui menteri urusan perempuan ke salah satu rumah persembunyian di Kabul. ”Saya tinggal di sini selama hampir delapan tahun. Selama periode ini saya menyelesaikan sekolah saya dan sekarang saya belajar hukum di universitas. Masalah dan tantangan yang saya miliki memberi saya kekuatan untuk mencapai tujuan saya. Saya ingin membela hak-hak orang yang dikorbankan seperti saya."
Jika semua perempuan menyelesaikan sekolah tingkat menengah, maka lebih dari 50 juta pernikahan anak dapat dicegah pada tahun 2030, demikian laporan badan Save the Children.
PBB menandaskan semua negara harus mengakhiri persoalan perkawinan anak pada tahun 2030, sebagaimana disepakati dalam tujuan pembangunan global.
Hampir semua negara membatasi usia pernikahan minimum 18 tahun, tetapi anak-anak masih dapat menikah secara resmi di tempat-tempat seperti Amerika Serikat misalnya, jika mereka memiliki izin dari orang tua atau melalui upacara keagamaan, demikian menurut kelompok riset data World Policy Analysis Center.
ap/as (unicef/rtr)