Warga Palestina Khawatir atas Kembalinya Netanyahu
12 November 2022Perasaan dan situasi normal telah kembali dirasakan di Nablus, sebuah kotaPalestina di pusat Tepi Barat yang kini diduduki Israel. Toko-toko telah dibuka kembali dan para pedagang di kios buah-buahan kembali berjualan.
Pada pertengahan Oktober, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengunci kota ini selama hampir tiga minggu untuk mencari militan Palestina yang menyergap dan menembak mati seorang tentara Israel di pemukiman terdekat.
Di sebuah toko buku milik keluarga yang terletak di pintu masuk Kota Tua, warga Palestina bernama Yousef Kandakji menggambarkan minggu-minggu terakhir itu sebagai keadaan yang "sangat sulit."
"Dua pintu masuk utama Nablus ditutup, terkadang tentara mengizinkan Anda masuk tapi tidak boleh keluar atau sebaliknya," kata Yousef Kandakji. "(Langkah) ini mematikan semua pergerakan di dalam dan di luar kota."
Pasukan Israel meningkatkan serangan di Tepi Barat dalam beberapa bulan terakhir untuk melawan apa yang digambarkan oleh para pejabat Israel sebagai ancaman terorisme yang berkembang.
Sejak Maret, warga Arab Israel dan Palestina melakukan serangkaian serangan yang menewaskan sedikitnya 16 warga Israel dan dua orang asing di Israel, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain itu, setidaknya empat warga Israel - dua di antara mereka adalah tentara - dilaporkan tewas di Yerusalem timur dan Tepi Barat dalam beberapa pekan terakhir.
Sementara di sisi lain, sepanjang tahun ini pasukan Israel telah membunuh lebih dari 100 warga Palestina, termasuk anak-anak, di Tepi Barat yang diduduki. Demikian menurut Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Tor Wennesland, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Oktober 2022.
Kekerasan oleh para pemukim Israel terhadap warga Palestina juga meningkat, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA). PBB juga mengatakan bahwa tahun ini berpotensi menjadi yang paling mematikan bagi warga Palestina sejak 2005.
Warga khawatirkan aliansi Netanyahu dan Ben-Gvir
Pada akhir Oktober, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol membuat pernyataan bersama, mengatakan "ketegangan yang sedang berlangsung dan peningkatan jumlah korban di kedua belah pihak di wilayah pendudukan Palestina sangat mengkhawatirkan."
Sementara itu, kemungkinan Benjamin Netanyahu yang baru saja memenangkan mayoritas dalam pemilu untuk menggabungkan aliansi ultrakanan, Zionisme Agama, dalam pemerintahan koalisi telah membuat warga Palestina khawatir.
"Netanyahu tidak benar-benar menginginkan perdamaian sama sekali. Dia hanya menginginkan kehancuran, kita semua tahu dia dan bencana yang bisa ia bawa kepada rakyat Palestina," ujar Yousef Kandakji.
"Dan sekarang dengan faksi yang lebih ekstremis, kami juga mengenal Ben-Gvir dengan sangat baik dari sepak terjangnya di Yerusalem," kata pemuda Palestina itu. Yang ia maksud adalah Itamar Ben-Gvir, salah satu pemimpin aliansi Religius Zionis. "Dia telah membuat banyak ketegangan."
Warga Palestina lainnya juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. "Ben-Gvir tidak menyerukan sesuatu yang baik," kata Ayat Bustami, perempuan muda Palestina yang saat itu tengah berbelanja di Kota Tua. Pembeli lain, Randa Jaish, menambahkan bahwa situasinya "semakin suram setiap hari."
"Tidak ada mitra untuk perdamaian"
Perdana Menteri Palestina, Mohammed Shtayyeh, mengatakan "hasil pemilu menegaskan bahwa kami tidak memiliki mitra di Israel untuk perdamaian." Dia meminta masyarakat internasional untuk "memberikan perlindungan bagi rakyat kami dari kebijakan agresif Israel setelah bangkitnya partai rasis ke tampuk kekuasaan."
Dengan semakin kuatnya sayap ultrakanan yang menginginkan perluasan pemukiman hingga, akhirnya, aneksasi Tepi Barat, harapan pembicaraan damai tampaknya kian suram bagi warga Palestina. Pembicaraan langsung terakhir antara pejabat Israel dan Palestina terjadi tahun 2014 di bawah naungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry.
"Masalahnya adalah, kita tidak melihat bahwa publik Israel bersedia untuk memilih pemerintah yang berkeinginan menangani masalah inti, yaitu pendudukan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur," kata analis politik Sam Bahour di Ramallah.
Sejumlah resolusi PBB mengklasifikasikan permukiman Israel di Tepi Barat, yang direbut dan diduduki Israel pada tahun 1967 setelah Perang Enam Hari, sebagai ilegal menurut hukum internasional. Mereka mengkotak-kotakkan Tepi Barat menjadi kota-kota terpencil dan membuat prospek negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan menjadi tidak mungkin.
Kekhawatiran di Yerusalem timur
Hampir setiap Jumat sore selama lebih dari satu dekade belakangan, sekelompok kecil aktivis sayap kiri Israel dan Palestina memprotes permukiman di wilayah Sheikh Jarrah di Yerusalem timur. Kali ini, di seberang jalan terlihat beberapa pengunjuk rasa sayap kanan mengibarkan bendera Israel dan poster Itamar Ben-Gvir. Petugas kepolisian memisahkan kedua kelompok yang berseberangan ini.
Beberapa aktivis Israel masih belum bisa benar-benar percaya dengan hasil pemilu kemarin. "Fakta bahwa orang seperti Ben-Gvir dapat memiliki 14 mandat di parlemen dengan pemikirannya yang mengerikan, rasis, hitam dan putih, ... itu mengerikan," kata aktivis Israel, Ada Bilu.
Itamar Ben-Gvir mengatakan bahwa ia ingin menjadi menteri keamanan publik di pemerintahan mendatang. Ia mendukung pemukiman di Sheikh Jarrah di mana warga Palestina dan kalangan nasionalis Israel sering bentrok.
"Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Fatima Salem yang rumah keluarganya terancam oleh perintah penggusuran yang kini dibekukan sementara. Fatima khawatir bahwa pemerintah Israel berikutnya dapat lebih mengerahkan para pemukim.
Sejak 2009, organisasi pemukim telah menguasai empat properti Palestina di lingkungan itu dan sekitar 75 keluarga terancam penggusuran, menurut organisasi nirlaba Israel Ir Amim. Para pemukim mengklaim tanah itu milik penduduk Yahudi sebelum Yordania merebut Yerusalem Timur dalam perang tahun 1948.
Pada Mei 2021, potensi penggusuran beberapa keluarga menjadi salah satu faktor yang memicu pertempuran antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza.
Warga lain bernama Jawad Siyam telah bergabung dengan demonstrasi dari Silwan, sebuah area di selatan Kota Tua Yerusalem. Bagian dari rumah keluarganya juga diambil alih oleh pemukim setelah kasus pengadilan yang berlarut-larut.
"Orang Israel ada di sayap kanan, dan sedikit yang tersisa dari sayap kiri Israel kini tidak lagi memiliki suara," kata Siyam. "Sebenarnya ini akan jadi lebih buruk, tetapi sekali lagi, seberapa buruk lagi yang bisa terjadi?" ae/hp