Kata-kata yang Tak Pernah Binasa
22 Agustus 2016Agustus 2016, Wiji Thukul berulangtahun ke-53. Ingatan saya melayang pada momentum Agustus, 1995, ketika sekujut negari tengah gegap-gempita merayakan 50 Tahun Indonesia Emas, Thukul membuat panggung acara 50 Tahun Indonesia Emas di depan rumahnya, dimana ia dirikan Sanggar Suka Banjir.
Ada pentas drama, nyanyi, baca puisi dan lomba menggambar anak-anak. Tiba-tiba serombongan tentara datang mengepung rumahnya. Panggung sederhana itu pun diobrak-abrik. Karya cukil kayu dan hasil gambar anak-anak dirampas paksa. Thukul tak terima, ia menolak dibawa paksa. Ia melawan sambil terus membaca puisi. Kendati, akhirnya tubuh cekingnya diringkus dan diseret ke kantor polisi.
Peristiwa itu terjadi lebihd ari dua dekade silam. Agustus 2016, ada selarik kabar gembira. Istirahatlah Kata-kata, film yang memotret penggalan hidup Wiji Thukul diputar dalam forum Locarno Internasional Film Festival, Swiss.
Sajaknya, hanya berisi dua larik kalimat, yang dibacakan dalam film ini: „kemerdekaan adalah nasi, dimakan jadi tai,“ ditulis dan dibacakan pada acara kemerdekaan di kampungnya pada Agustus 1982.
Masih di bulan Agustus, tanggal 30 merupakan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Peringatan ini ditujukan untuk mengingatkan publik akan nasib orang-orang yang ditahan dan dihilangkan secara paksa. Ya, Thukul-lah salah seorang di antaranya, yang hilang menjelang reformasi 1998.
Melakukan perubahan
Saya dibekap haru menyaksikan foto-foto pemutaran film tersebut di panggung festival film di Locarno, Swiss. Yulia Evina Bhara, sang produser mengisahkan bagaimana tepuk tangan panjang membahana usai film diputar di hadapan sekitar 500 orang. “Film ini dibuat agar kami dan generasi muda Indonesia belajar tentang sejarah, bahwa demokrasi diperjuangkan oleh banyak orang dan salah satunya adalah Wiji Thukul.” tuturnya.
Tentu ini merupakan sebuah ikhtiar yang tepat. Di tengah upaya penyelesaian kasus yang tak juga beranjak maju setelah lebih 18 tahun, perlu semakin banyak cara untuk menolak lupa. Lewat sosok Wiji Thukul, adalah tepat untuk mengantarkan anak-anak muda membaca ulang sejarah negerinya. Karena, harus diakui bahwa karya-karya puisi Thukul ibarat penanda zaman. Membaca bait-bait puisinya adalah membaca narasi kegigihan anak-anak muda pada zamannya, yang terus bergerak untuk melakukan perubahan.
Setelah Chairil Anwar, sepertinya kita tak mendengar lagi penyair rakyat yang puisinya begitu dikenal di segala lapisan. Pasca penyair Lekra seperti Agam Wispi dan S. Anantaguna, kita tidak mendengar lagi puisi yang berbicara dengan sangat lugas tentang kesengsaraan rakyat, disertai dengan ajakan untuk melawan ketidakadilan. Ada puisi-puisi WS Rendra, namun rasanya tidak sampai dibaca oleh kaum buruh dan menjadi mantra dalam setiap aksi turun ke jalan sebagaimana pekik puisi Thukul: Hanya ada satu kata, lawan!
18 tahun sudah reformasi terjadi. Soeharto sudah tumbang. Dwi Fungsi ABRI dicabut. Partai politik bermunculan. Kebebasan bicara dan berorganisasi berkembang jauh lebih baik. Demokrasi berhasil direbut, dengan menumbangkan sejumlah martir yang tersebar dari Aceh, Timur Leste hingga Papua, para korban yang tewas dalam kerusuhan, hingga hilang dalam penculikan. Thukul adalah simbol dari betapa mahal harga yang harus dibayar dari perjuangan merebut demokrasi.
Si gila baca nan berani menentang penindasan
“Kata-kata tak mengubah realitas, tapi mempertajam realitas!” demikian ia memaknai kata-kata dalam puisinya. Thukul memang sosok manusia unik. Ia orisinil, cerdas, dan blak-blakan. Thukul sangat gila membaca, dari buku-buku loakan, hingga membaca lembar kehidupan masyarakat di seputarnya. Ia tak hanya berpuisi. Ia mengorganisir buruh dan petani. Ia juga aktif berorganisasi.
Ketika banyak seniman koleganya masih gamang untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul berseru: seniman adalah korban dari sistem yang antidemokrasi, untuk itu seniman harus ikut merebut kemerdekaannya sendiri. Thukul tak jeri kendati ditangkap dan dihajar senapan berkali-kali.
Tak pernah kembali
Ketika meledak peristiwa 27 Juli 1996 dan partai yang ikut didirikannya, PRD, dibubarkan paksa dan semua anggotanya menjadi buronan, Thukul pun berpindah-pindah kota untuk menyelamatkan diri. Dari lokasi persembunyian ia masih menulis: ‘Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa!' Ia kemudian merapat lagi dalam organisasi, bekerja kembali dalam kondisi politik yang sangat represif, hingga kemudian hilang tak tentu rimba hingga hari ini.
Berjarak belasan tahun semenjak ia dihilangkan, suara Thukul masih terus bergaung. Puisi-puisinya semakin berkibar. Bertebaran di media sosial. Dibacakan di banyak panggung. Ditafsir dan didiskusikan dalam berbagai forum. Anak-anak muda membaca kembali sajak-sajaknya, digenapi dengan musikalisasi. Mereka juga membuat film-film pendek tentang sosok Thukul. Trio folk Dialog Dini Hari melantunkan salah satu puisi Thukul: Ucapkan Kata-Katamu. Kelompok musik Musikimia menyisipkan dua puisi Sajak Suara dan Peringatan dalam lagunya. Tak lupa, puisi Bunga dan Tembok yang dinyanyikan oleh Fajar Merah, putra bungsu Thukul.
Wajahnya, dengan rambut ikal dan mata sebelah kiri diperban lantaran kena hantam senapan, tercetak dalam berbagai poster. Dijadikan mural di tembok-tembok. Ia ditulis dalam banyak cerita. Nama dan karyanya didiskusikan di banyak forum. Ia tiba-tiba menjelma sebagai penyair idola. Kendati anak-anak muda hanya mengenal nama, karya dan wajahnya dalam poster-poster, tetap saja, Thukul menjadi magma. Thukul mulai membuat puisi-puisi protes dan terlibat aktif dalam perjuangan politik sejak usia muda. Ia pun dihilangkan paksa dalam usia menginjak 35 tahun. Ia pantas menjadi simbol perjuangan anak muda.
Ikhtiar anak-anak muda menggaungkan kembali suara Wiji Thukul layak diacungi jempol. Thukul adalah pintu untuk mengenali babak sejarah Indonesia, dimana kebebasan berbicara yang diperoleh hari ini bukan diperoleh dengan jalan yang mudah, melainkan buah dari proses panjang dan berdarah, yang memakan banyak korban.
Apa relevansi Thukul dengan kondisi saat ini?
Banyak. Thukul mewariskan keberanian. Situasi saat itu setelah puluhan tahun rakyat dibungkam, membutuhkan api keberanian untuk mendobrak. Puisi Thukul menggerakkan keberanian itu. Dia mendobrak kesadaran orang untuk berani melawan. Thukul mengajarkan konsistensi. Dia pernah menolak undangan untuk membaca puisi dalam acara HUT ABRI, ia membalas undangan itu dengan surat resmi. Ia katakan: “Saya tidak mungkin membaca puisi di tempat di mana kawan-kawan saya dilarang.”
Jika ia berada di antara kita saat ini, saya yakin ia akan semakin banyak menulis puisi perlawanan. Ia akan menggugat kekerasan aparat terhadap kawan-kawan Papua. Ia akan berdiri membela ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng yang tak lelah memperjuangkan kelestarian tanahnya dari keserakahan korporasi. Ia akan berteriak menuntut keadilan bagi kawan-kawannya yang hilang. Ia tak akan lelah menagih Presiden Jokowi, yang ketika kampanye Pilpres 2014 mengatakan : “Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas. Masa sekian lama belum jelas yang 13 orang hilang itu….”
Tetap hidup di hati kita
Sosok Thukul telah menghilang, tapi bara api pada kata-katanya tak kunjung padam. Lewat film ini pula, setidaknya mengingatkan kita agar tidak pernah lupa. Pikiran dan kegelisahan Thukul masih relevan hingga hari ini. Artinya, perjuangan belum selesai. Belum saatnya berpangku tangan menikmati bunga demokrasi, ketika keadilan dan kesejahteraan rakyat yang gigih ia perjuangkan belum sepenuhnya tercapai. Ketika kasus penghilangan paksa yang masih menyisakan 13 nama yang hilang belum juga dituntaskan.
Selamat ulangtahun Wiji Thukul. Berbahagialah, dimanapun engkau berada!
Penulis: Lilik HS. adalah pegiat Indonesia untuk Kemanusiaan.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.