Percepat Perubahan Peraturan Guna Akhiri Pernikahan Anak
20 Agustus 2019Indonesia dinilai harus mengubah hukumnya guna mengakhiri praktik pernikahan anak di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini. Indonesia tergolong di antara negara dengan rekor buruk terkait praktik perkawinan anak di bawah umur. Tingginya jumlah pengantin anak perempuan menempatkan negara ini berada di jajaran sepuluh besar negara-negara dengan pengantin anak, demikian menurut sebuah grup kampanye bernama Girls Not Brides.
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu memutuskan untuk mengubah usia pernikahan minimum untuk anak perempuan, saat ini adalah 16 tahun. Ini adalah langkah yang banyak diapresiasi oleh pejuang hak asasi perempuan.
MK tidak menyatakan secara tepat berapa batas usia minimum dan memberikan waktu selama tiga tahun bagi para anggota dewan untuk memutuskan masalah ini.
Namun, Eva Sundari dari partai PDI Perjuangan mengatakan hingga kini belum terdapat banyak kemajuan.
"Mengapa tidak ada respon terkait masalah pernikahan anak? Seolah kita tidak peduli," ujar Eva.
Ia mendesak agar usia minimum pernikahan diubah menjadi 18 tahun dan sejauh ini telah mendapat dukungan dari 20 anggota parlemen dari sejumlah partai politik.
"Seperti hidup di neraka ketika seorang anak menikah dan harus melahirkan anak-anak," lanjutnya.
"Mereka kehilangan kebebasan, hak untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan. Ini membunuh impian mereka khususnya untuk anak-anak perempuan yang tidak dapat melanjutkan sekolah."
Para aktivis mengatakan hukum harus diubah karena dinilai mendiskriminasi perempuan, yang secara legal telah boleh menikah pada usia 16 tahun sedangkan usia legal untuk lelaki adalah 19 tahun.
Kemiskinan dan rendahnya pendidikan
Kemiskinan dan tradisi sering membuat keluarga menikahkan anak-anak mereka. Data dari badan PBB yang bergerak di bidang perlindungan anak, UNICEF Indonesia, menyebutkan setidaknya satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia dinikahkan sebelum berusia 18 tahun.
Unicef mengungkapkan sejumlah faktor yang meningkatkan risiko pernikahan anak seperti rumah tangga dengan tingkat pengeluaran rendah, tingkat pendidikan rendah dan berada di pedesaan.
"Anak perempuan dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran terendah berpeluang lima kali lebih besar untuk menikah sebelum berusia 18 tahun dibandingkan mereka yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran tertinggi," demikian ungkap pernyataan UNICEF Indonesia yang diterima Deutsche Welle, Selasa (20/08).
Sedangkan anak yang berada di pedesaan dan anak perempuan dari keluarga dengan tingkat pendidikan rendah sama-sama berpeluang tiga kali lebih besar untuk menikah di bawah umur.
Selain itu, perkawinan usia anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari Produk Domestik Bruto.
Kampanye Girls Not Brides sendiri mencatat di seluruh dunia terdapat 12 juta anak perempuan menjadi pengantin anak setiap tahunnya. Kondisi ini menempatkan mereka dalam situasi yang sangat berisiko untuk mengalami eksploitasi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan kematian saat persalinan.
ae/ts (Thomson Reuters Foundation, Unicef)