Faktor karisma agak sulit dijelaskan secara rasional, mengingat karisma adalah semacam “anugerah” yang tidak semua orang bisa memiliki.
Itu sebabnya publik masih bisa mengingat dengan baik sosok tipikal seperti M. Yusuf, Ali Moertopo, atau Benny Moerdani, karena mereka memiliki kekuatan figur yang karismanya mampu berpendar secara luas, tidak sebatas di lingkaran militer. Bahkan orang seperti Ali Moertopo ibarat pisau bermata dua, berprestasi bagus saat berdinas di bidang intelijen, juga meyakinkan saat menjadi figur publik.
Berdasar asumsi di atas, bila kemudian dihubungkan dengan wacana pergantian Panglima TNI, rasanya KSAD Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987) yang paling berpeluang untuk menjadi orang nomor satu di TNI. Ketika menyebut nama Andika, mungkin awalnya saya hanya berdasarkan intuisi, mengingat sudah cukup lama juga saya mengamati proses pergantian Panglima TNI, sejak masih bernama Pangab (Panglima ABRI) di masa lalu. Namun begitu, sesuatu yang awalnya intuitif, masih bisa kita lacak pula alasan rasionalnya.
Validasi organisasi dan jabatan
Darurat pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya, menjadikan ada kebutuhan melibatkan TNI, mengingat TNI memiliki kesiapan cukup dalam hal SDM dan infrastruktur. Untuk kepentingan mitigasi dan penanggulangan dampak pandemi, Andika kemudian ditetapkan sebagai Wakil Ketua Pelaksana Komite Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Dalam jabatan tambahan seperti itu (selain sebagai KSAD), dengan sendirinya Andika menjadi sering diberitakan, dan publik semakin familiar dengan namanya. Sorotan media yang lebih sering ke Andika, bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Andika merupakan calon terkuat untuk Panglima TNI berikutnya.
Dibanding KSAL dan KSAU, nama Andika memang lebih dikenal publik. Selain terbantu oleh peran media, Andika juga lebih lama menjabat sebagai kepala staf. Andika sudah hampir tiga tahun menjadi KSAD, sementara dua kepala staf yang lain belum genap setahun. Durasi jabatan yang lebih lama secara alamiah memberi nilai lebih bagi Andika.
Faktor lainnya yang mungkin lebih menentukan adalah keberhasilan Andika dalam negosiasi terkait pangkat dan jabatan di TNI. Pada periode kepemimpinan Andika telah terjadi terobosan signifikan, yakni adanya validasi organisasi (satuan) yang berdampak pada sejumlah jabatan dan pangkat. Sederhananya, Andika berhasil memberi solusi cepat bagi problem berlarut di TNI AD, yaitu surplus pati yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Problem surplus pati juga terjadi di matra lain, namun matra darat jelas lebih akut, mengingat jumlah perwiranya juga jauh lebih banyak dibanding matra lain. Pada titik ini peran Andika terlihat kental, negosiasi dan solusi yang semula diutamakan untuk matra darat, kemudian juga berdampak pada matra lain. Artinya, validasi organisasi dan jabatan juga menyentuh matra laut dan matra udara.
Posisi matra darat
Bulan Oktober lalu, telah terbit buku 75 Tahun TNI, sebuah karya gemilang tim peneliti CSIS dari generasi yang lebih baru. Terlepas dari kualitasnya yang memang luar biasa, buku tersebut kembali memberikan konfirmasi yang selama ini (mungkin) sudah menjadi pemikiran banyak pihak. Pertama, soal sumber ancaman terhadap (kedaulatan) NKRI selama 75 tahun merdeka. Kedua, soal strategi pertahanan nasional yang masih bertumpu pada kekuatan darat (land-base defense).
Secara kuantitatif disebutkan, ancaman selama ini lebih banyak berasal dari dalam negeri, yakni 72 persen. Itu sebabnya beban penugasannya menjadi lebih banyak ke matra darat. Sesuai dengan karakter ancaman, operasi keamanan dalam negeri selama ini lebih sering menerapkan taktik lawan gerilya (counter-insurgency). Sehingga untuk sementara alutsista modern milik AL dan AU belum perlu dilibatkan, mengingat medan operasinya berupa hutan belantara, sebagaimana yang sudah-sudah.
Pengadaan alutsista modern matra laut dan matra udara, lebih untuk kepentingan menangkal ancaman eksternal, dan itu pun sejatinya berupa “perang psikologis”, sebagai sinyal pada pihak luar bahwa kita tetap siaga. Walau pada akhirnya konflik skala besar tidak akan pernah terjadi. Kawasan Asia Tenggara sedang giat mengejar pertumbuhan ekonomi, sehingga sebuah peperangan berlarut sungguh di luar imajinasi para pemimpinnya.
Dihubungkan dengan model ancaman, dan doktrin pertahanan yang masih berat ke aspek darat, kiranya bisa menjadi argumentasi rasional, bahwa frekuensi KSAD untuk menjadi Panglima TNI pada akhirnya akan lebih tinggi dibanding KSAL atau KSAU, tentu tanpa melupakan prinsip rotasi. Oleh karenanya argumentasi yang muncul bukan semata-mata politis, namun ada faktor yang lebih strategis.
Penyeimbang istana
Berdasar fakta historis sejak republik berdiri, istana dan Mabes TNI merupakan dua entitas yang berbeda, walaupun secara konstitusional presiden adalah Panglima Tertinggi TNI. Dalam rezim yang begitu otoriter sekalipun di masa Orde Baru, figur Pangab seperti M. Yusuf (1978-1983) atau Benny Moerdani (1983-1988), dengan cara masing-masih masih bisa sedikit mengimbangi superioritas figur Soeharto.
Era yang lebih demokratis mengharuskan TNI untuk lebih banyak menahan diri. Namun karakter sebagai penyeimbang Istana dalam kondisi tertentu tetap bisa dijalankan. Seperti ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto baru-baru ini melakukan konsolidasi internal bersama sejumlah satuan operasional di jajaran TNI. Langkah cepat yang dilakukan Panglima TNI seperti ini adalah salah satu bentuk yang saya maksudkan sebagai penyeimbang Istana.
Bila ada yang beranggapan periode kedua rezim Jokowi sedikit melambat dalam merespons isu-isu panas seperti radikalisme dan separatisme, bisa jadi ada benarnya juga. Karena itu diperlukan kesiapan Mabes TNI dalam melapis istana, ketika istana sedikit abai pada isu krusial. Kelambanan istana hari ini adalah “sindroma periode kedua” pada setiap rezim di banyak tempat, yang terkesan menjadi lebih “santai” ketika tidak ada beban bertarung lagi dalam kontestasi berikutnya.
Kecepatan dalam merespons isu krusial, sangat layak dilanjutkan oleh Andika saat menjadi Panglima TNI nanti. Tentu Andika memiliki gaya sendiri, sebagaimana yang sudah-sudah, ketika setiap pemimpin selalu memiliki gaya masing-masing sebagai cara menghindar dari bayang-bayang dari pemimpin sebelumnya.
Seperti halnya Panglima TNI sekarang, Andika juga memiliki kebersamaan cukup panjang dengan Presiden Jokowi. Andika boleh disebut tumbuh bersama dengan Presiden Jokowi di Istana, ketika dirinya ditunjuk sebagai Komandan Paspampres, tak lama setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden (periode pertama). Bila tidak ada modal sosial sebesar ini, tentu agak sulit bagi Andika dalam bernegosiasi, terkait validasi organisasi, dan jabatan, sebagaimana sudah disebut sekilas di atas.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.