Tanggapan Warga Taiwan terhadap Invasi Ukraina
25 Februari 2022Taiwan, sebuah pulau yang dihuni 23 juta penduduk, hanya berjarak 160 kilometer di lepas pantai timur Cina. Negeri demokratis itu sejak lama diklaim oleh Beijing sebagai bagian kedaulatannya. Dan sejak beberapa tahun terakhir, Cina semakin agresif merundung jiran kecilnya itu.
Kendati begitu, warga Taiwan meyakini invasi Rusia di Ukraina tidak akan serta merta menginspirasi Beijing untuk bertindak.
"Saya kira situasi kami berbeda dengan Ukraina, entah itu dalam hal politik atau relasi antarnegara,” kata Ethan Lin, 40 tahun. "Cina banyak berkomunikasi dengan Taiwan di sejumlah area, jadi saya kira situasinya tidak segenting itu.”
Faktanya, selasa (23/2) lalu Komando Timur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melakukan latihan pendaratan di sebuah lokasi rahasia di Laut Cina Timur. Aksi tersebut menambah panjang deretan provokasi militer Cina terhadap Taiwan.
Taipei Jumat (25/2) ini mengumumkan rencana mengadopsi sanksi global terhadap Rusia. "Kita tidak bisa duduk di tepi sementara negara adidaya besar merundung tetangga yang kecil,” tulis Wang Ting-yu via Twitter. Dia adalah anggota parlemen dari Partai Demokratik Progresif yang menguasai pemerintahan Taiwan.
Cina dan Taiwan berpisah sejak pecahnya perang saudara pada 1949. Demi mengakui kedaulatan Beijing, Amerika Serikat memutus hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan pada 1979. Sebagai gantinya AS berkomitmen melindungi kemerdekaan Taiwan.
Perang urat-saraf
Sebab itu pula, keamanan Taiwan banyak bergantung dari Amerika Serikat. Washington terikat oleh konstitusi untuk memastikan Taiwan mendapat perlengkapan militer yang diperlukan untuk melawan Cina.
Berbeda dengan Ukraina, Taiwan adalah salah satu produsen semikonduktor terbesar di dunia dan sebabnya krusial bagi industri komputer atau otomotif. Keunggulan tersebut dinilai penting, terutama di tengah kelangkaan chip global yang mengganggu berbagai sektor ekonomi.
"Perekonomian dan teknologi Taiwan adalah faktor penting bagi Amerika Serikat. Mungkin AS akan menghargai Taiwan lebih besar, tapi kita harus melihat bagaimana konflik ini berkembang,” kata Kao-Cheng Wang Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Tamkang, Taiwan.
Presiden Cina, Xi Jinping, sebelumnya sudah menegaskan, akan mendahulukan "reunifikasi damai” antara kedua pihak. Penguasa di Beijing itu dinilai berbeda dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang gemar menggunakan opsi militer di negeri jiran, seperti dalam kasus Georgia.
"Xi Jinping lebih mungkin meningkatkan aktivitas militer, ketimbang memulai perang,” kata Wang.
Harian Cina, Global Times, yang berafiliasi pada Partai Komunis Cina, sebaliknya berusaha membandingkan kelompok separatis pro-Rusia di Donetsk dengan Taiwan. Namun pejabat pemerintah Cina cendrung lebih berhati-hati.
"Taiwan memang bukan Ukraina,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, pekan ini. Menurutnya Taiwan adalah bagian integral Cina, bukan negara berdaulat seperti Ukraina.
rzn/as (ap, rtr)