Dari Eropa Menuju Australia Tanpa Pesawat Terbang
17 Juli 2019Berapa lama waktu yang diperlukan untuk pergi dari Swiss menuju Australia? Bagi Lorenz Keyßer (23) dan Giulia Fontana (27), membutuhkan waktu perencanaan enam bulan, 200 jam di atas kereta, dan dua minggu bermalam di dalam kapal kargo. Dari mengunjungi Lapangan Merah di Moskow Rusia, mendaki Gunung Laoshan di Cina, hingga melintasi jalur Asia Tengah, menjadikan petualangan mereka sebagai suatu keistimewaan sekaligus menjadi penguji prinsip kehidupan Lorenz dan Giulia.
Pasangan ini tidak mengemudi kendaraan ataupun makan daging. Sampai tiga tahun yang lalu mereka memutuskan bahwa emisi gas buang pesawat adalah sebuah kesalahan. Di ETH Zurich, kampus tempat mereka mempelajari ilmu lingkungan, mereka menemukan fakta yang mengejutkan bahwa 60% emisi gas rumah kaca berasal dari perjalanan pesawat terbang.
Giulia mengunjungi keluarganya yang berada di Italia, begitu juga Lorenz yang mengunjungi keluarganya di Jerman, dengan menggunakan kereta. Ketika Lorenz berkuliah di Leeds University, Inggris, dia pindah menggunakan kereta dan Giulia mengunjunginya menggunakan cara yang sama. Mereka pun berpergian ke berbagai tempat tanpa menggunakan moda transportasi udara.
“Kami hanya berpergian di sekitar Eropa, melakukan pendakian, jadi itu bukanlah masalah sama sekali,” terang Giulia.
Namun ketika sahabat baik Giulia yang tinggal di Sydney memintanya untuk menjadi maid of honor (pendamping pernikahan-Red), Giulia pun dilanda dilema.
Petualangan mengesankan
Lantas pasangan ini merenungkan rencana perjalanan mereka dan memutuskan waktu yang tepat untuk berangkat. Mereka sadar, mereka akan pergi selama satu tahun penuh. Bagi Giulia ini berarti ia harus mencari pekerjaan baru di Australia, sementara Lorenz akan menempuh studinya dari jarak yang amat jauh.
Setelah mereka mempelajari rute kereta dan menemukan bahwa perjalanan bisa dilakukan dengan menumpang kapal kargo, Giulia pun yakin bisa menghadiri hari istimewa sahabat baiknya.
Lorenz mengatakan bahwa usaha mereka pun perlahan terlaksana: “Selama ini realisasinya memang cukup lambat, tapi semua yang direncanakan beberapa bulan terakhir akhirnya menjadi kenyataan.”
Mereka memulai perjalanan pada akhir bulan Juni. Terlebih dahulu Giulia berangkat dari Zurich menemui Lorenz yang ada di Berlin. Mereka meninggalkan Jerman melintasi Eropa menggunakan kereta – dari Berlin menuju Moskow via Plondaia dan Belarusia – hingga menuju Rusia, Mongolia, dan Cina. Dari Beijing mereka selanjutnya menuju Qingdao untuk menumpang sebuah kapal kargo menuju Brisbane, dimana mereka akhirnya sampai enam minggu setelahnya.
“Sepertinya momen yang tak terlupakan adalah ketika kami berada di kapal kargo,” imbuh Lorenz. “Kami berkenalan dengan para kru, para teknisi kapal mengajak kami berkeliling ruang mesin. Kami belajar bagaimana meneropong bintang dengan sekstan (alat navigasi - Red). Kami merayakan hari ulang tahun kami dengan mereka, memasak di dapur, dan bernyanyi banyak lagu karaoke.”
Giluia mengajari koki kapal membuat tiramisu, sementara Lorenz membuat salad kentang berdasarkan resep neneknya. Pada akhirnya para kru kapal pun mengunjungi mereka di Sydney. Momen tak terlupakan lainnya yaitu saat mereka berhasil melintasi Rusia di Irkutsk, Siberia, dimana mereka berjalan di sepanjang tepi Danau Baikal. “Hutannya begitu lebat dan indah, dipenuhi serangga dan kupu-kupu,” kata Lorenz.
Seperti halnya petualangan lainnya, mereka pun mendapatkan banyak pengalaman hidup. Contohnya saat mereka harus bertemu dengan sekelompok 20 orang tentara di dalam kereta.
“Mereka sangat ingin tahu opini kami tentang berbagai isu politik mengenai Rusia,” Lorenz menjelaskan. Bahkan para tentara tersebut memberikan kedua pasangan ini kopi dan cokelat.
Prinsip hidup vegetarian mereka juga membuat penduduk lokal terheran-heran. Mencoba memahami mereka, bahkan salah seorang koki sebuah restoran di Cina pun mengajak mereka ke dalam dapur dan meminta mereka melihat lemari es untuk memberi tahu bahan-bahan apa saja yang bisa mereka makan.
Semakin berkembang
Secara keseluruhan, biaya perjalanan yang dihabiskan pasangan ini berkisar 4.000 euro (Rp 64 juta) per orang, hampir seluruhnya dihabiskan untuk tiket perjalanan dan visa. Lorenz telah menghitung bahwa perjalanan mereka memproduksi 370 metrik kilo CO2 setiap orangnya, sementara merujuk ke laman Atmosfair, dengan menggunakan penerbangan kelas ekonomi dari Zurich ke Sydney akan menghasilkan 5,2 metrik ton CO2.
Tetapi untuk menjaga keluaran karbon mereka memerlukan kedisiplinan. “Ketika kami tiba di Brisbane, kapal kargonya berlabuh tepat di samping bandara,” ujar Lorenz. “Kami melihat banyak pesawat terbang mendarat setiap menit – bak pukulan telak ke wajah kami, dalam hati kami berkata, ‘kalian bisa melakukan semua ini kurang dari 24 jam'."
Sekarang, pasangan ini sedang bersiap untuk kembali mengulang perjalanan mereka. Perjalanan pulang mereka akan segera dimulai dengan menumpang kapal kargo dari Brisbane menuju Jepang, sebelum mereka menempuh rute yang berbeda melalui Cina dan Rusia.
Lorenz dan Giulia adalah dua dari 360 orang yang berkomitmen untuk berhenti atau membatasi penggunaan pesawat terbang selama dua tahun terakhir dengan mengkampanyekan gerakan No Fly Climate Sci. Dan masih banyak lainnya yang membuat keputusan serupa.
Sejak Greta Thunberg melakukan 32 jam perjalanan menggunakan kereta menuju Davos tahun lalu, perusahaan kereta api nasional Swedia telah menambah jadwal keberangkatan kereta mereka menjadi tiga kali sehari di trayek Stockholm-Copenhagen-Hamburg, dan perusahaan kereta Jerman, Deutsche Bahn (DB), untuk pertama kalinya menargetkan tahun ini sebanyak 150 juta penumpang menggunakan kereta lintas kota dan negara.
Keistimewaan dari pilihan sulit
Namun, Giulia dan Lorenz sadar betul perubahan ini tidak terjadi secara cukup cepat, dan ingin menyampaikan bahwa krisis iklim kini menuntut banyak pihak untuk berpikir ulang dalam menjalankan roda perekonomian.
“Walaupun tindakan individu itu penting, itu tidak akan cukup. Kita perlu perubahan secara sistemik,” papar Lorenz.
Mereka juga meyakini bahwa cara mereka berpergian merupakan suatau keistimewaan. Hanya segelintir orang yang bergelimang kemewahan yang memilih mencemari bumi dengan emisi gas buang pesawat - kurang dari 20% populasi global pernah naik pesawat – perjalanan Giulia dan Lorenz membuat mereka sadar betapa beruntungnya mereka, terlepas dari isu ras, kewarganegaraan, disabilitas, orientasi seksual, dan strata, mereka mampu berpergian secara bebas dan aman melintasi dunia, menembus batas negara satu demi satu.
Perjalan mereka mungkin dinilai bukan hal yang baru, tapi pasangan ini mengatakan percakapan yang mereka lakukan dengan sesama pelancong di sepanjang perjalanan, menunjukkan kepada mereka yang berhasil menjelajah dunia jadi semakin sadar akan dampak yang mereka alami. “Kami memang minoritas, sudah jelas, tapi banyak orang berpikir tentang cara kami berpergian,” pungkas Giulia. (rap/vlz)