1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Rencana Pengembangan Food Estate di Kalteng Terancam Gagal?

26 Juni 2020

Pemerintah akan mengembangkan food estate pada lahan seluas ratusan hektare di Kalimantan Tengah yang bertujuan sebagai lumbung pangan nasional. Namun, apakah rencana ini akan berhasil?

https://p.dw.com/p/3eOZG
Panen padi di persawahan di Jawa
Foto ilustrasi penyediaan panganFoto: picture-alliance/dpa/S.Gätke

Indonesia berencana untuk mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah pada lahan seluas 164.598 hektare (ha) untuk dijadikan sebagai lumbung pangan di masa depan. Konsep perkebunan besar ini akan mengintegrasikan antara tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan.

"Kita berbicara tentang perkebunan makanan yang tidak hanya memiliki beras dan jagung," kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri.

Pengembangan lahan food estate di Kalteng terdiri dari lahan intensifikasi seluas 85.456 ha dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut yang sebelumnya dikeringkan.

Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, rencana mengembangkan food estate ini sebelumnya pernah dilakukan namun hasilnya gagal total.

Kepada DW, Dwi Andreas mengungkapkan berbagai langkah yang telah dilakukan pemerintah dalam hal mengembangkan food estate sejak zaman masa pemerintahan Soeharto. Kala itu puluhan ribu transmigran didatangkan ke Pulau Kalimantan namun sebagian diantara mereka tidak tahan dan akhirnya kembali.

Indonesien |  Dwi Andreas Santosa
Dwi AndreasFoto: privat

Kemudian pada masa SBY rencana mengembangkan food estate muncul lagi. Lahan seluas 100 ribu ha di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat dipilih menjadi lokasi yang dinilai potensial. Namun rencana tersebut kembali gagal. Tidak berhenti di situ, pada masa awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo rencana food estate dengan pencetakan sawah di Merauke seluas 1,2 juta ha juga menemui kegagalan.

Dwi Andreas menjelaskan, memang ada beberapa wilayah yang memiliki potensi bisa berhasil, tapi tingkat keberhasilan tersebut relatif kecil dari luas total keseluruhan rencana yang ingin dikembangkan pemerintah.

‘’Kalau di Kalteng potensi gagalnya cukup tinggi, karena apa? Ketika kita mau mengembangkan suatu wilayah untuk pertanian pangan, ada empat persyaratan yang semuanya harus dipenuhi. Satu saja dari empat syarat tidak dipenuhi, jawabannya sudah pasti gagal,’’ ucapnya kepada DW melalui sambungan telepon.

Adapun empat persyaratan yang Dwi Andreas maksud ialah, kesesuaian atau kelayakan agroklimat dan tanah, kelayakan infrastruktur, teknologi, dan aspek sosial ekonomi.

‘’Keempat persyaratannya harus betul-betul dipenuhi sebelum suatu wilayah dikembangkan. Kalau satu saja tidak terpenuhi, apa lagi dua, tiga, empat-empatnya tidak dipenuhi semua, ya pasti gagal. Jawabannya pasti gagal,’’ tegas Dwi Andreas.

Menurutnya, program yang bisa dilakukan saat ini adalah intensifikasi, yang memang sudah sering dilakukan tetapi terkadang salah arah. Namun langkah intensifikasi dinilainya mampu meningkatkan produksi hingga 20-25%.

Adanya peringatan tentang potensi krisis pangan akibat wabah virus corona juga ditepisnya.

‘’Enggak, enggak, enggak, tidak ada krisis pangan. Bahkan bulan Mei lalu beberapa produk pangan jatuh semua kecuali yang proporsi impornya tinggi, gula yang meningkat cukup tinggi sampai Rp 18 ribu walaupun sekarang harganya jatuh lagi. Saya tidak mengkhawatirkan dan tidak percaya krisis pangan akan terjadi di Indonesia,’’ tambahnya. (ha/yf )