Dari sekitar 9,3 ribu orang yang berpartisipasi dalam polling (pollsters), sekitar 92 persen responden menyatakan "tidak setuju” kalau Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) yang kini "tersandera” di Arab Saudi itu kembali pulang ke Indonesia.
Hasil polling lain juga menunjukkan hanya sekitar 8 persen saja masyarakat yang merasa "kasihan” terhadap apa yang kini menimpa Rizieq.
Ada sejumlah alasan mendasar yang dikemukakan oleh para pollsters kenapa masyarakat luas menginginkan Rizieq Shihab tidak pulang ke Indonesia dan tetap di Arab Saudi. Tetapi alasan yang paling utama dan sering dikemukakan oleh mereka adalah masalah kedamaian, keamanan, ketenangan, ketenteraman, dan kenyamanan.
Menurut mereka, sejak ditinggal Rizieq, Indonesia menjadi lebih aman, tenang, damai, tenteram, dan nyaman. Oleh banyak responden polling, Rizieq dianggap sebagai "biang kerok” kegaduhan, kekerasan, ketidaknyamanan, rasisme, etnosentrisme, dan intoleransi.
Dari komentar-komentar mereka di Facebook saat menanggapi polling ini, sepertinya pollsters sangat gerah dan muak dengan ulah Rizieq Shihab selama ini yang sok moralis, sering demo, mengumbar makian dan hujatan, serta melakukan berbagai aksi kekerasan sehingga mereka merelakan Imam Besar FPI ini pergi dari Indonesia untuk selamanya.
Kasus-kasus yang menimpa Rizieq
Sejak setahun terakhir ini, Rizieq Shihab memang berada di Arab Saudi (tepatnya Mekkah). Ia kabur ke Saudi setelah sejumlah kasusnya dilaporkan ke pengadilan oleh beberapa pihak dan kemudian diproses oleh Polri.
Di antara deretan kasus yang menimpa Rizieq Shihab, antara lain, adalah pemlesetan "sampurasun” menjadi "campur racun” yang dianggap menghina tradisi dan kebudayaan urang Sunda. Kata "sampurasun” adalah ucapan salam khas masyarakat Sunda yang berarti "sampura ning ingsuh” atau "sempurnakan diri Anda”.
Jadi kata sampurasun ini mengandung makna filosofi yang dalam, yaitu untuk mengajak diri sendiri maupun orang lain yang disapa agar terus-menerus melakukan introspeksi dan penyempurnaan diri.
Maka begitu Rizieq memelesetkan kata sampurasun menjadi "campur racun”, tak pelak menimbulkan kontroversi dan kemarahan masyarakat Sunda.
Rizieq juga dituduh menghina Pancasila dan Bung Karno karena pernah mengatakan: "[Dalam] Pancasila Sukarno, ketuhanan ada di pantat” yang kemudian dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Ketua Umum PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri.
Rizieq dulu juga pernah terang-terangan menghina almarhum Gus Dur yang membuat publik NU meradang.
Di antara deretan kasus yang menimpa dirinya beberapa tahun terakhir ini, yang paling fenomenal dan menghebohkan jagat publik Indonesia (dan dunia) adalah kasus video dan "chat mesum” dengan Firza Husein.
Kasus ini menjadi fenomenal dan menghebohkan karena Rizieq dengan FPI-nya (yang ia dirikan pada bulan Agustus, 1998, dengan dukungan dari sejumlah elit politik dan militer yang loyal kepada Suharto yang waktu itu sudah menjadi mantan presiden) selama ini merepresentasikan diri sebagai "polisi moral” atau "penjaga moralitas yang bersih tak berdosa”. Tak pelak netizen pun ramai mencibirnya.
Dengan jargon "amar makruf nahi munkar” (memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar), mereka sering mengecam dan melakukan aksi-aksi protes terhadap sesuatu atau perbuatan yang mereka anggap atau kategorikan "munkar” dan "tidak bermoral” (immoral) serta melakukan penggerudugan tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang perbuatan munkar dan immoral itu seperti lokalisasi prostitusi, tempat perjudian, kedai minuman keras, dan sebagainya.
Bukan hanya itu saja, Rizieq dan FPI-nya juga sering melakukan tindakan yang dipandang menghina dan melecehkan kitab suci, tokoh panutan, sistem keimanan, ritual keagamaan, serta adat, tradisi, dan kebudayaan umat agama dan kepercayaan lain.
Setelah sekian lama tinggal di Arab Saudi yang awalnya dengan alasan menunaikan ibadah umroh, ia menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat Indonesia tentang "status izin tinggalnya”.
Para loyalis atau pendukung setianya berusaha sekuat tenaga untuk menutup rapat-rapat tentang dirinya dengan menyebarkan berbagai informasi palsu dan alasan yang dibuat-buat: dari mendapat undangan kehormatan Raja Salman sampai pemberian "visa unlimited” dari Kerajaan Arab Saudi. Belakangan baru ketahuan bahwa semua itu adalah bohong dan rekayasa belaka.
Elite Saudi memantau gerak-gerik Rizieq?
Yang valid adalah, berdasarkan informasi dari KBRI di Arab Saudi, Rizieq ke Saudi dengan menggunakan visa kunjungan bisnis yang sangat terbatas masa berlakunya dan kalau sudah expired harus diperpanjang di luar Saudi kalau ingin tetap tinggal di Saudi. Entah apa alasannya, Rizieq belakangan dikabarkan tidak memperpanjang visa lagi sehingga statusnya di Saudi dianggap ilegal dan konon dituduh melakukan pelanggaran izin tinggal dan keimigrasian.
Bukan hanya tuduhan pelanggaran izin tinggal saja, Rizieq belakangan juga tersandung kasus "bendera tauhid” yang mirip bendera Hizbut Tahrir. Saudi adalah salah satu negara yang mengharamkan Hizbut Tahrir dan kelompok teroris seperti ISIS dan lainnya.
Berbagai informasi dari "ring satu” menunjukkan kalau elite Saudi sebetulnya sudah mengetahui dan memantau gerak-gerik Rizieq, khususnya yang berkaitan dengan sikap intoleran dan tindakan radikal yang ia lakukan selama ini.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Kerajaan Saudi memang gencar memerangi terorisme dan radikalisme demi mewujudkan Saudi Vision 2030 yang mengusung kemodernan, kemajuan, keadaban, dan moderatisme. Maka, para ulama, klerik, dan khotib yang dianggap menyebarkan paham-paham dan pandangan-pandangan tentang terorisme, radikalisme, ekstremisme, dan intoleransi langsung "ditangani” oleh kerajaan.
Tentang bagaimana nasib Rizieq kelak tentu saja tidak ada yang tahu dengan pasti. Tetapi hasil polling diatas menarik untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah RI, apalagi Indonesia jelas tidak membutuhkan orang seperti Rizieq.
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.