Kritik Mochtar Lubis terhadap Manusia Indonesia tahun 1977 adalah sebuah kritik terhadap rezim. Respon dari bagaimana feodalisme digunakan untuk melanggengkan korupsi dan penindasan. Artinya, manusia Indonesia dalam pidato tersebut adalah sebuah kritik terhadap rezim melalui bukan kategori antropolog.
Pada tahun 2014 dalam Simposium Nasional di Yogyakarta, Presiden Jokowi mengutip isi pidato Mochtar Lubis yang menjelaskan 6 karakter manusia Indonesia yang munafik, tidak mau bertanggungjawab, berperilaku feodal, percaya pada takhyul, berbakat seni, dan lemah karakternya. Jokowi mengakui bahwa sifat-sifat manusia Indonesia yang dikemukakan Mochtar Lubis pada tahun 1977 ini masih relevan hingga saat ini dan dari kritik tersebut dia menggagas apa yang disebutnya Revolusi Mental yang berlandaskan etos kerja keras.
Membaca Rezim Melalui Kritik Budaya
Ketika Mochtar Lubis membacakan sebuah pidato kebudayaan pada 6 April tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki. Walau namanya pidato kebudayaan, isi dari pidato ini sangat politis. Deskripsi tentang sifat-sifat manusia yang dikemukakan bukan definisi antropologi yang dibuat para antropolog atau sosiolog melainkan sebuah kritik dari seorang nasionalis kepada bangsanya sendiri. Pada periode pembacaan pidato tersebut sedang berlangsung pemerintahan presiden Soeharto yang dikenal juga masa Orde Baru.
Ada dua faktor: perekonomian dan politik, di bawah Orde Baru di tahun 1970-an yang menciptakan sifat munafik bangsa Indonesia menjadi membudaya. Pertama dalam bidang ekonomi sedang terjadi penguatan dan melesat ekonomi Indonesia akibat oil boom yang yang diperoleh dari gonjang-ganjing pemerintahan di negara-negara pengekspor minyak Asia Barat. Hal ini berdampak pada lonjakan harga minyak yang dijual Indonesia dan perbaikan ekonomi khususnya kepada loyalis Soeharto. Kedua peristiwa Malari 1974 yang mengubah The Smiling General menjadi semakin represif dan anti-kritik. Akibat pertumbuhan ekonomi yang bersandar pada investasi Asing, Malari mengubah politik Soeharto menjadi lebih kejam terhadap pengkritik pemerintahan dan kepada surat kabar.
Naiknya ekonomi dan represifnya politik menghasilkan orang-orang dalam pilihan berpihak pada Soeharto atau bisnis dan nyawanya terancam. Orang-orang yang loyal pada pemerintahan Soeharto diganjar dengan kesejahteraan ekonomi turun temurun dan para pembangkang dihabisi. Demi bertahan hidup orang banyak memilih yang aman dan loyal sehingga istilah ABS atau Asal Bapak Senang yang kental dengan munafik dan mengalihkan tanggungjawab mulai dipraktikan dan menjadi budaya dalam lembaga dan institusi pemerintahan. Soeharto juga mendirikan kekuasaannya dengan falsafah dan ciri khas dirinya, dia selalu mencitrakan diri sebagai orang Jawa khas abangan dengan kepercayaan kejawen sembari merepresi kelompok Islam, feodal dengan mencitrakan negara adalah bapak dan meluaskan paham ibuisme, dianggap berbakat seni karena menjadikan seni sebagai definisi dari budaya dan menentukan ciri suku dan agama/kepercayaan menjadi kaku sehingga mudah untuk dikontrol dan yang terakhir lemah karakter, karena tidak berani melawan penindasan dan kesewenang-wenangan Soeharto terhadap Hak Asasi Manusia.
Tentu saja sebagai intelektual sosialis ia mengkritik neo-fasisme oleh Soeharto. Apalagi setelah pencabutan ijin terbit surat kabar miliknya, Indonesia Raya dan bagaimana orang-orang nampaknya bahu-membahu terlibat dalam kemunafikan demi melindungi diri sendiri dan enggan melawan kekuasaan represif buatan rezim ini. Pidato ini sesungguhnya adalah kritik terhadap rezim yang menghasilkan kualitas manusia yang rendah tidak berdaya saing juga tidak mampu berkolaborasi dan berkolektif untuk melawan. Pidato ini bukan sebuah pemaparan antropologis atau sosiologis, pidato ini adalah protes yang murni politis kepada rezim dengan melakukan kritik terhadap masyarakat yang membuat rezim tersebut langgeng dan lestari.
Kritik Budaya sebagai Kritik Politik
Apa perbedaan kritik Mochtar Lubis dan streotipe orang pribumi yang "malas” dan "percaya takhayul”? Pertama, streotipe orang pribumi malas ditelusuri adalah buatan kolonial untuk membandingkan etos kerja dan kemampuan akumulasi modal yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan Barat. Orang tanah jajahan selalu digambarkan pemalas, suka mabuk-mabukan dan tidak memiliki etos kerja karena para kolonial tidak mencoba memahami dan menguasai falsafah hidup dari budaya tradisional.
Kolonial Barat hadir dengan etos kerja dan akumulasi modal hasil dari pendidikan dan pembelajaran atas kapitalisme. Dalam alam pikir kapitalis, persaingan adalah kunci kehidupan dan menguasai alam diperlukan untuk bertahan hidup di alam yang keras. Cara pikir ini sangat kontras dalam alam pikir Melayu/Jawa yang tidak mengenal persaingan melainkan kolaborasi dalam harmoni, dan tidak mengutamakan akumulasi dan penguasaan terhadap alam karena alam adalah lingkungan untuk hidup berdampingan, bukan untuk dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Persoalan strotipe pribumi malas adalah persoalan budaya ekonomi dan sosiologis, beda dengan kritik Mochtar Lubis yang bersifat politis. Kritik politik terhadap budaya yang melanggengkan penindasan berlandaskan asumsi bahwa budaya sifatnya cair dan tidak statis. Orde Baru telah membuat budaya jadi kaku dengan dikotomi budaya nasional yang Jawa Sentris dan budaya adat terbatas pada rumah adat, tari-tarian dan pakaian tradisional. Lihat saja bagaimana Taman Mini Indonesia Indah dibangun dengan berlandaskan budaya nasional dan adat yang terbatas pada seni tari, lagu dan rumah tinggal. Sedangkan budaya sebagai prilaku yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus seperti Asal Bapak Senang (ABS) dilihat sebagai tindakan individual semata.
Hal ini yang dikritik oleh intelektual sekaliber Mochtar Lubis, sebagai wartawan dan sastrawan yang berhaluan sosialis. Dia menyadari bahwa budaya adalah sesuatu yang cair dan kekuasaan berpengaruh pada budaya, budaya tidak sekadar seni tari. ABS adalah budaya nasional bersama dengan menjadikan nasi sebagai makanan pokok seantero negeri. Kritik sifat-sifat manusia Indonesia dalam pidato tersebut bukanlah deskripsi antropologis ataupun streotipe ala kolonial tapi lebih pada bagaimana kewajiban seorang nasionalis untuk melawan rezim yang otoriter. Kritik ini disampaikan langsung kepada masyarakat bahwa budaya diciptakan oleh mereka sendiri demi melanggengkan kekuasaan yang menindas.
Penulis:
Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.