Antropolog Campbell Macknight menyebut bahwa teripang, sebuah jenis hewan laut yang berbentuk menyerupai timun dan bertekstur lunak, adalah industri modern pertama Australia; dalam artian, ia adalah komoditas ekspor pertama yang Australia miliki. Perniagaan teripang ini memulai kontak peradaban bagi orang-orang asli Australia, Aborigin, yang peradabannya cukup terisolasi selama berabad-abad, dengan pelaut-pelaut asal Makassar, Sulawesi, sebagian menyebutkan setidaknya sejak tahun 1500-an. Mereka mengambil teripang untuk dijual ke Cina, menjadikan Australia terhubung dengan jejaring perniagaan global saat itu.
Sampai ketika Macknight menerbitkan bukunya yang berjudul The Voyage to Marege (1976), kontak Makassar-Abogirin ini adalah episode sejarah yang belum banyak ditelusuri. Namun, minat penelitian terhadapnya tengah meningkat di Australia. Terakhir pada 2021, penggalian yang dilakukan di pesisir Kimberley, Australia Barat sebelah utara, memperkuat hipotesis bahwa kontak Makassar-Aborigin adalah persentuhan damai berupa pertukaran kebudayaan, teknologi, dan rasa respek. Bertolak belakang dengan interaksi destruktif antara mereka dengan orang-orang kulit putih setelahnya.
Bagi Indonesia, hal tersebut adalah penegasan eksistensi budaya, perdagangan, dan karakter maritim orang-orang nusantara. Dahulu, laut bagi mereka bukanlah pembatas, namun jalan besar yang bebas dilalui untuk berkomunikasi satu sama lain. Seperti orang-orang nusantara sebelum mereka kurang lebih 800-1000 tahun sebelumnya yang berlayar ke barat dan mendatangi, lalu menetap, di Madagaskar, Afrika, kisah pelayaran orang-orang Makassar ke Australia meninggalkan kesan baik yang dapat menjadi perekat persahabatan, melewati batasan-batasan negara, bagi orang-orang Indonesia dan Australia modern.
Hubungan Makassar Aborigin melesu akibat kolonialisme
Pakar-pakar menyebut perdagangan teripang Australia bermula dalam waktu yang berbeda-beda, yakni antara abad ke-16 dan ke-18. Perairan Indonesia saat itu adalah arena perdagangan global. Kapal-kapal laut asal India, Timur Tengah, Eropa, dan Cina sudah tak asing terlihat di pelabuhan-pelabuhan nusantara untuk melakukan aktivitas jual beli rempah-rempah dan komoditas lainnya. Teripang yang ternyata dihargai tinggi di Cina sebagai makanan dan obat-obatan, membuat pedagang-pedagang Makassar, berperan sebagai pedagang perantara, mulai rutin berlayar ke pantai-pantai pesisir utara Australia untuk mengumpulkannya.
Beberapa nama yang memimpin armada Makassar tersebut tercatat, seperti Pobasso (1803) dan Using Daeng Rangka (1883). Jejak kontak dagang yang telah diteliti secara intensif sejauh ini terdapat di Arnhem Land, tempat tinggal orang-orang Yolngu. Kapal-kapal Makassar berlabuh selama berbulan-bulan untuk memproses teripang yang telah dikumpulkan dan akhirnya berinteraksi dengan orang-orang Yolngu. Mereka lantas mengadopsi beberapa kata dari bahasa orang-orang Makassar, seperti "balanja” (belanja), "manik-manik”, "Balanda” (Belanda), dan lain-lain. Islam juga diperkenalkan, yang kemudian berperan dalam memperkaya kosmologi kepercayaan Yolngu.
Orang-orang Aborigin kontemporer, seperti suku Yolngu dan Kwini, menganggap interaksi relatif damai tersebut berkesan dan disampaikan turun-temurun oleh leluhur mereka. Karena itu mereka mendukung penggalian yang dilakukan peneliti-peneliti Australia di wilayah mereka. Mulai dari bekas tungku pembakaran, pecahan pot, koin, sampai lukisan di bebatuan yang menggambarkan keris, perahu-perahu Makassar, monyet di pohon (tak ada monyet di Australia, diperkirakan ia digambar oleh orang Aborigin yang menumpang armada teripang ke Makassar dan kemudian pulang ke Australia), telah ditemukan dan dipelajari.
Di Makassar, yang saat itu merupakan kota pelabuhan internasional, jejak sejarah Aborigin sempat diabadikan melalui foto pada 1873 oleh pengelana Italia, Odoardo Beccari. Disebutkan pula bahwa ada perempuan-perempuan Aborigin yang dibawa pergi ke Makassar, namun mereka tak pernah kembali. Entah bagaimana nasibnya saat itu. Ada kemungkinan mereka diperbudak mengingat Makassar di abad ke-19 masih dikenal sebagai sentra perbudakan. Pobasso dan Using tercatat menyebutkan bahwa armadanya kerap bertikai dengan penduduk setempat, sehingga tidak semua kontak Makassar-Aborigin tersebut nyatanya berakhir baik.
Interaksi Makassar-Abogirin ini mulai terganggu ketika orang-orang Eropa datang ke Australia. Inggris, yang menganggap dirinya sebagai penguasa, menerapkan tarif cukai dan lisensi bagi pedagang-pedagang teripang Makassar pada akhir abad ke-19. Using adalah salah satu dari sekian pedagang terakhir yang memegang lisensi tersebut, dan kebijakan ini membatasi kedatangan perahu-perahu Makassar ke Australia. Di masa Pobasso, tercatat bisa ada sekitar 1000 orang Makassar pencari teripang di satu waktu, lantas di masa Using, dengan pembatasannya, jumlahnya pasti telah berkurang sangat drastis.
Kebijakan Inggris ini menunjukkan karakter kolonialisme Barat yang kemudian merusak tatanan niaga perairan Indonesia-Australia: pembentukan garis-garis batas wilayah. Sebelumnya, para pedagang bebas melaut ke mana saja. Ketika orang-orang Eropa datang dengan senjatanya dan menaklukkan penguasa-penguasa setempat, mereka membatasi ruang berlayar pedagang-pedagang lokal. Belanda melakukannya di Indonesia. Di Australia, lesunya perdagangan teripang berarti hilangnya budaya maritim beserta jaringan globalnya negara-benua tersebut, yang lantas digantikan dengan peningkatan produksi komoditi ternak (sapi, domba) di daratan yang lebih disukai pemerintah kolonial Inggris.
Di bawah kolonialisme Inggris, orang-orang Aborigin kemudian memasuki masa tergelapnya. Mereka ditangkapi, diusir, dan dibunuh. Tanah-tanah mereka diduduki dan hak-hak hidup mereka tidak dianggap. Orang-orang Yolngu sampai saat ini masih mengingat ketika tanah mereka di Arnhem Land diserobot untuk dijadikan peternakan, dan bagaimana ratusan leluhur mereka dibantai (Pembantaian Mirki) oleh orang-orang kulit putih sekitar akhir abad ke-19. Hal ini menjadikan ingatan kolektif mereka terhadap orang-orang Makassar begitu berkesan: pencari teripang tidak menganggap dirinya superior dan berusaha menindas mereka.
Lantas, apakah pengaruh serpihan sejarah Makassar-Aborigin ini bagi orang-orang Indonesia dan Australia modern?
Laut untuk persahabatan, bukan pertengkaran
Di Australia, penelitian kontak Makassar-Aborigin ini kian mereduksi narasi-narasi sejarah kearoganan orang-orang kulit putih terhadap orang-orang Aborigin yang dianggapnya purba, tidak berbudaya, dan terisolasi dari dunia luar sehingga harus dibimbing untuk hidup modern melalui kolonialisme, yang justru menghancurkan gaya hidup asli mereka. Andaikan Inggris tidak mengintervensi, mungkin saja lebih banyak pedagang-pedagang Makassar yang akan datang, membangun pos dagang permanen seperti di Papua Barat, atau bahkan seterusnya bisa hidup bercampur baur dengan penduduk setempat seperti halnya di Madagaskar.
Sedangkan di Indonesia, topik ini belum banyak dibahas. Penelitian yang tersedia masih bertumpu pada hasil penelitian dari Australia sehingga Indonesia perlu mengimbanginya dengan melakukan penelitiannya sendiri. Sumber-sumber sejarah lokal, dan mungkin yang berbahasa Belanda, sudah waktunya untuk ditelusuri dan ditulis agar perspektif lebih lengkap pihak Makassar terhadap perdagangan teripang dan kontak mereka dengan orang-orang Aborigin saat itu dapat diketahui. Selain untuk merefleksikan kejayaan perdagangan orang-orang nusantara di masa lalu, juga untuk memperkaya historiografi maritim negara ini.
Dahulu teripang Australia dibawa pelaut-pelaut Indonesia dan dikonsumsi di Cina. Kini, Australia menjalin pakta pertahanan AUKUS bersama Inggris dan Amerika Serikat untuk menantang Cina di perairan Asia-Pasifik, dengan Indonesia sebagai penentang kerasnya. Teripang memang tak lagi menjadi hal yang menghubungkan ketiga wilayah tersebut, melainkan persenjataan nuklir. Namun, jika ada pelajaran yang bisa diambil dari teripang ini, maka itu adalah: seperti di masa silam, lautan seharusnya menjadi sarana penghubung antar ketiga peradaban tersebut secara damai, bukan sebagai alasan untuk menghasut pertengkaran.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis