PBB: Perbudakan Modern Masih Marak di Dunia
19 Agustus 2022Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Tomoya Obokata, mengatakan perbudakan tradisional, terutama terhadap etnis minoritas, masih didapati di Maurtania, Mali, dan Niger.
Dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB, Kamis (18/08), dia mengatakan perbudakan anak bisa ditemui dalam bentuk paling keji. "Di Asia dan Pasifik, Timur Tengah, Amerika, dan Eropa, antara empat sampai enam persen anak-anak dipaksa bekerja dan presentasenya lebih tinggi di Afrika (21,6 persen) dan angka tertinggi di Afrika sub-Sahara (23,9 persen),” kata Tomoya.
Menurutnya, etnis minoritas termasuk kelompok paling rentan terhadap perbudakan paksa. Fenomena ini terutama marak di Amerika Latin, terlebih di pedalaman Brasil dan hutan Amazon.
Di sana, "perbudakan berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk perambahan hutan dan penambangan ilegal,” dengan mayoritas korban berwarna kulit hitam dan berpendidikan rendah.
Sebaliknya di Cina, pihaknya menemukan banyaknya buruh etnis Uighur, Kazakh, dan minoritas lain yang "dipaksa bekerja di sektor pertanian atau manufaktur." Beijing juga dituduh menggalakkan transfer buruh yang melatih petani dan peternak di Tibet menjadi buruh rendahan.
Kebijakan tersebut, kata dia, berhasil menciptakan lapangan kerja. Namun, ia melibatkan praktik perbudakan, di mana buruh dipaksa bekerja dalam pengawasan ketat, kondisi yang buruk dan di bawah ancaman kekerasan.
Perbudakan modern: pernikahan paksa dan kekerasan seksual
Laporan tersebut juga mengutip dua jenis perbudakan modern lain, yakni pernikahan paksa dan perbudakan seksual.
Peningkatan jumlah kasus pernikahan paksa tercatat paling tajam pada minoritas Roma di tenggara Eropa. Di kawasan Balkan, separuh perempuan Roma yang berusia antara 20-24 tahun, dinikahkan sebelum menginjak usia 18. Adapun rata-rata nasional berkisar hanya 10 persen, imbuhnya.
Adapun di Inggris, fenomena pernikahan anak terutama marak di komunitas migran asal Pakistan, dan sebagain kecil pada komunitas Afganistan, Bangladesh, India, dan Somalia.
Di Tanduk Afrika, Boko Haram dilaporkan giat memaksa gadis dan perempuan Kristen untuk memeluk Islam untuk dinikahkan. Pada sebagia etnis minoritas di Nigeria, praktik pernikahan anak bahkan mencapai 74,9 persen pada etnis Kambari dan 73,8 persen pada etnis Fulfude.
Pernikahan paksa juga terjadi di Kongo, Kamboja, India, Kazakhstan, Sri Lanka, dan Vietnam. Sementara di Amerika Selatan, praktik tersebut tercatat lazim di Bolivia, Kolombia, Honduras, dan Panama.
Lonjakan kasus perbudakan seksual
Krisis kemanusiaan dan konflik di sejumlah tempat turut mendorong lonjakan kasus perbudakan seksual, kata Tomoya. Pada 2014, sebanyak 6.500 perempuan etnis Yazidi disandera kelompok teror Islamic State sebagai budak seks. Sebanyak 2.800 korban masih dinyatakan hilang hingga kini.
Di Etiopia, perempuan suku minoritas Tigray, Amhara, dan Afar, sering menjadi korban pemerkosaan, mutilasi seksual dan berbagai bentuk kekerasan seksual oleh pihak yang bertikai. Di utara Nigeria, Boko Haram terutama membidik perempuan nonmuslim untuk dijadikan budak seks.
Situasi pelik juga dihadapi perempuan etnis Rohingya di Myanmar. Mereka "menjadi korban kekerasan seksual sistematis oleh angkatan bersenjata, yang bisa dianggap kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan,” imbuhnya.
rzn/hp (AP, Reuters)