Pengamat: Tidak Banyak Perubahan di Koalisi Jokowi-Ma'ruf
19 April 2019Pengamat politik LIPI Muhamad Haripin mengatakan, koalisi parlemen pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf apabila terpilih sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 cukup solid. Namun tidak akan banyak yang dilakukan terkait perkembangan konservatisme dan isu Hak Asasi Manusia.
"Kalau saya melihatnya, berkaca dari perolehan hasil quick count saat ini tidak ada alasan yang mendesak untuk mengubah komposisi koalisi yang sekarang dari petahana; PDI-P, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP—PSI tidak lolos. Kelihatan dari perolehan suara partai sendiri, mereka tidak ada kebutuhan mendesak untuk mengubah itu," kata Muhamad Haripin ketika dihubungi Deutsche Welle (DW), Kamis (18/04).
Lebih lanjut ia mengatakan jika berkaca dari pemilu tahun 2014, sebetulnya koalisi petahana dulu tidak segemuk sekarang. Namun dalam konteks memperlancar agenda politik, petahana dinilai perlu merangkul atau berkoalisi dengan partai lain.
"Melihat quick count yang sekarang memang masih mayoritas. Karena itu kalau memang dengan komposisi demikian Jokowi di periode pertama bisa jalan dengan semua agendanya: infrastruktur, kebijakan kelautan, perikanan, pendidikan—tidak ada halangan di periode kedua.
Haripin selanjutnya mengatakan, saat ini semua pihak sedang menunggu efek ekor jas dari pemilu serentak pada Rabu (17/04) lalu. Efek ekor jas atau coat-tail effect adalah ketika perolehan suatu partai politik terangkat pada pemilu berkat pengaruh satu tokoh tertentu.
Contohnya pernah terjadi di Indonesia pada masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004, yang turut mengangkat nama Partai Demokrat, dan Jokowi Effect tahun 2014 yang mengangkat PDI-P.
Terkait independensi presiden, Haripin lebih lanjut mengatakan akan sama seperti periode pertama untuk tataran koalisi partai. Ini berarti Jokowi akan mengangkat menteri-menteri dari partai koalisinya sesuai dengan proposional hitungan seperti PDI-P mayoritas, Golkar ada, PKP ada.
"Intinya akan sama, tapi saat ini situasi politik kita dipengaruhi faktor politik ekstraparlementer, pilihan Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin, juga gerakan masyarakat Islam yang menguat," kata dia.
Oleh karena itu, di periode kedua ini Jokowi harus mengakomodasi aspirasi dari gerakan masyarakat, baik yang sifatnya ekstraparlementer seperti Nahdlatul Ulama atau organisasi masyarakat lain, atau juga yang berasal dari dalam partai.
Senada dengan Haripin, pengamat politik dari Populi Center, Afri Afrimadona mengatakan secara umum tidak akan terlalu banyak perubahan dibandingkan periode lalu.
"Yang agak meningkat sedikit justru ada di kekuatan Prabowo, misalnya PKS naik cukup tinggi. Jadi saya pikir kalau menyangkut kinerja secara umum tidak akan ada banyak perubahan. Karena selama ini tradisinya kekuatan koalisi-koalisi itu punya kemampuan melobi," kata Afri.
Bermain aman di isu agama dan HAM
Ketika ditanya tentang tren konservatisme yang kian berkembang di masyarakat, Afri mengatakan bahwa selama ini konservatisme hanya ada di level mobilisasi massa pendukung.
"Tetapi kalau bicara tentang level kebijakan, mereka (kaum konservatif) bagaimana pun harus negosiasi dengan kekuatan nasionalis, dan selama ini kebijakan-kebijakan publik diwarnai itu (nasionalis)," kata Afri kepada Deutsche Welle.
Namun isu sensitif tertentu bisa dipakai untuk menggerakkan massa seperti misalnya isu pendidikan agama. Oleh karena itu Afri memperkirakan, Jokowi lagi-lagi tetap akan bermain aman dalam mengambil kebijakan publik terkait isu semacam ini.
Muhammad Haripin menilai, isu agama makin berpengaruh sejak tahun ketiga pemerintahan Jokowi. Pada pemilu kali, Jokowi kalah lagi di Sumatera Barat dan Jawa Barat yang merupakan benteng konservatisme Islam di Indonesia.
"Oposisi juga akan, lagi-lagi, timbul di daerah itu. Sebagai presiden Jokowi harus bisa bermanuver atau menangkal atau mengakomodasi aspirasi mereka," ujar Haripin.
Pengamat politik Sementara itu, Afri Afrimadona mengatakan, selain isu agama Jokowi seharusnya bisa membawa perubahan besar di bidang HAM. Presiden Joko Widodo selama ini dikenal mengabaikan isu-isu terkait HAM sebagaimana sering dikritik kelompok Golongan Putih.
Perolehan suara versi hitung cepat untuk Jokowi yang dinilai cukup besar bila dibandingkan dengan pemilu 2014 lalu, seharusnya bisa membuat Jokowi melakukan terobosan besar di bidang HAM.
"Selama ini image Jokowi sebagai representasi masyarakat biasa dan rakyat kecil dianggap oleh para aktivis tidak sinkron dengan kebijakan-kebijakannya. Sehingga ini juga bisa jadi bahan evaluasi. Setiap kebijakan akan melahirkan orang yang diuntungkan dan dirugikan, dan harus ada yang dikorbankan. Paling tidak itu harapan kita, bahwa Presiden Jokowi bisa meninggalkan semacam catatan penting, sejarah, legacy penting bagi bangsa," kata Afri.
Wawancara untuk DW dilakukan oleh Geofani Anggasta.
ck/ae/hp