Protes Paling Berdarah di Myanmar Menewaskan 39 Orang
15 Maret 2021Aktivis Myanmar merencanakan lebih banyak unjuk rasa anti-kudeta pada hari ini Senin (15/03), sehari setelah setidaknya 39 orang menjadi korban meninggal dalam bentrokan dengan pasukan keamanan di pusat komersial Yangon.
Sedikitnya 22 pengunjuk rasa antikudeta tewas di pinggiran Hlaingthaya, Yangon pada Minggu (14/03). Sementara 16 pengunjuk rasa lainnya menjadi korban meninggal di tempat lain, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Insiden ini menjadikannya hari paling berdarah sejak kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Darurat militer diberlakukan di Hlaingthaya dan di distrik Shwepyitha di Yangon.
Kedutaan Besar Cina mengatakan banyak staf Cina yang terluka dan terperangkap dalam serangan pembakaran oleh penyerang tak dikenal di pabrik garmen di Hlaingthaya. Kedubes Cina meminta Myanmar untuk melindungi properti dan warga Cina.
Pihak-pihak antikudeta menilai Cina mendukung junta yang mengambil alih kekuasaan.
Media lokal Myanmar melaporkan saat asap membubung dari kawasan industri, pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di pinggiran kota yang merupakan rumah bagi para migran dari seluruh negeri.
"Mengerikan. Orang-orang ditembak di depan mata saya. Peristiwa itu tidak akan pernah hilang dari ingatan saya," kata seorang jurnalis foto yang tak ingin diketahui identitasnya saat meliput di tempat kejadian.
Televisi Myawadday yang dikelola militer mengatakan pasukan keamanan bertindak setelah empat pabrik garmen dan pabrik pupuk dibakar.
Seorang aktivis Myanmar Myat Thu mengatakan bahwa hari ini Senin (15/03) demonstran merencanakan protes di Mandalay. Sementara penduduk di Yangon mengatakan demonstrasi direncanakan di dua wilayah kota. Kekerasan juga pecah di wilayah sekitar Yangon saat protes berlangsung hingga Minggu (14/03) malam.
"Tiga orang meninggal dalam dekapan saya. Kami menyelamatkan sekitar 20 orang yang terluka tadi malam," kata Zizawah (32) seorang penduduk dan pengunjuk rasa di distrik Thingyunkyun di Yangon.
Warga lainnya, May Myat Noe (21), mengatakan ada tiga korban jiwa dan puluhan orang terluka di distrik Dagon Selatan.
"Pasukan keamanan menggunakan senapan mesin dan terus menembaki orang-orang," katanya.
Seorang juru bicara junta militer tidak merespon permintaan wawancara.
Bentrokan yang menewaskan demonstran ini menambah jumlah korban meninggal dari protes antikudeta menjadi 126 orang, kata AAPP. Sementara lebih dari 2.150 orang ditahan oleh militer pada hari Sabtu (13/03), dan lebih dari 300 orang telah dibebaskan.
Militer Myanmar dikecam berbagai pihak
Tom Andrews, penyelidik hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Myanmar, mengimbau negara-negara anggota untuk memotong pasokan uang tunai dan senjata ke militer.
"Patah hati/marah atas berita tentang jumlah terbanyak pengunjuk rasa yang dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dalam satu hari. Para pemimpin Junta tidak pantas memegang kekuasaan, mereka pantas berada di balik jeruji besi," katanya di Twitter.
Kedutaan Besar Cina menggambarkan situasinya "sangat parah" setelah terjadi serangan terhadap pabrik-pabrik di Myanmar yang didanai Cina.
Kedubes Cina mendesak otoritas Myanmar untuk "menghentikan semua tindakan kekerasan, menghukum para pelakunya sesuai dengan hukum dan memastikan keselamatan jiwa dan properti perusahaan dan personel Cina".
Belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas pembakaran pabrik.
Sentimen anti-Cina telah meningkat sejak kudeta militer yang berujung kekacauan di Myanmar. Demonstran antikudeta menilai Cina tak mengecam situasi ini dibandingkan dengan kecaman Barat.
Sebuah editorial di Global Times, yang diterbitkan oleh surat kabar resmi Partai Komunis Cina yang berkuasa, mengutuk kekerasan tersebut sebagai "tindakan biadab".
"Kami sangat mendesak pihak Myanmar untuk menghentikan kejahatan semacam ini, menghukum para pelakunya dan memberikan kompensasi kepada pabrik-pabrik Cina atas kerugian tersebut," katanya.
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar mengutuk kekerasan ini. Christine Schraner Burgener mengatakan dia "secara pribadi telah mendengar dari sumber di Myanmar tentang laporan pembunuhan yang memilukan, penganiayaan terhadap demonstran dan penyiksaan terhadap tahanan selama akhir pekan". Dia mengimbau masyarakat internasional untuk mendukung rakyat Myanmar dan aspirasi demokrasi mereka.
Sementara Inggris, mantan penguasa kolonial Myanmar, mengatakan terkejut dengan penggunaan kekuatan mematikan oleh pasukan keamanan terhadap orang-orang tak bersalah di Hlaingthaya dan di tempat lain.
"Kami menyerukan penghentian segera kekerasan ini dan rezim militer menyerahkan kembali kekuasaan kepada mereka yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Myanmar," kata Duta Besar Inggris Dan Chugg.
Sebelumnya, militer sudah berjanji akan menggelar pemilu baru, meskipun belum menetapkan tanggal hingga saat ini.
Aung San Suu Kyi menghadapi tuntutan pengadilan
Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan dijadwalkan kembali ke pengadilan pada hari ini Senin (15/03). Dia menghadapi setidaknya empat dakwaan, termasuk penggunaan radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar aturan protokol kesehatan terkait virus corona.
Jauh dari Hlaingthaya, sedikitnya 16 orang dilaporkan menjadi korban meninggal di tempat lain di Myanmar, termasuk di Mandalay dan Bago. Televisi pemerintah MRTV melaporkan seorang petugas polisi tewas karena luka di dada setelah terjadi konfrontasi dengan pengunjuk rasa. Dia adalah polisi kedua yang dilaporkan tewas dalam protes itu.
Kekerasan itu terjadi sehari setelah Mahn Win Khaing Than dan sebagian besar pejabat senior dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Aung San Suu Kyi, mengatakan bahwa pemerintah sipil akan memberikan hak legal kepada orang-orang untuk membela diri mereka di situasi ini.
pkp/rap (Reuters, AFP)