Buku "ALDERA Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993/1999" karya Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T. Wiratama dibuka dengan mengisahkan epos yang sering kali dibahas dalam berbagai literatur sosial-politik: pergulatan Blok Timur vs Blok Barat pasca Perang Dunia ke-II yang dimenangkan blok Barat.
Berkuasanya Soeharto kemudian dianggap sebagai pintu masuk Barat di Indonesia dengan menerapkan imperialisme gaya baru melalui investasi dan kebijakan proasing (senada kritik Sri Adi Sasono dan Arief Budiman), yang mengundang kritik masyarakat karena melanggengkan kronisme Soeharto.
Walau tidak dapat dinafikan, hal itu telah mendorong pertumbuhan ekonomi, di sisi lain turut memperburuk kesenjangan (diperkuat oleh makalah Booth, 2000), yang akhirnya turut diporak-porandakan krisis moneter yang bermula di pasar keuangan Thailand.
Pada titik ini, dalam mengawal agenda masyarakat era Orde Baru yang menjanjikan demokrasi, Aliansi Rakyat Demokrasi (ALDERA) hadir. ALDERA sejatinya merupakan wadah pergerakan kemahasiswaan yang berakar dari "gerakan bawah tanah" mahasiswa. Karena hadirnya peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pasca kerusuhan Malari (Lima Belas Januari) 1974 membuat sejumlah aktivitas kemahasiswaan terhambat.
Akibatnya, pergerakan kemahasiswaan terbatasi yang membuatnya terkelompok menjadi kelompok aksi, kelompok studi, dan kelompok pers mahasiswa. Pada era ini, embrio ALDERA dan generasi mahasiswa seangkatan Pius Lustrilanang lahir.
ALDERA dan kiprah Pius dalam pergerakan
Dalam buku ini dikisahkan bahwa cikal bakal dan lahirnya pergerakan ALDERA dapat ditelusuri dari terbentuknya Unit Studi Ilmu Kemasyarakatan (USIK) Universitas Parahyangan (Unpar) di Bandung. Pius—yang juga merupakan mahasiswa Unpar— disebut-sebut sebagai salah satu pendiri USIK (yang kelak alumninya membentuk ALDERA).
Berdirinya USIK, menurut penuturan para saksi sejarah, hadir dalam upaya membangun budaya kritis sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang dari waktu ke waktu memperkuat posisinya melalui peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan berpendapat dan menguntungkan pihak rezim yang berkuasa.
Pengekangan dan pembatasan demokrasi misalnya terwujud melalui serangkaian perombakan struktur politik, berupa: Pertama, pembatasan partai politik menjadi tiga partai saja (Partai Golongan Karya (Golkar) yang mewakili pemerintah beserta perangkatnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mewakili kelompok agamawan, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mewakili kelompok nasionalis), kedua, dwifungsi ABRI (menjaga keamanan dan ketertiban dan memegang kekuasaan dan mengatur negara), dan ketiga, fusi seluruh organisasi kemasyarakatan (sebagai upaya pembatasan dan kemudahan pengawasan).
Berbagai kebijakan tersebut bagai tikaman bagi masyarakat dan berbagai kelompok yang dulunya turut mendukung dan mengantar Soeharto naik tampuk kekuasaan karena dinilai pro kepada masyarakat. Terlebih, konsolidasi kekuatan Orde Baru tersebut diiringi dengan dilaksanakannya orientasi kebijakan makro yang membuka jalan bagi kepentingan pemodal asing yang memperlebar kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Walhasil, kebijakan proasing tersebut menyulut ketidakpuasan publik.
Sebagai antitesis, peristiwa-peristiwa politik itu makin memperkuat konsolidasi kelompok intelektual serta kaum miskin (kaum buruh dan tani) untuk bersatu. Mereka turut 'disodok' oleh para kalangan terdidik dan aktivis mahasiswa, baik yang masih berada di kampus (plus pendidik di kampus yang juga bergerak memperkaya wacana kritis melalui gerakan bawah tanah dan pejabat kampus yang turut melindungi aktivitas kritis tersebut), maupun di luar kampus, yang bergerak melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada titik inilah USIK lahir, yang kelak para alumninya secara resmi membentuk ALDERA pada tahun 1994, setelah sebelumnya beraksi sebagai komite aksi pada aksi di Kopo, yang mempertemukan aktivis se-Jabar yang menolak Soeharto sebagai calon tunggal pada pemilu berikutnya. Melalui berbagai aksi, termasuk aksi di depan Gedung DPR/MPR serta peristiwa Kudatuli, sepak terjang kelompok ini mulai tercium dan disoroti oleh aparat.
Soeharto: Senjakala Lembar Sejarah Demokrasi Indonesia
Sejatinya, lahirnya Pemerintah Orde Baru awalnya tampak mendatangkan angin segar. Hal ini karena adanya malaise ekonomi dan krisis social yang gagal ditangani Orde Lama dan membuat masyarakat mewanti-wantikan hadirnya kepemimpinan baru, yang kemudian dijawab oleh Orde Baru dengan dibentuknya Kabinet Ampera.
Ptrogramnya: 1) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; 2) Melaksanakan pemilihan umum; 3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional; 4) Melanjutkan perjuangan antikolonialisme dan antiimperialisme (Nekolim) dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Namun demikian, terlepas dari berbagai janji yang diutarakan, tampaknya Soeharto gagal dalam menjalankan sejumlah hal, di antaranya melaksanakan pemilihan umum dan melanjutkan perjuangan anti-Nekolim. Hal ini tampak dari kebijakan ekonomi proasing dan pembatasan partai melalui pemilu yang sarat rekayasa.
Padahal, postulat pemisahan kekuasaan antara yudikatif, legislatif dan eksekutif diperlukan agar dapat membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang dan menjadi penyeimbang berjalannya pemerintahan (Montesquieu). Lebih jauh, kesewenang-wenangan Soeharto kemudian menimbulkan rangkaian peristiwa politik seperti Peristiwa Malari (dibalas melalui NKK/BKK). Hal ini kemudian diikuti oleh berbagai protes sosial-ekonomi seperti aksi demonstrasi yang membela korban penggusuran Waduk Kedung Ombo dan kasus Kacapiring—penyerobotan tanah masyarakat untuk pembangunan mal—yang keduanya mengabaikan hak dan ganti rugi bagi masyarakat yang menjadi korban.
Berbagai aksi massa tersebut didukung oleh kritik media, termasuk kritikan keras surat kabar mingguan Mahasiswa Indonesia—yang awalnya mendukung Soeharto meraih tampuk kekuasaan, yang menerbitkan tulisan dengan judul "Tahun Ketidakpuasan (Year of Discontent)”.
Dalam upaya membungkam berbagai kritik publik dan mencegah meluasnya keresahan sosial, Soeharto membalasnya melalui pembredelan pers. Tempo, Sinar Harapan, Editor, hingga Detik menjadi korban pembredelan era Soeharto. Peristiwa itu menandai dan mempertegas senja kala demokrasi di Indonesia.
Permusuhan terbuka dan munculyna lini pertempuran baru antara Soeharto dan media "agaknya” dapat dikatakan bagai blessing in disguise bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan Soeharto yang menambah daftar musuh baru sejatinya mulai kehilangan dukungan media yang menjadi penyebar berita di kalangan masyarakat.
Karenanya, bermunculan kelompok baru yang melawan rezim Orde Baru. Puncaknya, krisis 1998 serta peristiwa penculikan Pius dan para aktivis lain, yang menjadi santapan media dan segera disebarkan ke dunia internasional. Ini semua turut menggerus puing-puing terakhir Orde Baru.
Yang berhasil pulang dan yang masih ditunggu pulang
Berbagai aksi pembungkaman melalui pembatasan kegiatan mahasiswa dan pembredelan media tampaknya belum cukup bagi Soeharto. Walhasil, strategi terakhir adalah dengan menculik para tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "kerikil dalam sepatu”.
Pius (bersama tujuh tokoh lainnya), yang telah lama masuk dalam daftar incaran aparat, akhirnya diculik pada Februari 1998. Pada hari itu, Pius tidak sendiri: Desmond Mahesa (kini menjabat sebagai anggota DPR-RI dari Partai Gerindra) juga turut diculik. Selain itu juga terdapat pentolan aktivis lainnya seperti Andi Arief (kini Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat), yang diculik pada 28 Maret tahun yang sama.
Gelagat kesewenang-wenangan Soeharto tersebut bagai meniup api dalam sekam. Rangkaian peristiwa penculikan berbagai tokoh aktivis, yang belakangan diiringi oleh krisis ekonomi, membuat media dan masyarakat kian gerah. Melalui tekanan media, tokoh lokal hingga lobi internasional, Pius—juga aktivis lainnya—dibebaskan setelah disekap selama dua bulan.
Sial bagi Orde Baru, pembebasan Pius ibarat pedang bermata dua. Hal ini dikarenakan selepas pembebasannya, Pius memberanikan diri—walau dalam tekanan psikologis—untuk membuka tabir penculikan aktivis oleh tim khusus yang dulunya dianggap hanya desas-desus belaka di hadapan Komnas HAM, bahkan sampai ke Kongres Amerika Serikat.
Tampilnya laporan Pius mulai pada Komnas HAM Indonesia hingga di hadapan Kongres AS sendiri akhirnya menyingkap fakta sebenarnya, bahwa Soeharto hanya membangun demokrasi semu di Indonesia, sekaligus menyiarkan kabar bahwa kondisi politik dan perekonomian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Peristiwa itu boleh dikatakan menjadi titik balik dukungan politik internasional terhadap Soeharto—atau mungkin jika tidak terlalu berlebihan, berkontribusi terhadap semakin eratnya simpul pergerakan dan memperkuat dorongan massa anti-Soeharto yang kemudian terkulminasi pada mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Sayangnya, menurut catatan Komnas HAM, masih ada 13 aktivis yang menjadi korban penculikan akibat kekritisannya terhadap pemerintah (termasuk Wiji Tukul). Tiga di antaranya—Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Soni—yang sempat dijumpai Pius Ketika masih dalam penjara, belum pulang hingga saat ini.
ALDERA: Memoar dan Pengingat bagi Pejuang Demokrasi
ALDERA sebagai organisasi politik dianggap unik karena merupakan pergerakan kemahasiswaan yang mencoba menemuramukan Kembali "demokrasi” di tengah rezim yang represif dan membungkam kebebasan yang diimpikan sejak berakhirnya Orde Lama dan dimulainya Orde Baru. Bahkan ALDERA disebut-sebut turut berkontribusi terhadap berdirinya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) —yang kelak bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Menariknya buku ini, jika buku pergerakan lain berupaya merekam jejak pergerakan kemahasiswaan dalam skala yang lebih luas dan ringkas, kisah pergerakan dalam buku ALDERA dibahas secara lebih rinci dan lebih khusus—mendalam, dengan menyoroti sumbangsih dan peran Pius sebagai tokoh sentral.
Namun buku ini bukannya tanpa kekuarangan. Di dalamnya masih ditemukan sejumlah hal yang tidak akurat, seperti: 1) Penulisan tanggal yang tidak konsisten (misalnya tanggal penangkapan Pius disebut pada tanggal 2 Februari, tapi pada halaman lainnya disebutkan pada tanggal 4 Februari); 2) Kalimat tidak lengkap/ (misalnya tidak dijelaskan mengapa Warouw diberikan amanat untuk mengembangkan PRD. Atas dasar apa pemberian mandat tersebut? Yang lebih penting, siapakah Warouw?); 3) Penggunaan tata bahasa sehari-hari/tidak baku yang tidak sesuai kaidah, dan sejumlah kekurangan minor lainnya.
Meski demikian, buku ini telah jadi bahan pembahasan secara mendalam dan sangat layak dibaca bagi para aktivis,pendukung dan pemerhati demokrasi, maupun berbagai pihak yang hendak mengupas-ulik sejarah demokrasi Indonesia di bawah Orde Baru, yang hampir seluruhnya dipenuhi nokta hitam dan kesewenang-wenangan.
Buku yang membahas dialektika lahirnya ALDERA dan nokta hitam dalam lembar sejarah Indonesia ini dapat menjadi pengingat, bagaimana daya para tokoh dan organisasi mengumpulkan kekuatan massa dalam merongrong rezim otoritarian, agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. (ap/hp)
Penulis: Andi Muhammad Zdavir, pemerhati politik, pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Studi Kebijakan Publik dan Tenaga Ahli DPRD Pemprov. Sulsel, sekarang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.