Ingin Bunuh Diri, Masalah Mental yang Sering Disepelekan
10 September 2024Peringatan: Artikel ini mungkin bisa mengganggu kenyamanan Anda, dan dapat memicu trauma.
Setiap tahunnya, 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Namun, nyatanya perbincangan tentang ini sering menjadi hal tabu.
Di akhir tahun 2017, Tia (bukan nama sebenarnya) merasa tak punya lagi semangat untuk hidup. Masalah keluarga dan hubungan dengan pasangan yang ia simpan sendirian membuatnya depresi. Namun, saat itu ia tak tahu sedang mengalami masalah mental. Baginya, ia baik-baik saja.
Hari demi hari, ia mulai tak mau makan, tidak bisa tidur, cemas, terus menangis hingga sesak napas. Temannya sempat menganjurkan untuk memeriksakan diri ke profesional sebab merasa ada yang tak beres dengan dirinya. Namun, Tia bergeming. Selain merasa malu jika ada yang tahu bahwa ia ke psikolog apalagi psikiater, dia masih merasa akan baik-baik saja.
Masuk IGD dua minggu sekali
Tak butuh waktu lama sampai depresi itu mulai mengganggu kesehatan fisiknya. Ia harus ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit setiap dua minggu sekali.
"Sampai pada akhirnya hal itu memengaruhi kesehatan fisik saya. Bisa setiap dua minggu sekali masuk ke IGD. Ketika seperti itu, dokter di IGD pun mengatakan bahwa ini bukan fisik yang harus diobati," cerita Tia.
Dokter di IGD pun memberikan rujukan ke psikolog. Ia merasa lelah dan rapuh.
"Aku sudah menyiapkan alat-alat untuk mengakhiri hidup. Aku pun tinggal sendirian, jadi (bila terjadi apa-apa) tidak akan ada yang tahu," ujar Tia.
Saat merasa mengakhiri hidup adalah jalan keluar terbaik, ia teringat orang tuanya.
"Tapi terlintas bayangan orang tua yang mengharapkan anaknya hidup lebih baik. Jadi ketika siap mengakhiri hidup dengan alat-alat (yang ada), aku terpikir orang tua," kenang Tia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Hampir setiap malam muncul keinginan untuk mengakhiri hidup. Tak bisa tidur sama sekali. Tingkat depresi yang berat membuat Tia dirujuk oleh psikolog ke psikiater. Ia diresepkan obat agar bisa tidur dan beraktivitas.
Ia pun menjalani terapi mulai tahun 2018, dan sembuh pada tahun 2021.
"Kenapa ketika (awalnya) ditawari teman pergi ke profesional saya tidak mau? Karena malu untuk cerita. Dan kadang merasa nanti dibilang ini orang aneh, merasa lain dari yang lain. Jadi malu dan tidak mau cerita," ujar Tia.
Dibilang hanya ingin cari perhatian
Gabriel Liementha juga mengalami depresi dan melakukan tindakan menyakiti diri sendiri atau self-harm sejak 2019. Beberapa kali ia pun ingin mengakhiri hidup.
"Akunya kalau sudah merasa stres banget, aku self-harm. Ada orang yang bilang kalau mungkin lihat, 'kamu pengen show doang ke orang-orang, lu mah cari perhatian doang.' Tapi buat kami yang merasakan, kenapa sih bisa self-harm? Karena ketika kita melakukan itu, entah bagaimana merasa 'nyaman' ketika kita menyakiti diri sendiri. Padahal sebenarnya itu kan tidak benar," cerita perempuan berusia 25 tahun yang akrab disapa Gaby, kepada DW Indonesia.
Gaby sempat mengalami depresi berat pada tahun 2019-2023 akibat masalah keluarga. Ia memutuskan untuk pergi ke psikolog dan psikiater pada tahun 2023.
"Karena kita saking terluka, kita merasa lebih baik kayaknya 'sudah kita menyakiti diri sendiri aja.' Karena dari situ muncul dopamin, yang sebenarnya itu sudah enggak beres. Dan sudah sering banget, berkali-kali saking sudah capek dengan hidup, pengen mengakhiri hidup saja," tambahnya.
Sejak menjalani terapi, Gaby diingatkan bahwa masih banyak hal yang ingin ia capai, dan masih banyak orang yang peduli dengannya. Pasangan serta sahabat dekatnya pun terus memberikan dukungan.
"Psikolog dan psikiater mengingatkan 'kamu masih punya orang yang peduli dan punya passion yang kamu pengenin. Cuma ini lagi tertutup saja. Pelan-pelan kita bantu buka ya," cerita Gaby.
Gangguan mental masih dianggap tabu
"Gangguan mental secara general berarti kita punya rasa tidak nyaman, stres, resah. Dan rasa tidak nyaman itu sudah sampai membuat kita kehilangan beberapa fungsi sehari-hari. Susah tidur, tidak konsentrasi, dan tidak bisa berinteraksi dengan baik," kata psikiater dr. Tjoeng Steven, kepada DW Indonesia.
Menurut Steven, masih ada stigma yang salah di masyarakat, yang menganggap bahwa gangguan mental sama dengan gila.
"Kita mengidentifikasi kalau gangguan jiwa itu sama dengan gila. Nah, ini sebuah keyakinan dasar yang salah. Asumsi total, ya. Karena tidak semua gangguan jiwa itu identik dengan gila. Gangguan jiwa itu bisa jadi sekadar kita susah tidur," ujar Steven.
Menurutnya, tak heran jika masih banyak orang yang enggan terbuka karena takut dihakimi.
"Gara-gara stigma ini, kita buat masalah gangguan jiwa berbeda dengan fisik. Jadi kalau kita misalnya demam atau alergi itu kan biasa saja, kita bisa bilang 'eh gue lagi demam, gue lagi alergi'. Tapi kalau misalnya lagi depresi, kita malu untuk ngomong," tambah Steven.
Hal senada diutarakan oleh Dr. Sandersan Onie, President Indonesian Association of Suicide Prevention sekaligus Co-founder Wellspring Mental Health Center Indonesia.
"Menurut penelitian, (pembicaraan soal bunuh diri) masih tabu. Sudah semakin membaik, tapi kalau kita lihat di Indonesia, apakah sudah ada perkembangan dalam hal kesehatan jiwa? Sudah, tetapi itu tetap masih sangat kecil," ujar Sandersan yang menyandang gelar doktor di bidang psikologi dari University of New South Wales, Australia. Studi dan pekerjaannya memang berfokus ke pencegahan kasus-kasus bunuh diri.
Banyak kasus bunuh diri tidak dilaporkan
Menurut penelitian yang dipublikasi di Jurnal The Lancet Regional Health Southeast Asia, kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan sepanjang tahun 2016-2018 di Indonesia bahkan melampaui 8 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka terlapor. Stigma bahwa melukai diri sendiri dan rasa ingin bunuh diri adalah pembicaraan yang tabu, sering membuat orang enggan mengakui saat butuh pertolongan.
"Kita punya kecenderungan di Indonesia maupun banyak budaya Asia, kita tidak mau kelihatan lemah. Dan kita masih punya pola pikir kalau kita minta bantuan itu salah satu tindakan orang lemah," tambah Sandersan.
Padahal, konseling dan bantuan profesional, serta dukungan sosial dari keluarga dan komunitas adalah hal penting untuk mencegah terjadinya kasus menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri.
"Sangat penting untuk kita punya self-awareness untuk mengetahui 'how am i doing?' Karena banyak orang stres, banyak orang burn out, mengalami anxiety tanpa menyadarinya, yang sadar orang di sekitarnya karena mereka 'kecipratan'," jelas Sandersan.
"Jangan malu untuk minta bantuan. Kita harus membiasakan diri, mengingat bahwa kita tidak bisa hidup sendirian. Kita butuh pertolongan, teman, komunitas. Jadi jangan takut minta bantuan profesional."
Apa yang harus dilakukan jika keluarga, teman atau kerabat mengalami gangguan mental?
Menurut dr. Tjoeng Steven, banyak pasiennya yang mengalami depresi karena masalah percintaan, perselingkuhan, pencapaian atau karier hingga masalah keluarga. Ketika mengalami depresi, mereka tidak mendapatkan tempat untuk 'bersandar', dan mencurahkan hati tanpa diberikan penghakiman apa pun.
"Jangan sampai kita memberikan judge atau saran-saran yang tidak memvalidasinya. Ada orang yang disuruh ibadah katanya 'kamu kurang iman'. Nasihat seperti itu justru membuatnya makin terbeban," ujar Steven.
Jika ada keluarga, teman, kerabat atau orang terdekat yang mengalami masahal mental, Steven menganjurkan untuk mendengarkan tanpa menghakimi sehingga bisa memahami sudut pandang yang mereka rasakan.
"Kita dengarkan saja, pahami dia, mengakui kesulitannya. Mungkin bagi si pendengar masalahnya tidak seberapa, tapi itu masalah berat bagi yang mengalaminya," tambah Steven.
Jika ada tanda-tanda orang tersebut tidak bisa menangani masalah ini sendirian, berikan saran dan bila perlu menemaninya untuk meminta bantuan profesional.
(mel/ae)
Jangan ragu untuk menghubungi profesional jika mengalami gejala depresi.