Bagaimana Nasib Tahanan Politik di Era Jokowi?
19 Juni 2018Hanya tujuh bulan setelah dilantik Presiden Joko Widodo bergegas menyambangi Lembaga Permasyarakatan Abepura di Papua buat memberikan grasi bagi lima tahanan politik dan menggariskan arah kebijakan pemerintah untuk sisa masa jabatannya.
"Ini adalah langkah awal. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan lain di daerah lain juga," kata dia kepada BBC Indonesia saat itu.
Kejadian pada 2015 itu kembali terngiang menyusul kematian Fredy Akihary, tokoh kelompok pemberontak Republik Maluku Selatan, yang meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Sidoarjo, Senin (18/6), ketika masih berstatus tahanan. Ia divonis penjara selama 15 tahun pada 2004 silam lantaran ikut serta dalam upacara bendera untuk memperingati 54 tahun berdirinya RMS.
"Sudah setahun ini dia diberitahukan akan bebas," kata pegiat HAM Andreas Harsono yang sempat menemui almarhum. "Seharusnya dia dibebaskan karena sudah menjalani dua pertiga masa hukuman dengan kelakuan baik," imbuhnya kepada DW. Namun apa lacur, Fredy meninggal dunia di penjara.
Saat ini Indonesia masih memiliki sekitar 29 tahanan politik, tiga orang tercatat mendekam di penjara Porong, Sidoarjo, enam tapol di Nusakambangan, 10 orang dipenjara di Papua dan 10 lainnya di Ambon. "Mereka semua tidak terlibat kekerasan," kata Andreas. "Mereka hanya menari atau menaikkan bendera. Mereka tidak membawa senjata, tidak mengebom atau memukul orang. Mereka hanya melakukan protes menyuarakan aspirasi politik dengan cara damai."
Pemerintah biasanya menggunakan "pasal makar," yakni Pasal 106 dan 110 KUHP buat memenjarakan aktivis separatisme, meski hanya melakukan aksi demonstrasi secara damai. Banyak yang dipidana karena mengibarkan bendera atau simbol-simbol lainya.
Salah satu kendala kebijakan lunak Presiden Jokowi adalah minimnya dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Saat ini satu-satunya jalan bagi presiden buat memulangkan semua tahanan politik adalah dengan memberikan remisi atau grasi yang menyaratkan terpidana mengakui kesalahannya. Namun ini menjadi pokok permasalahan, kata Andreas.
"Karena mereka tidak merasa bersalah dan mereka bukan orang berada. Satu-satunya yang mereka punya adalah harga diri," ujarnya. Kebanyakan tahanan politik menginginkan agar pemerintah memberikan amnesti atau abolisi yang membebaskan terpidana dari semua bentuk kesalahan. Namun hanya DPR yang berhak memberikan pengampunan tersebut.
Perkaranya "DPR tidak menjawab permintaan presiden, dari bulan Mei 2015 sampai sekarang," katanya. "Sehingga opsi yang dimiliki cuma pengurangan masa hukuman."
Hal ini pernah dirangkum organisasi HAM, Human Rights Watch, dalam kritiknya terhadap kebijakan pemerintah Indonesia di Papua. Menurut organisasi yang bermarkas di New York tersebut, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap simpatisan Papua Merdeka menciptakan serangkaian kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Presiden Jokowi tidak berdiam diri. Pada 2016 silam dia membentuk tim terpadu untuk menangani dugaan lebih dari selusin pelanggaran hak asasi manusia paling serius di Papua. Namun HRW mengeluhkan tim tersebut tidak diberikan "kekuasaan dan pendanaan memadai" untuk bisa bekerja secara layak.
Sempat diperpanjang masa tugasnya apda 2017 silam oleh Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan, Wiranto, kini tim tersebut tidak lagi terdengar sepak terjangnya. Andreas pun mendesak pemerintah melanjutkan kebijakan dialog di Papua dan mulai menanggalkan pendekatan keamanan lewat TNI dan Polri. Menurutnya kebijakan selama ini hanya memperparah situasi.
"Sebagai masyarakat dan sebagai sebuah kebudayaan, Papua sedang sekarat," kata dia.
rzn/yf (HRW, Kompas, CNN Indonesia, SuaraPapua, Jubi)